DOA-DOA DI KALANGAN THARIQAH ‘ALAWIYAH (2)

Saya tidak tahu kapan doa-doa yang biasa dibaca dalam tradisi Thariqah ‘Alawiyah ini mulai dikompilasi. Tapi, saya bayangkan itu terkait dengan perumusan Thariqah Ahlil Yamin oleh Habib Abdullah al-Haddad. Dan, seperti saya singgung di akhir tulisan yang lalu, tampaknya di dalamnya di-“susup”-kan ajaran Thariqah ‘Alawiyah secara integral. Seperti kita ketahui, Thariqah ‘Alawiyah—saya duga, khususnya, Thariqah Ahlil Yamin—disebut sebagai Thariqah Khafifah (thariqah ringan)—yakni jika dibandingkan dengan thariqah-thariqah lain yang melibatkan ritus-ritus yang berat, bahkan ekstrem—karena alasan ini. Maka, memang jika ditanya tentang apa esensi Thariqah ‘Alawiyah ini—meski ia biasanya disebutkan sebagai batinnya Syadziliyah dan lahirnya Ghazaliyah (saya akan menulis tentang ini, in sya’ Allah)—biasanya orang menunjukkan praktik membaca doa-doa atau wirid-wirid/hizib-hizib yang ada di buku-buku doa Thariqah ‘Alawiyah itu.

Pertanyaannya mungkin, apakah cukup berthariqah dengan hanya membaca doa-doa/zikir-zikir atau wirid-wirid dan hizib-hizib saja? Jawabannya: apalagi jika digabung atau dikombinasikan dengan praktik-praktik akhlak mulia sehari-hari seperti yang diajarkan dalam mu’amalah tasawuf—seperti yang ada dalam Ihya’—bisa jadi sangat cukup. Tasawuf adalah persoalan memahami hakikat hidup di dunia dalam atmosfer keruhaniahan. Juga praktik mengendalikan hawa nafsu ammarah, dalam bentuk hidup simpel (zuhud), ihya’ al-layl serta tak berlebihan dalam perbuatan dengan orang-orang. Tapi, jika berhenti di tataran teori maka efektivitasnya dalam memberikan pengaruh positif kepada diri kita akan sangat kurang. Seperti masih di awang-awang, terpisah dengan wujud kita. Bahkan pengetahuan mu’amalah tasawuf, yang lebih banyak tinggal di tataran teoretis pun demikian.

Nah, doa/zikir dan wirid/hizib yang dibaca secara rutin/harian bisa menginternalisasi pengertian-pengertian atau konsep-konsep dalam bentuk pelajaran sikap ta’abbud (penghambaan), tawakkal dan ketergantungan kepada Allah, serta keintiman dengan-Nya sebagai Rabb Pemilik Rahmah dan Pelindung kita ke dalam diri/wujud kita. Pembacaan berulang setiap hari dapat menjadi seperti proses myelinisasi—pelapisan saraf oleh lemak sebagai pemelihara ingatan/pengetahuan—dan lain-lain—yang menyatukan pengetahuan/memori dan memeliharanya dalam pikiran/saraf kita. Makin kita ulang membaca atau mengingat kembali suatu pengetahuan, makin melekat dia dalam pikiran. Demikian pula pesan-pesan yang ada di dalam doa-doa/zikir-zikir dan wirid-wirid dan hizib-hizib dalam Thariqah ‘Alawiyah bisa merupakan semacam proses myelinisasi/pelekatan kesemuanya itu dengan wujud/diri dan kehidupan kita sehari-hari.

Baca Juga:  Makna Batin Kisah Nabi Nuh

Jadi, selain sebagai “senjata mukmin” dalam mengarungi kehidupan dengan segala cobaannya, doa-doa/zikir-zikir ini adalah bagian dari upaya menginternalisasi/menyatukan pesan-pesan keruhaniahan dan perasaan kenyamanan dalam lindungan Allah Swt—yang Maha Kuasa dan Welas Asih—atas diri kita. (Habis)

0 Shares:
You May Also Like