Di Bawah Naungan Cahaya Selawat

Surah Al-Aḥzāb (33): 56 sejatinya menegaskan bahwa Allah telah memenuhi Baginda Nabi Muhammad saw dengan selawat-Nya (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd li Kasyf Ma‘nā Qur’ān Majīd, II: 189). Oleh karena itu, semua makhluk (baik malaikat, jin, manusia, maupun binatang) tidak memiliki ruang sedikit pun untuk mencukupi dan memenuhi Baginda Nabi Muhammad saw dengan selawat. Sebab, sebanyak apa pun, seagung apa pun, dan seindah apa pun selawat yang dipersembahkan oleh sekalian makhluk nyatanya tidak akan mampu menandingi dan menyamai selawat-Nya Allah; seperser pun.
Pendek kata, Baginda Nabi Muhammad saw tidak butuh selawatnya makhluk, karena beliau sudah cukup dengan selawat-Nya Allah. Bahkan penulis meyakini bahwa seluruh selawat yang disempersembahkan oleh sekalian makhluk adalah bagian dari selawat-Nya Allah itu sendiri. Mereka hanya mengais dan memungut hamparan selawat-Nya Allah yang tidak terbatas, yang diungkapkan dengan berbagai macam redaksi yang tidak akan kunjung habis hingga hari kiamat nanti.
Namun demikian, mengapa Allah masih memerintahkan dan mendorong umat manusia berselawat-salam atas Baginda Nabi Muhammad saw?
Jawabannya adalah untuk menghormati dan mengagungkan keagungan Nabi Muhammad saw, sekaligus bersyukur (terima kasih) kepadanya. Sebab, Baginda Nabi Muhammad saw adalah sumber segala sesuatu, baik manusia maupun makhluk lain. Beliau adalah perantara yang agung bagi dicurahkannya seluruh nikmat. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Hambaku dianggap tidak bersyukur kepada-Ku selama dia tidak bersyukur (berterima kasih) kepada seseorang, yang darinya Aku telah mengalirkan seluruh nikmat.” Seseorang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Baginda Nabi Muhammad saw. Makanya, Allah menjadikan selawat sebagai kunci dari diterimanya amal. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda, “Seandainya ada seorang hamba datang di hari kiamat kelak dengan membawa seluruh kebaikan ahli dunia; tetapi di dalamnya tidak ada satu pun selawat kepadaku, maka seluruh kebaikan tersebut tidak diterima (ditolak)” (Muhammad al-Mahdī al-Fāsī, Maṭāli‘ al-Masarrāt bi Jalā’i Dalā’il al-Khayrāt, hlm. 12 dan Muhammad Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd, 189, Kāsyifah as-Sajā, hlm. 4, dan Qāmi‘ aṭ-Tugyān ‘alā Manẓūmah Syu‘ab al-Īmān, hlm. 28).
Oleh karena itu, Allah menghendaki umat manusia untuk menampakkan penghormatan, pengagungan, dan syukur mereka kepada Baginda Nabi Muhammad saw dengan selawat. Di samping itu, selawat sejatinya merupakan kasih sayang dan kemurahan Allah kepada umat manusia. Sebab, Allah akan menganugerahkan curahan rahmat-Nya dengan selawat itu. Baginda Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa orang yang membaca selawat satu kali akan mendapatkan balasan selawat dari Allah sebanyak sepuluh kali, baik khusyuk maupun tidak. Cuman bedanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis, jika seseorang membaca selawat secara tidak khusyuk, maka dia akan mendapatkan balasan (sepuluh selawat dari Allah) sebesar gunung, dan para malaikat akan mendoakannya dan memintakan ampunan untuknya. Sedangkan jika dia membaca selawat secara khusyuk, maka dia akan mendapatkan balasan yang hanya diketahui oleh Allah semata (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd, 189 dan Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś, hlm. 11-12).
Pembacaan selawat itu harus diniatkan sebagai wasilah kepada Allah untuk mendapatkan cita-cita kita, baik duniawi maupun ukhrawi, bukan diniatkan untuk kepentingan Baginda Nabi Muhammad saw. Menurut para ulama, meskipun selawat yang kita haturkan bermanfaat bagi Baginda Nabi Muhammad saw., tetapi kita tidak boleh memiliki niat seperti itu (yaitu membaca selawat dengan niat untuk kepentingan Baginda Nabi Muhammad saw). Allah sendiri memerintahkan umat manusia untuk mencari wasilah (sarana/perantara) yang bisa mendekatkan mereka kepada-Nya (Al-Mā’idah [5]: 35). Dan Baginda Nabi Muhammad saw adalah wasilah yang paling agung dan paling dekat kepada Allah. Oleh karena itu, selawat merupakan salah satu pendekatan yang paling agung dan perkara yang paling penting bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, selawat merupakan tawasul kepada Allah dengan (perantara) kekasih-Nya (Nabi Muhammad saw.) (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Kāsyifah as-Sajā, hlm. 4 dan aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah, hlm. 92).
Keagungan dan kedahsyatan selawat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah ini ditegaskan dalam hadis qudsi. Dalam hal ini, Allah berfirman kepada Nabi Musa as., “Wahai Musa, jika engkau ingin Aku dekat denganmu melebihi dekatnya ucapanmu dengan lisanmu, bisikan hatimu dengan hatimu, ruhmu dengan tubuhmu, panglihatanmu dengan kedua matamu, dan pendengaranmu dengan kedua telingamu, maka hendaklah engkau memperbanyak baca selawat atas Muhammad saw.” (Al-Gazālī, Mukāsyafah al-Qulūb al-Muqarrib ilā Ḥaḍrah ‘Allām al-Guyūb fī ‘Ilm at-Taṣawwuf, hlm. 14).
Memperbanyak baca selawat merupakan bukti ketulusan cinta kepada Baginda Nabi Muhammad saw dan kesempurnaan hubungan (koneksi) dengannya. Oleh karena itu, kedekatan seseorang dengan Baginda Nabi Muhammad saw kelak di akhirat bergantung kepada selawatnya. Dalam hal ini, hadis menyebutkan bahwa orang yang paling dekat dengan Baginda Nabi Muhammad saw dan paling berhak mendapatkan syafaatnya kelak di akhirat adalah orang yang paling banyak membaca selawat (Tanqīḥ al-Qawl, hlm. 12).
Orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan selawat pasti akan sampai meskipun tanpa bimbingan seorang guru spiritual. Sebab, selawat adalah guru spiritual bagi orang-orang yang tidak memiliki guru spiritual. Baginda Nabi Muhammad saw (secara rohani dan khusus) akan menuntun, membimbing, dan menyampaikan orang-orang yang membaca selawat ke hadirat-Nya. Maka dari itu, kedudukan memperbanyak baca selawat secara spiritual adalah seperti kedudukan asy-syaykh al-murabbī (guru spiritual yang mengasuh, membimbing, dan menyampaikan murid-muridnya ke hadirat Allah). Mengapa orang yang ahli selawat bisa sampai ke hadirat Allah meskipun tanpa guru spiritual? Jawabannya adalah karena selawat memiliki dampak yang sangat dahsyat untuk menerangi hati, sehingga ia tidak butuh terhadap guru pembimbing (mursyid) (Maṭāli‘ al-Masarrāt bi Jalā’i Dalā’il al-Khayrāt, hlm. 14, Habib Zein bin Smith, al-Fawā’id al-Mukhtārah li Sālik Ṭarīq al-Ākhirah [dikumpulkan oleh Habib ‘Alī bin Ḥasan Bāhārūn], hlm. 214, dan Muhammad Nawawī al-Jāwī, Bahjah al-Wasā’il bi Syarḥ al-Masā’il, hlm. 2).
Baginda Nabi Muhammad saw mengetahui semua umatnya melebihi pengetahuan seorang ibu kepada anaknya. Namun, pengetahuan beliau ini sesuai dengan kadar banyak dan sedikitnya selawat mereka masing-masing. Dalam hal ini, ada seorang laki-laki yang biasa tidak membaca selawat. Dia kemudian bermimpi Baginda Nabi Muhammad saw., tetapi beliau tidak menghiraukannya. Lantas dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Anda marah kepada saya?” Beliau menjawab, “Tidak.” “Tetapi mengapa Anda tidak menghiraukan saya?” tanyanya lagi. Beliau menjawab, “Aku tidak mengenalmu.” “Bagaimana mungkin Anda tidak mengenal saya, padahal saya adalah salah satu umat Anda? Dan para ulama telah mengatakan bahwa Anda mengetahui kepada umat Anda melebihi pengetahuan seorang ibu kepada anaknya.” Beliau menjawab, “Mereka benar. Akan tetapi, kamu tidak pernah mengingatku dengan selawat. Sesungguhnya pengetahuanku kepada umatku sesuai dengan kadar selawat mereka kepadaku.” Laki-laki itu kemudian terbangun, dan dia mewajibkan kepada dirinya untuk membaca selawat setiap hari sebanyak 100 kali. Setelah melanggengkan baca selawat setiap hari sebanyak 100 kali, akhirnya dia bermimpi Baginda Nabi Muhammad saw lagi seraya berkata, “Sekarang aku sudah mengenalmu, dan aku akan memberikan syafaatku kepadamu.” (Mukāsyafah al-Qulūb, hlm. 26-27)
Bahkan selawat bisa mengeluarkan seorang hamba yang berada dalam jurang kesesatan dan kesengsaraan menuju cahaya kebenaran dan kebahagiaan. Dalam hal ini, Nabi Khidir as pernah bertanya kepada para wali seraya berkata, “Apakah ada amal yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari kesengsaraan menuju kebahagiaan?” Para wali tersebut tidak ada yang berani menjawab. Beliau kemudian bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad saw, dan dijawab, “Iya, ada. Seseorang bisa keluar dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jika dia memperbanyak baca selawat kepadaku.” (Zahrah, [@ZahraZahra199], Twitter, 25 Juni 2022, 02.15. https://twitter.com/ZahraZahra199/status/1540413356292689921?t=Mtrn8clsUwdz76SU qWpBsA&s=19)
Ḥujjatul Islām Imam al-Gazālī menyebutkan kisah seorang laki-laki yang melihat penampakan yang buruk dan menjijikkan di padang sahara. Laki-laki itu kemudian bertanya, “Siapakah engkau?” Ia menjawab, “Aku adalah amal burukmu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lantas apa yang bisa menyelematkanku darimu?” Dia menjawab, “Membaca selawat atas Baginda Nabi Muhammad saw. Sebab, beliau bersabda bahwa selawat adalah penerang di sirat kelak, dan barang siapa yang berselawat sebanyak 80 kali pada hari Jumat, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya selama 80 tahun.” (Mukāsyafah al-Qulūb, hlm. 26) Dalam hadis lain disebutkan redaksi selawatnya, yaitu: “Allāhumma ṣalli ‘alā muḥammadin ‘abdika wa rasūlika an-nabiyyil ummiyyi.” Ia dibaca setiap hari Jumat sebanyak 80 kali (Tanqīḥ al-Qawl, hlm. 12).
Jika memahami surah Al-Aḥzāb (33): 56, maka dapat dipahami bahwa orang yang ahli selawat adalah berserikat dengan Allah, para malaikat, dan orang-orang beriman. Dengan demikian, orang-orang yang berada dalam jurang kesesatan dan kesengsaraan tidak mungkin berserikat dengan mereka (Allah, para malaikat, dan orang-orang beriman). Di sisi lain, Baginda Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa orang yang membaca selawat berarti dia berjalan menuju surga. Sebaliknya, orang yang sengaja meninggalkan selawat berarti dia telah melenceng dari jalan menuju surga. Dengan demikian, Abu Hurayrah ra menegaskan bahwa selawat adalah jalan menuju surga. Makanya, tidak heran jika sebagian ḥukamā’ (para cendekiawan yang arif) mengatakan bahwa keselamatan tubuh terdapat dalam sedikit makan; keselamatan ruh terdapat dalam sedikit dosa; dan keselamatan agama terdapat dalam membaca selawat atas Baginda Nabi Muhammad saw (Mukāsyafah al-Qulūb, hlm. 7).
Akhirnya, “seluruh semerbak selawat dan salam yang paling menggetarkan jiwa sebanyak wewangian mayapada dan surgaloka, yang tidak berkesudahan dari zaman azal hingga alam baka dan bahkan lebih banyak dari itu semua dihaturkan semata-mata kepada kekasih semesta, Baginda Nabi Muhammad saw, yang darinya Allah telah menaburkan segala nikmat-Nya untuk kebahagiaan hidup segenap penghuni jagat raya.” (Nasrullah Ainul Yaqin, Selawat Semerbak, 2021) Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…

Baca Juga:  Dari Tasawuf Teoritis Menjadi Tasawuf Praktis: Sebuah Refleksi Daras Buku Dari Allah Menuju Allah
0 Shares:
You May Also Like