Pengetahuan modern kerap dibumbui dengan jargon-jargon objektivitas dan netralitas sebagai salah satu warisan dari tradisi positivistik. Klaim-klaim itulah yang coba dibongkar oleh berbagai studi dalam pendekatan kritis, salah satunya seperti yang ditunjukkan dalam cultur studies. Dalam mazhab tersebut, dikenal term posisionalitas, yang memiliki konsekuensi bahwa pada dasarnya pengetahuan yang dirumuskan (terutama dalam bidang ilmu sosial-humaniora) selalu terkait dengan konteks sosial budaya dan atau politik tertentu. Sehingga pada dasarnya, pengetahuan tidaklah bersifat netral dan objektif. Pendekatan ini pun memiliki konsekuensi untuk menyangkal klaim universalisme pengetahuan. Lalu, apa itu posisionalitas? Hal inilah yang didiskusikan dalam tulisan ini.
Posisionalitas: Penyangkalan atas Netralitas dan Objektivitas Pengetahuan
Menurut Chris Barker dalam buku The Sage Dictionary of Culturl Studies (2004), dijelaskan bahwa posisionalitas adalah:
“The notion of positionality expresses epistemological concerns regarding the who, where, when and why of speaking, judgment and comprehension. That is, specific acculturated persons make truth claim at en excact and distinct time and place with particular reasons in mind. Consecuently, knowledge is not to be understood as a neutral or objective phenomenon but as a social and cultural production since the position from which knowledge is enunciated will shape the very character of that knowledge”.
Dengan demikian, apa yang disebut posionalitas adalah sebuah pandangan yang menentang klaim-klaim bahwa pengetahuan bersifat netral dan objektif. Pandangan tersebut didasarkan pada bahwa konstruksi atas pengetahuan sendiri (termasuk klaim-klaim kebenaran) akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman (keunikan) tiap individu/kelompok yang berbeda-beda. Konsekuensi dari cara pandang ini, yakni titik tekannya pada sisi keunikan/pengalaman tiap individu, kelompok dan sebagainya yang tidak boleh terabaikan.
Di sini penting juga untuk memahami perbedaan cara kerja ilmu alam dan sosial-humaniora. Dengan merujuk pada Windelband, seorang neo-Kantianisme, dalam tulisannya yang berjudul History and Natural Science (1998) yang menyebut bahwa pengetahuan yang dihasilkan dalam studi sosial humaniora, yakni ideographic sciences, karena yang diteliti adalah peristiwa individual dan unik. Sementara dalam ilmu alam yang dihasilkan adalah pengetahuan yang bersifat nomotetis yang lebih bisa membuat generalisasi karena adanya keajegan dalam struktur hukum alam.
Ideografis dalam studi sosial humaniora ini akan memiliki relevansi dengan konsep posisionalitas. Dengan merujuk pada pemahaman di atas (posisionalitas dan sifat pengetahuan yang ideografis) dan meletakkan hal tersebut sebagai kerangka kerja akademik, kita tidak akan serta merta mengklaim konstruksi pengetahuan yang kita hasilkan dan ataupun cara pandang kita atas fenomena sosial dan atau kultur tertentu berlaku universal dan atau berlaku untuk semua kondisi.
Selain mendasarkan pada Cultural Studies yang ditulis oleh Chris Barker dan pendapat seorang neo-kantianisme di atas, kita pun bisa meninjau perspektif-perspektif lain yang bersinggungan, seperti karya-karya teori sosial kritis lainnya, Mazhab Frankfurt Jerman misalnya.
Dalam buku Kritik Ideologi (2009) yang ditulis oleh Budi Hardiman, dijelaskan bahwa Mazhab Frankfut berpandangan yang disebut sebagai ide ataupun teori, itu tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai historisitas atau konteks historis tertentu. Oleh sebab itu, kemunculan sebuah teori dan atau pengetahuan tidak bersifat netral dan objektif sebagaimana yang selalu didengungkan oleh kaum positivis. Klaim netralitas pengetahuan ditentang secara habis-habisan oleh Mazhab Frankfurt ini, karena bagi mereka yang disebut sebagai pengetahuan itu tidak bebas nilai.
Akan tetapi, yang perlu ditegaskan di sini, bukan berarti kerangka metodologi Mazhab Frankfurt membawa pengetahuan sosial humaniora menjadi metafisika yang melayang-layang, mazhab Frankfurt ini menekankan juga mengenai pentingnya fakta empiris, namun fakta empiris ini bersifat kontekstual.
Posisionalitas dalam Ragam Pemikiran Feminis
Katrin Bandel dalam buku Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial (2016) memberikan gambaran yang baik soal posisionalitas ini, yakni bagaimana kritik yang tajam datang dari feminisme berkulit hitam kepada mereaka feminisme mainstream yang cenderung berangkat dari pengalaman perempuan kulit putih sebagai standar.
Para feminis kulit hitam ini mengungkapkan betapa mereka tidak merasa terwakili oleh feminisme kulit putih. Salah satu penyebabnya adalah bahwa feminis kulit putih tidak menyadari dan tidak mempersoalkan interkonektifitas antara berbagai jenis penindasan, dalam hal ini gender dan ras.
Tidak hanya itu, Katrin Bandel pun memberikan contoh lain, yakni bagaimana Chandra Talpade Mohanty dalam artikelnya Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses mengungkapkan bahwa kerap kali tulisan feminis Barat mengenai perempuan Dunia Ketiga berangkat dari sebuah universalisme etnosentris yang menempatkan perempuan Barat sebagai tolak ukur, dan mengandaikan bahwa perempuan di seluruh dunia ingin dan perlu mencapai hal yang sama seperti perempuan Barat.
Di samping itu, perempuan non-Barat kerapkali direpresentasikan sebagai korban patriarki yang seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak diselamatkan oleh “kakak-kakak” mereka dari dunia Barat.
Dengan kata lain, Katrin Bandel berkesimpulan bahwa para feminis Barat yang dikritik oleh Mohanty tersebut, sama sekali tidak menyadari akan posisisionalitas mereka sebagai perempuan Barat, dan tidak mempertanyakan asumsi-asumsi yang mereka bawa sebagai bagian dari konstruk gender milik budaya mereka sendiri.
Kita pun bisa melihat dalam karya pemikir lain, yakni Vandana Shiva. Shiva menulis Staying Alive: Women Ecology and Survival in India (1988). Dalam tulisan Shiva tersebut, nampak jelas posisionalitas Shiva sebagai perempuan dunia ketiga dengan setting historis bangsanya yang pernah dikolonisasi, teramat memengaruhi pandangan-pandangannya.
Dalam buku tersebut, Shiva melakukan kritik yang tajam terhadap pembangunan. Bagi Shiva, pembangunan di negara bekas jajahan, justru meniru negara yang dulu pernah menjajahnya. Dengan kata lain, kolonialisme itu sesungguhnya tetap berlanjut namun hadir dalam bentuk yang berbeda. Shiva menyoroti model pembangunan kapitalistik yang kerap mengutamakan angka-angka pertumbuhan ekonomi, justru seringkali menghadirkan kerusakan ekologis.
Shiva pun sangat menyayangkan hal tersebut, karena implikasinya, perempuan adalah pihak yang paling dirugikan dengan dampak kerusakan ekologis yang dihadirkan oleh pembangunan kapitalistik. Terlebih lagi, status perempuan yang disamping disibukan dengan masalah domestik, dihadapkan juga dengan persoalan mata pencaharian.
Dengan demikian, nampak jelas Shiva pun menggambarkan bahwa kebutuhan-kebutuhan perempuan di dunia ketiga, itu berbeda dengan negara-negara Barat. Dengan kata lain, konteks historisitas maupun kultural yang dalam hal ini dipahami sebagai suatu hal yang berperan terhadap posisionalitas seorang intelektual akan teramat mempengaruhi cara pandangnya.