ASPEK ROHANI RASULULLAH SAW DALAM BACAAN MAULID SIMTHUDDURAR KARYA HABIB ALI BIN MUHAMMAD AL-HABSYI (BAGIAN 2)

Di bagian lain Simthud Durar, disebutkan bahwa ketika Mi’raj, Rasulullah kembali kepada Allah, dengan melihat Allah dalam Hadirat Ithlaq-Nya. Yakni, Hadirat Ahadiyah itu. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى

“Kemudian Dia (Allah) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad saw sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS. An-Najm [53]: 8-9).*

Inilah pengalaman kebersatuan Rasul saw dan Allah Swt. Dalam konteks inilah para urafa’ memahami makna metafor qaaba qawsayn (dua ujung busur anak panah), yang dipakai Al-Qur’an dalam ayat di atas.

Inilah ringkasan penjelasan Ibn ‘Arabi mengenai hal ini:

Jika dua busur disatukan, maka akan terbentuk lingkaran. Dan, berbeda dengan garis—yang di dalamnya ada titik berangkat (Muhamad saw) dan ada titik akhir/tujuan (Allah Swt)—dalam lingkaran semua titik bisa menjadi titik awal, dan semua titik dapat menjadi titik akhir. Tak jelas lagi di situ mana Allah Swt (yang menjadi tujuan)  dan mana Rasul saw (yang berangkat menuju-Nya). Semua titik dalam lingkaran bisa menjadi titik berangkat, dan semua titik bisa menjadi tempat tujuan. Meski tetap ada jarak, yang menunjukkan bahwa tidak dengan demikian Rasul saw menjadi identik dengan Allah Swt. Masih ada jarak tak terbatas antara Martabat Ahadiyah yang dicapai Nabi saw dengan Martabat Dzat yang sepenuhnya Gaib. Meskipun demikian, karena begitu dekatnya, ayat itu menunjukkan posisi keberadaan keduanya lebih dekat lagi dari qaaba qawsayn itu. Karena, betapa pun, lingkaran masih menyisakan jarak.

Maka, selanjutnya, dengan tingkatannya yang begitu mulia itu, disebutkan dalam Simthud-Durar:

و هدى الله به من الامت بشرا كثيرا

Baca Juga:  Peran Tarekat Syattariyah dalam Penyebaran Islam dan Eksistensi Ritual Basapa di Minangkabau

“… umat dalam jumlah besar. Beroleh hidayah Allah dengan perantaraannya.”

Dengan kata lain, Nabi saw adalah wakil-Nya Allah, perantara kita dengan Allah. Jika kita hendak sampai kepada Allah, maka sampainya kita itu adalah melalui Nabi Muhammad saw. Bahkan, dalam Thariqah ‘Alawiyah—sebagaimana dikesankan dalam syair-syair Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi sendiri—kita  mencapai Allah dengan cara (melalui) Martabat Wahdah atau Nur Muhammad itu.

Penutup

Bagaimana cara mencapai Allah dengan melalui Nabi Muhammad saw itu?

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian’”. (QS. Ali Imran [3]: 31)

Kata ittibaa’ dalam ayat itu bermakna menempatkan kaki kita, dalam menjalani hidup, di atas jejak kaki yang ditinggalkan Nabi saw. Yakni, mengikuti jejak Nabi saw sebaik mungkin, sesempurna-sempurnanya.

Maka, meski kita tentu khusyuk dan terharu dalam membaca dan menghayati bacaan maulid Simthud Durar ini, hal itu sama sekali tidak cukup. Yang lebih hakiki adalah menerapkan semua aturan syari’ah Nabi saw di semua bidang kehidupan. Bukan hanya dalam beribadah (mahdhah), atau ketika berada di masjid atau majelis-majelis keagamaan, melainkan dalam ber- mu’amalah di kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berdagang. Di atas semuanya itu, kita harus menjadi manusia, yang seperti uraian Allah Swt tentang Nabi saw, penuh welas asih, berempati kepada penderitaan orang, menginginkan kebaikan bagi orang lain, dan penuh kesantunan. (QS. At-Taubah: 128)

Maka, di akhir bacaan maulid, Habib Ali menguraikan dengan ringkas akhlak utama Nabi saw:

“Selalu terdepan dalam berbuat kebajikan

Lembut hatinya, luas kasih sayangnya

Terutama bagi kaum beriman semuanya

Teramat baik, teramat penyantun

Tiada berucap sesuatu melainkan berisi kebaikan

Sederhana perangainya

Singkat dan padat kalimat yang diucapkannya

Bila si miskin membutuhkannya ia selalu tanggap memenuhinya segera

Dirinya bagai ayah penuh kasih sayang

Untuk si yatim-piatu atau janda yang lemah

Rendah hatinya namun amat kuat wibawanya

Membuat orang paling kuat pun

Gemetar berhadapan dengannya

Tiap jalan dilaluinya

Atau pun rumah yang dikunjunginya

Menjadi semerbak harum baunya

Sebutan tentang pribadinya

Mewangikan tiap majelis dan pertemuan

Beliau adalah pusat perpaduan.

Bagi segala sifat kesempurnaan

Tiada banding dalam fisik dan perilakunya

Karena mendapat kekhususan termulia

Maka tiada satu pun perangai manusia terpuji

Melainkan pasti bersumber dari dirinya

Insan terbaik di antara mereka semua.

Semoga Allah Swt senantiasa memberi petunjuk dan menolong kita

Baca Juga:  Ijtihad Modernisasi Muhammad Abduh (1)

WalLaah a’lam bish-shawab.

*) Pada sebagian terjemahan Al-Qur’an (termasuk terjemahan versi Depag), subyek “dia” dalam ayat tersebut dipahami sebagai Jibril. Kaum urafa’—termasuk Ibn ‘Arabi memahaminya secara berbeda. “Dia” di situ dipahami sebagai Allah Swt. Tentu saja, sekali lagi, bukan Allah dalam Dzat-Nya, melainkan dalam tanazzul-nya. Tapi, di level ta’ayyun pertama, yaitu martabat Ahadiyah. Lagipula, jelas di dalam hadis bahwa Jibril sendiri menyampaikan bahwa dia tak bisa ikut ke Sidrat al-Muntaha, ke pohon Sidrat terjauh, tempat sang kekasih akan bertemu Sang Pengasih. Dia harus berhenti “hanya” di Langit Ketujuh.

0 Shares:
You May Also Like