Dari Tasawuf Teoritis Menjadi Tasawuf Praktis: Sebuah Refleksi Daras Buku Dari Allah Menuju Allah

Nurhasanah

Peserta Intermediate Short Course Nuralwala

Belajar tasawuf telah menjadi warna dalam kehidupan saya, dengan tujuan untuk memperbaik tingkah laku dan cara berpikir agar dapat merespon pelbagai macam fenomena dan problematikanya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Berawal dari program Studi Tasawuf (Islamic Mysticism) yang saya pilih untuk menempuh master di Islamic College for Advanced (ICAS) Paramadina, saat itu Dr. Haidar Bagir merupakan pengajar mata kuliah Philosophy of Religion di kelas kami. Suatu hari, beliau bertanya di hadapan kami semua; “Untuk apa kalian belajar filsafat dan tasawuf?”  Rupanya tidak ada jawaban yang tepat sesuai dengan yang ada di benak beliau. Hingga akhirnya, beliau sendiri yang mengungkap jawabannya; “Kalian belajar filsafat dan tasawuf untuk memperbaiki akhlak.” Pernyataan tersebut cukup membuat saya pribadi terdiam, berpikir sejenak, dan mengingatnya hingga sekarang. Waktu berlalu, tahun berganti. Dr. Haidar Bagir konsisten terhadap apa yang diucapkannya sekitar delapan atau sembilan tahun lalu.

Singkat cerita, kehadiran Pesantren Nuralwala sebenarnya merupakan angan-angan saya yang akhirnya menjadi kenyataan. Sebuah kajian yang dilaksanakan dengan tatap muka agar para pesertanya dapat berinteraksi langsung dengan pemateri. Kajian tasawuf dengan “Daras Buku Dari Allah Menuju Allah” memberikan pengalaman tersendiri selain kelas-kelas kajian yang pernah saya ikuti dengan bidang yang berbeda-beda. Saya sangat berterima kasih kepada Allah SWT, bapak Dr. Haidar Bagir dan seluruh kawan-kawan dari Pesantren Nuralwala yang telah mewujudkan suatu kajian yang sangat bermanfaat bagi kami sebagai peserta yang memiliki latar belakang beragam.

Buku “Dari Allah Menuju Allah” ditulis oleh Dr. Haidar Bagir diterbitkan pada bulan Januari 2019. Buku ini memuat tentang syarah puisi-puisi Rumi yang telah dipilih, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Rumi mengekspresikan bahwa sumber dari segala sumber  di alam ini adalah cinta. Manusia diciptakan dari kecintaan Tuhan terhadapnya, begitu pun Tuhan menciptakan alam karena cinta-Nya yang besar terhadap makhluk-makhluk-Nya. Setiap fitrah manusia memiliki cinta, namun apakah cinta ini hanya terbatas pada potensi saja atau aktual, sehingga alam sekitarnya dapat merasakan pula kehangatan dan kelembutan cinta tersebut.

Baca Juga:  Tasawuf: Asketisisme, Mistisisme dan Pandangan Dunia Islam

Saya mencatat bahwa Pesantren Nuralwala dengan segala programnya dibentuk, sebagai media alternatif terhadap keprihatinan kehidupan beragama yang sebagiannya sudah terkontaminasi dengan sikap-sikap superioritas antara suatu golongan masyarakat di atas golongan yang lain. Setiap kali saya berpikir jika masyarakat Indonesia yang tidak bisa menerima fakta bahwa kita semua diciptakan berbeda-beda adalah sunnatullah, maka akan sulit baginya untuk menerima fakta-fakta lain. Hal ini tentu berdampak pada prinsip hidupnya dalam beragama, pun bermasyarakat. Tidak bisa dihindari kemunculan kelompok-kelompok yang dengan berbangga hati menyebut segala tindak tanduk dan perkataannya adalah bentuk dari bela agama dan negara, tapi meluluh-lantakkan semangat para pejuang dan pendiri bangsa terdahulu dalam mempererat kesatuan rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke tanpa memandang suku dan bahasa.

Pesantren Nuralwala dengan penuh tanggung jawab turut berperan serta untuk memberikan pemahaman baru di tengah masyarakat, berharap agar masyarakat dapat memiliki kejernihan berpikir dari sumbernya, bukan dari katanya dan katanya. Masyarakat sudah seharusnya menjadi bijaksana, tidak lagi menunggu momentum atau mengikuti figur yang juga masih belum bisa dijadikan teladan. Masyarakat harus bersikap kritis terhadap apa yang ia baca dan dengar, dengan demikian mereka pun turut bertanggung jawab dalam mendidik karib-kerabatnya, sehingga sikap baik tersebut bisa menular dan mewujudkan masyarakat yang arif, alim, dan gemar memperdalam ilmu pengetahuan.

Kegiatan daras buku yang digagas oleh Pesantren Nuralwala adalah sebuah inovasi dalam dunia kajian, menyasar siapa saja yang memiliki minat di bidang tasawuf khususnya. Kajian ini menekankan bahwa Islam dan tasawuf memberikan jalan cinta sebagai rahmat Allah SWT yang terhampar luas di muka bumi. Dr. Haidar Bagir menjelaskan: “Tasawuf merupakan proses mengadili motif-motif pribadi sebelum mengadili motif-motif orang lain. Dalam tasawuf, manusia diarahkan untuk menyibukkan diri dengan kekurang-kekurangan di dalam dirinya, sebelum ia sibuk mengurusi urusan orang lain. Tasawuf adalah akhlak, akhlak adalah tasawuf. Akhlak bukan hanya etiket sebagaimana yang dipahami sebelumnya, namun akhlak itu pun termasuk dengan tidak merendahkan orang lain. Keras terhadap diri sendiri itu lebih baik, demi menjaga diri dari kezaliman dan kelalaian.”

Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan: Ruang Bagi Kemerdekaan Spiritual dalam Bertasawuf

Oleh karena Islam disebut sebagai evolusi puncak dari agama-agama, maka sudah menjadi keniscayaan jika Islam membentuk manusia agar menjadi makhluk yang berakhlak mulia, seperti Baginda Muhammad saw. yang diutus sebagai pendidik akhlak bagi umatnya. Jadi dari sini kita dapat melihat bahwa isu penting dari awal kehadiran hingga pasca wafat Rasulullah saw. adalah membentuk dan membina akhlak. Setiap manusia di zaman ini sudah seharusnya memulai menyebarkan nilai-nilai penuh cinta sebagai titisan rahmat dari Tuhan yang begitu luas, memenuhi ruang hati dan kehidupan dengan cinta agar alam ini menjadi damai dan harmonis.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Manusia Yang Lemah

Manusia itu demikian lemah dan rapuhnya, termasuk dalam hal ketaatan. Demikian mudahnya kita, secara tiba-tiba tergelincir dan tergoncang…