Tasawuf dan Fisika Kuantum (Bagian 3)

Mari kita mulai bicara tentang elemen-elemen fisika kuantum, yang terkait dengan kemampuan yang biasa disebut sebagai keramat (karamah). Atau dalam konotasinya yang lebih bersifat negatif disebut sebagai sihir. Saya sendiri pernah mengambil pelajaran Magic in the Middle Ages, ketika kuliah di Harvard. Dari sana saya tahu bahwa di antara sumber penting sihir—yakni kemampuan supranatural untuk menguasai sebab-sebab supranatural terjadinya/tergeraknya sesuatu—adalah Plotinus. Belakangan Plotinus banyak mempengaruhi para filsuf Muslim. Termasuk Al-Kindi, yang secara khusus menulis Risalah Tentang Pancaran Cahaya Bebintangan. Ibn Sina yang lebih belakangan juga menulis tentang kesalingkelindanan unsur-unsur alam semesta, yang diatur mekanisme apa yang oleh Plotinus disebut sebagai mekanisme sympathea.

Mekanisme sympathea ini mengungkapkan adanya interaksi instan benda-benda, tak peduli jaraknya satu sama lain—dekat atau amat jauh. Kesalingkelindanan benda-benda ini bisa terjadi selama vibrasi/getaran di antara keduanya beresonansi. Ya, memang pada akhirnya, materi benda-benda adalah energi yang bervibrasi. Belakangan, Ibn Sina (Avicenna) menyebut mekanisme sympathea ini sebagai hubungan hubb (cinta) yang ada di antara berbagai benda itu. Demikian pula pada para pemikir (filsuf/sufi) selanjutnya. Pandangan-pandangan seperti inilah yang dulu—lewat spekulasi filosofis atau mistis—dipakai untuk menjelaskan mekanisme terjadinya sihir atau gejala-gejala supranatural lainnya itu.

Yang jelas, disebutkan secara eksplisit atau tidak, ada isyarat tentang semacam ketunggalan alami yang mengikat segala sesuatu di alam semesta, yang di dalamnya suatu bagian alam semesta bisa memberikan pengaruh kepada bagian lain, bahkan saat tak ada persentuhan fisik—baik melalui persentuhan fisik langsung, bahkan tidak melalui gaya-gaya yang tidak bersifat fisik, seperti gaya listrik, magnet, dan sebagainya—yang masih terikat jarak. Dengan kata lain, jika hanya dibatasi dalam konteks fisik seperti ini, sebuah benda di alam bisa memberikan pengaruh kepada benda lain meskipun posisinya berjauhan. Yakni, meski pun tak ada gaya fisik yang terlibat di antara keduanya.

Baca Juga:  Tasawuf dan Fisika Kuantum (Bagian 2)

Inilah yang belakangan disebut sebagai entanglement dalam fisika kuantum. Yakni, kesalingberkelindanan atau kesaling-terikatan (entanglement). Disifati sebagai kuantum entanglement karena kesaling-terikatan ini terjadi di level quanta. Quanta bermakna bagian (energi) terkecil dari benda. Yakni di level subatom.

Persis seperti apa yang ditemukan para filsuf dan mistikus zaman lampau, fisika atau mekanika kuantum mendapati bahwa bagian-bagian benda atau alam semesta yang berjauhan ternyata bisa saling memberikan pengaruh. Bahkan secara nyaris instan (tanpa waktu). Yakni lebih cepat dari kekuatan cahaya. Padahal, seperti diungkapkan dalam teori fisika relativitas, tak ada kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Maka, bisa disimpulkan bahwa saling pengaruh ini terjadi melalui suatu mekanika yang tidak biasa. Setidaknya tak bisa diterangkan dengan mekanika biasa, yang mengatur benda-benda “besar”, alias bukan benda-benda subatomik.

Kesaling-terikatan ini begitu tidak biasa dilihat dari gejala fisika biasa sehingga oleh Einstein disebut sebagai “aksi menakutkan (benda-benda) dalam jarak berjauhan” (spooky action at a distance). Semacam sihir itu. Karena sihir sejatinya adalah kemampuan menghasilkan atau menggerakkan sesuatu (seolah) tanpa sebab-akibat fisik (natural)…(Bersambung)

0 Shares:
You May Also Like