Menyegarkan Kembali Republikanisme

Judul Buku      : Republikanisme Filsafat Politik untuk Indonesia

Penulis             : Robertus Robert

Tahun Terbit   : Desember 2021

ISBN               : 978-602-0788-21-0

Jml hlm            : i-vi + 182      

Problem mendasar yang dihadapi oleh Indonesia sebagai sebuah “negara-bangsa”, yakni kurang terserapnya republikanisme dalam praktik ketatanegaraan maupun etika politik kita. Tentu hal itu perlu menjadi keresahan kita bersama mengingat Indonesia adalah sebuah negara berbentuk republik, yang seharusnya di balik kata republik itu mengandung suatu konsekuensi logis tertentu untuk diterjemahkan ke dalam praksis.

Sebab itulah, kata menyegarkan kembali republikanisme barangkali adalah hal yang tepat, karena memang republikanisme turut menghiasi pikiran para pendiri negara ini, namun dalam perjalanan republik ini justru mengalami distorsi dan disorientasi bagaimana negara republik seharusnya berjalan.

Kita perlu memahami, bahwa republikanisme sendiri turut menginspirasi lanskap sejarah perjuangan bangsa ini dalam upaya untuk menikam kolonialisme, salah satu contoh paling awal bisa kita jumpai dalam tulisan Tan Malaka yang berjudul Naar de Republiek Indonesia yang terbit pertama kali tahun 1925.

Perkembangan selanjutnya dalam sejarah Indonesia, kata republik kemudian menghiasi diskursus pembentukan negara-bangsa ini, hal itu bisa dilacak dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan), di mana kata republik secara sederhana diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dibedakan dengan tirani (atau kerajaan). Dan tentu saja, mayoritas tokoh yang terlibat dalam BPUPK lebih menyepakati Indonesia menjadi sebuah negara republik dibanding kerajaan. Puncaknya, ada kata “Republik” dalam proklamasi “Indonesia” yang disampaikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945

Dengan demikian, kata republik, selain bagian dari historis perjuangan dan pembentukan bangsa ini, juga sebagai bagian dari cita-cita historis berdirinya republik ini, serta hal yang perlu ditegaskan kembali, pilihan bangsa ini untuk menjadi sebuah negara republik, tentu mengandung implikasi-implikasi tertentu dalam praktik ketatanegaraan dan kewargaan kita. Sebab itulah kita perlu menyegarkan kembali republikanisme dan merevitalisasinya. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bisa menerjemahkan republikanisme, baik sebagai etikalitas,  aturan normatif dan sebagainya dalam ketatanegaraan dan kewargaan kita, jika kita tidak tahu apa itu republik? Terlebih lagi, para pendiri bangsa ini pun tidak memberikan penjelasan teoretis yang kuat mengenai apa itu republik dan bagaimana implikasinya.

Baca Juga:  Mazhab-Mazhab itu Hanya Jalan Saja, Tujuan Beragama itu Sama Saja. Maka Jangan Sibuk Berdebat Berkepanjangan, Apalagi Berseteru Soal Mazhab.

Berangkat dari pemaparan di atas, saya memandang kehadiran buku Republikanisme: Filsafat Politik untuk Indonesia (2021) yang ditulis oleh seorang akademisi cum intelektual publik yakni Robertus Robert bernilai penting. Terlebih lagi, ada problem seperti politik berbasis etno-religius, dan masalah yang paling utama lagi yakni suburnya oligarki dalam struktur ekonomi politik kita. Dua masalah penting itu, tentu harusnya tidak terjadi pada sebuah negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara republik seperti Indonesia. Sebab itulah, pertama-tama, yang harus kita bedah terlebih dahulu adalah pemaknaan terhadap term republik itu sendiri yang secara teoretik berakar dari apa yang disebut sebagai republikanisme.

Makna Republikanisme

Akar republikanisme bisa dilacak dari era klasik melalui pemikiran Aristoteles dengan tradisi polis di Yunani Kuno, kemudian Cicero di Roma, selanjutnya Machiavelli pada awal era romantik, Rousseuau di zaman pencerahan dan hingga Hannah Arrendt dan Philip Pettit pada abad 20. Masing-masing pemikir memiliki titik tekan yang berbeda. Dengan berangkat dari berbagai titik tekan pada pemikir republikanisme tersebut, Robertus Robert sendiri memberi ciri-ciri umum mengenai apa itu republikanisme, yakni: (1). Politik sebagai ibu berbagai ranah tindakan; (2). Politik harus mengatasi ekonomi; (3). Despotisme dan korupsi adalah musuh utama republik; (4). Masyarakat harus dipandang sebagai kerangka kebersamaan; (5). Politik mensyaratkan logos; (6). Kebebasan berarti keterlibatan; (7). Ideal pemerintahan mandiri; (8). Partisipasi; (9). Kehendak umum atau kedaulatan rakyat; (10). Konstitusionalisme; (11). Pentingnya pendidikan; (12). Patriotisme (Hlm 76-79).

Sementara itu, pemikir republikanisme pada abad 20 seperti Hannah Arendt berupaya untuk menghidupkan kembali republikanisme klasik. Dalam melihat pemikiran Arendt, penting juga untuk melihat dua visinya, pertama, civic engagement, yaitu keterlibatan warga negara. Kedua, mengenai collective deliberation, yaitu penilaian kolektif yang diperoleh melalui perdebatan publik tentang berbagai persoalan yang memengaruhi komunitas politik dan kepentingan hidup masyarakat.

Baca Juga:  Jejak Sufi Perempuan (1): Mua’dzah al-Adawiyah dan Spiritual tanpa Batas

Arendt pun berusaha membedah makna polis, yang dalam tulisannya The Human Condition (1998) dipahami sebagai organisasi rakyat karena tumbuh, bertindak dan bicara bersama-sama. Term polis ini sebangun dengan tindakan untuk mewujudkan common good (kehidupan baik bersama). Polis berfungsi untuk menjalin keakraban dan percakapan antar warga-negara dan menumbuhkan kesalingpengertian.

Di sinilah polis atau disebut juga res publica dibedakan dengan oikos atau res privata (keluarga, ekonomi dan sebagainya). Titik tekan lainnya, tindakan dalam sebuah polis harus didasarkan pada logos. Ada dua implikasi dari pernyataan ini, pertama bahwa apa yang disebut sebagai tindakan politik bukanlah pengejaran kepentingan-kepentingan privat, dan keduanya bahwa politik adalah urusan akal budi. Lalu, menjadi pertanyaan menarik selanjutnya, yakni “Bagaimana konsepsi republikanisme dalam imajenasi pendiri bangsa Indonesia?”

Moh Hatta dan Etika Republikan sebagai Basis Etika Kewarganegaraan

Bila kita mencermati pernyataan dan tulisan-tulisan Hatta, maka nampak jelas bagaimana Hatta secara tegas mengimajenasikan Indonesia merdeka adalah sebuah republik. Robert menjelaskan  bahwa dari cara Hatta menmaknai politk saja nampak jelas pendirian Hatta sebagai seorang republikan.

Pertama, Hatta berpandangan bahwa politik adalah arena dignitas tempat keutamaan umum dipertaruhkan, karena itu harus dijaga dari intervensi-intervensi kepentingan privat. Dari titik ini, Hatta seakan mempunyai keresahan yang sama dengan pemikir republikan, yakni Arendt yang berpendapat bahwa salah satu penyakit dalam dunia politik modern adalah kekaburan antara ruang publik dan privat (hlm.162).

Kedua, Politik harus disterilkan dari kepentingan primordial. Hatta menegaskan dimensi diskursus yang terbuka terhadap pengujian akal budi. Sikap Hatta menunjukkan bahwa tindakan politik pertama-tama harus diletakkan untuk kepentingan umum dan bukannya pribadi atau primordial (hlm.162).

Ketiga, politik memerlukan individu dengan virtue, kebaikan dalam karakter individual. Hatta menganjurkan bahwa dimensi etis dalam dasar-dasar kepolitikan yang bersifat publik itu harus juga tercermin dalam nilai-nilai individual setiap warga negara. Titik berdiri ini disebut dalam kosakata politik modern sebagai civic republicanism (hlm.163).

Baca Juga:  Bagaimana Doa di Saat-Saat Tertentu Bisa Mengubah Takdir?

Poin penting lainnya dari pemikiran Hatta, yakni ketegasannya sejak awal bahwa kedaulatan rakyat menjadi prinsip suatu pemerintahan. Hatta mengandaikan dengan adanya kedaulatan rakyat, maka legitimasinya lebih kuat. Kedaulatan rakyat pun jelas memposisikan rakyat sebagai subjek politik, dan dengan demikian rakyat menjalankan tugas kepolitikannya. Dengan demikian, hal itu juga mengandaikan keaktifan warga negara dalam mempertanggung jawabkan tugas politiknya, yakni turut serta menjaga demokrasi.

Dari pemaparan di atas, maka bisa ditegaskan bahwa republikanisme juga mengandung dimensi etis yang seharusnya kita gunakan sebagai basis etika kewargaan kita. Dewasa ini, menyegarkan dan bahkan merevitalisasi republikanisme dalam etika kepolitikan dan kewarganegaraan kita sangat penting dan aktual dalam menjawab permasalahan-permasalahan pokok yang tengah dihadapi oleh bangsa ini. Pemikiran Hatta bisa kita rujuk untuk mengisi kekosongan etikalitas republikan dalam kepolitikan kita.

Implikasi dari pandangan Hatta jelas sangat relevan, pertama untuk menjadi antitesis di tengah dominasi kekuataan ekonomi dalam politik yang selama ini menjadi salah satu masalah utama dalam politik kita sampai menimbulkan kesan bahwa politik adalah urusan bisnis untuk mengakumulasikan kapital; Keduanya, untuk mengikis politik berbasis primordial karena yang diandaikan sebagai tindakan politik adalah tindakan untuk mewujudkan kemaslahatan umum (kebaikan bersama) dan tidak hanya untuk satu komunitas tertentu semata; Ketiganya, bahwa politik adalah urusan publik dan sebab itu harus terbuka terhadap aspirasi dan uji publik dalam setiap kebijakan publik, poin ini harus menjadi perhatian para elite.

Pandangan-pandangan Hatta jika mampu direvitalsasi, akan membawa politik bangsa ini ke dalam arena yang lebih substantif. Apalagi, menjelang tahun-tahun politik, pandangan Hatta jika diterapkan akan menjauhkan dari berbagai kegaduhan ruang publik, dan bisa mendorong ke dalam pertarungan programatik.

Previous Article

Tasawuf dan Fisika Kuantum: Sebuah Jembatan Menuju Realitas Luhur

Next Article

Benih Monoteisme di Tanah Latin: Akar dari Harmoni dengan Diri dan Alam

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨