Hadis-Hadis yang Diterima dari Nabi Secara Rohani
Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa hidup dan matinya para rasul adalah sama saja. Sebab, meskipun jasad mereka sudah meninggal, tetapi roh mereka tetap hidup dan beraktivitas di bumi dan langit (ḥayātuhum wa mamātuhum sawā’un. Fahum mutaṣarrifūna fī al-arḍ wa as-samā’). Oleh karena itu, menurut Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī, barang siapa yang menulis nama-nama para rasul untuk disimpan di rumah, dibaca, atau dibawa karena mengagungkan mereka dan memohon pertolongan kepada Allah dengan perantara arwah mereka yang suci, maka Allah akan memudahkan baginya urusan dunia dan akhirat. Selain itu, Allah juga akan melimpahkan kebaikan, rahmat, dan berkah kepadanya serta menjauhkannya dari keburukan-keburukan. Menurut pendapat yang masyhur, jumlah para rasul adalah 313. Syekh Nawawī menyebutkan satu persatu nama para rasul yang berjumlah 313 tersebut dalam aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah (hlm. 10-11).
Tulisan ini menyajikan beberapa pengalaman rohani para sufi yang mengukuhkan sabda Nabi Muhammad saw tentang hidup dan beraktivitasnya para rasul secara rohani tersebut. Dalam hal ini, beberapa sufi yang hidup jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad saw memiliki keistimewaan bisa berjumpa secara langsung dengan beliau dalam keadaan terjaga. Menurut Syekh ‘Abd al-Wahhāb asy-Sya‘rānī (wali quṭub dan ulama ahli tahkik), salah satu akhlak ulama-ulama terdahulu yang saleh (as-salaf aṣ-ṣāliḥ) adalah senantiasa melakukan riadat untuk menghilangkan penghalang (hijab) rohani antara mereka dengan Rasulullah saw. Oleh karena itu, sebagian dari mereka yang sudah terbuka hijabnya bisa melihat dan bertemu dengan Nabi Muhammad saw dan nabi-nabi yang lain dalam keadaan terjaga. Bahkan mereka (sebagian ulama-ulama as-salaf aṣ-ṣāliḥ) biasa melaksanakan salat berjamaah dengan Nabi Muhammad saw atau dengan nabi-nabi yang lain di kuburan mereka masing-masing. Dalam hal ini, para nabi tetap melaksanakan salat di kuburan mereka masing-masing dengan azan dan ikamah sebagaimana disebutkan dalam hadis (Tanbīh al-Mugtarrīn, penerbit Syirkah an-Nûr Âsiyâ, hlm. 121).
Oleh karena itu, menurut Syaykh al-Akbar Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī, sebagian ulama muḥaqqiq (ahli tahkik) mengharamkan wali-wali Allah untuk melakukan qiyās (analogi) dalam menetapkan satu masalah keislaman. Sebab, secara rohani Rasulullah saw masih hidup meskipun jasadnya yang indah dan mulia telah dikubur di Madinah beratus-ratus tahun silam. Dalam hal ini, ketika mereka ragu terhadap validitas hadis tertentu atau hukum tertentu, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah saw mengenai masalah tersebut dalam keadaan terjaga. Rasulullah saw lantas memberikan jawaban yang benar atas masalah tersebut secara lisan dalam keadaan terjaga. Maka dari itu, seorang wali yang mencapai maqām syarīf (kedudukan yang mulia) ini (yaitu bisa melihat, bertemu, dan bertanya langsung kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan tertentu dalam keadaan terjaga) tidak perlu bertaklid kepada siapa pun dari kalangan para imam mujtahid (‘Alawī bin Aḥmad al-Ḥaddād, Syarḥ Rātib al-Ḥaddād, 1993: 199). Namun demikian, Syekh asy-Sya‘rānī menegaskan bahwa tidak semua wali bisa sampai kepada maqām syarīf tersebut. Sebab, seorang salik selamanya tidak akan bisa sampai kepada maqām syarīf tersebut sebelum dia melewati 147.999 hijab (Tanbīh al-Mugtarrīn, hlm. 121).
Beberapa ulama yang memiliki keistimewaan bisa melihat dan bertemu langsung dengan Nabi Muhammad saw dalam keadaan terjaga adalah Syekh Jalāluddīn as-Suyūṭī, Syekh Abū al-‘Abbās al-Mursyī, Syekh Afḍaluddīn, Habib ‘Umar bin ‘Abd ar-Raḥmān al-‘Aṭṭās, Sayyid Ahmad bin ‘Alī Baḥr al-Qudaymī, dan lainnya (lihat Nasrullah Ainul Yaqin, “Benarkah Rasulullah Masih Hidup? Ini Jawaban Para Sufi”, dalam https://baca.nuralwala.id/benarkah-rasulullah-masih-hidup-ini-jawaban-para-sufi/ dan “Guru Sufi tertentu Menerima Ajaran Tambahan dari Nabi di Luar Al-Qur’an dan Hadis. Benarkah?”, dalam https://baca.nuralwala.id/guru-sufi-tertentu-menerima-ajaran-tambahan-dari-nabi-di-luar-al-quran-dan-hadis-benarkah/, akses 26/07/2024).
Pertama, Syekh Jalāluddīn as-Suyūṭī pernah berkata, “Aku pernah bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan terjaga sebanyak 73 kali lebih. Dalam salah satu pertemuan itu, aku bertanya kepada Rasulullah saw seraya berkata, ‘Apakah saya termasuk ahli surga, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Iya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah tanpa disiksa terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Kamu mendapatkan hal itu (masuk surga tanpa disiksa terlebih dahulu).’” Suatu ketika Syekh ‘Aṭiyyah meminta tolong kepada Syekh as-Suyūṭī untuk menemui Sultan al-Gūrī karena dia memiliki kebutuhan yang mendesak. Namun, Syekh as-Suyūṭī menjawab, “Wahai ‘Aṭiyyah, aku biasa bertemu dengan Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga. Aku khawatir tidak bisa melihat beliau lagi jika aku bertemu dengan al-Gūrī. Sebab, dahulu ada seorang sahabat Nabi yang bisa bertemu dengan malaikat, dan ia biasa memanggil salam kepada sahabat itu setiap kali bertemu. Suatu ketika sahabat itu mengobati tubuhnya menggunakan kay karena darurat. Maka, sejak saat itu dia tidak bisa melihat malaikat lagi selama satu tahun sebagai hukuman atas perbuatannya tersebut (mengobati tubuhnya menggunakan kay).” (Syarḥ Rātib al-Ḥaddād, hlm. 198)
Kay merupakan salah satu pengobatan pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu menempelkan besi panas pada anggota tubuh yang sakit atau terluka. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengobati tubuh menggunakan kay. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga pendapat, yaitu haram, makruh, dan boleh asalkan ada kebutuhan yang mendesak dan tidak ada pengobatan lain selain kay (Raehanul Bahraen, “Hukum Pengobatan Kay (Menempelkan Besi Panas)”, dalam https://muslim.or.id/31067-hukum-pengobatan-kay-menempelkan-besi-panas.html, akses 28/07/2024).
Kedua, Syekh Abū al-‘Abbās al-Mursyī dan Syekh Afḍaluddīn biasa melaksanakan salat fardu berjemaah dengan Nabi Muhammad saw di kuburannya. Suatu ketika Syekh Abū al-‘Abbās al-Mursyī bertanya kepada para pengikutnya, “Siapa di antara kalian yang biasa duduk bersama Rasulullah saw. dan tidak terhijab dari(melihat)nya, baik siang maupun malam?” Mereka berkata, “Tidak ada seorang pun di antara kami yang bisa demikian.” Beliau berkata lagi, “Tangisilah hati kalian yang terhijab dari (melihat) rahasia-rahasia alam semesta dan alam malakut. Demi Allah, jika aku terhijab dari (melihat) Rasulullah saw. sesaat saja, maka sungguh aku bukan bagian dari orang-orang Islam.” (Tanbīh al-Mugtarrīn, hlm. 121) Hal senada juga dikatakan oleh Habib ‘Umar bin ‘Abd ar-Raḥmān al-‘Aṭṭās ketika mendengar ucapan Syekh Abū al-‘Abbās al-Mursyī tersebut. Beliau berkata, “Dan aku berkata, demi Allah, jika aku terhijab dari (melihat) Rasulullah sekejap mata saja, maka sungguh aku bukan bagian dari orang-orang Islam. Bagaimana mungkin kita terhijab dari Rasulullah, padahal beliau adalah sumber keberadaan kita?” (Syarḥ Rātib al-Ḥaddād, hlm. 199)
Ketiga, Habib Ahmad bin Hasan al-‘Aṭṭās menyebutkan dalam Tażkīr an-Nās bi mā Wujida min al-Masā’il al-Fiqhiyyah wa mā Ta‘allaqa bihā fī Majmū‘i Kalām Sayyidinā al-Ḥabīb al-Imām Aḥmad bin Ḥasan bin ‘Abdillāh al-‘Aṭṭās (hlm. 118-119) bahwa Sayyid Ahmad bin ‘Alī Baḥr al-Qudaymī pernah bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan terjaga. Beliau kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya ingin mendengar hadis dari Anda secara langsung tanpa perantara.” Nabi saw bersabda, “Aku akan menyampaikan tiga hadis kepadamu, yaitu:
ما زال ريح قهوة البن في فم الإنسان تستغفر له الملائكة
‘Selama aroma biji kopi masih melekat di bibir seseorang, maka malaikat akan memintakan ampun (beristigfar) untuknya.’
من اتخذ سبحة ليذكر الله بها كتب من الذاكرين الله كثيرا، إن ذكر بها أو لم يذكر
‘Barang siapa yang mengambil tasbih untuk berzikir kepada Allah, maka Allah mencatatnya sebagai bagian dari orang-orang yang banyak berzikir, baik tasbih itu digunakan untuk berzikir maupun tidak.’
من وقف بين يدي ولي لله حي أو ميت فكأنما عبد الله في زوايا الأرض حتى تقطع إربا إربا
‘Barang siapa yang duduk bersama wali Allah, baik masih hidup maupun sudah meninggal, maka dia seperti beribadah kepada Allah di segala penjuru bumi hingga bumi itu terbelah-belah.’”
Hadis ketiga―yang menjelaskan tentang keutamaan duduk di hadapan seorang wali―itu memiliki beberapa penguat, baik dari pengalaman rohani ulama lain maupun dari beberapa hadis yang diriwayatkan oleh ahli hadis. Pertama, Syekh Muhammad bin al-Ḥusayn al-Bajalī pernah bertemu dengan Rasulullah saw dalam mimpi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “(Yaitu) engkau berada di hadapan seorang wali Allah meskipun sekadar seperti memerah susu kambing atau memasak telur di mana hal itu lebih baik daripada engkau beribadah hingga terpotong-potong” (maksudnya, duduk di hadapan seorang wali meski hanya sebentar adalah lebih baik daripada beribadah hingga terpotong-terpotong). Syekh Muhammad al-Bajalī bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, wali yang masih hidup atau wali yang sudah meninggal?” Beliau menjawab, “Baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.” Pernyataan Nabi Muhammad saw. ini selaras dengan hadis, “Duduk di hadapan seorang wali sesaat saja adalah lebih baik daripada beribadah 70 tahun.” (Syarḥ Rātib al-Ḥaddād, hlm. 108)
Kedua, Syekh Jalāluddīn as-Suyūṭī menyebutkan sabda Nabi Muhammad saw berupa, “Barang siapa yang mengunjungi orang alim, maka dia seperti mengunjungiku. Barang siapa yang berjabat tangan dengan orang alim, maka dia seperti berjabat tangan denganku. Barang siapa yang duduk bersama orang alim, maka dia seperti duduk bersamaku di dunia. Barang siapa yang duduk bersamaku di dunia, maka dia akan duduk bersamaku kelak di hari kiamat.” (Lubāb al-Ḥadīś, hlm. 8)
Ketiga, Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī menyebutkan beberapa sabda Nabi Muhammad saw berupa, “Barang siapa yang berkunjung kepada orang alim, maka dia seperti berkunjung kepadaku. Barang siapa yang berkunjung kepadaku, maka syafaatku wajib baginya. Dan setiap langkahnya (menuju orang alim itu) diganjar dengan pahala orang mati syahid” (riwayat dari Anas bin Mālik), “Barang siapa yang mengunjungi orang alim, maka aku akan memintakan jaminan surga kepada Allah untuknya” (riwayat dari Abu Hurayrah), dan “Barang siapa yang berziarah ke makam orang alim dan kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka Allah akan membalasnya dengan istana di surga sebanyak langkahnya (menuju makam itu). Dan setiap huruf Al-Qur’an yang dia baca di samping makam orang alim itu akan dibalas dengan istana dari emas di surga” (riwayat dari ‘Alī bin Abi Ṭālib). (Tanqīh al-Qawl al-Ḥasīś fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś, hlm. 8)
Orang alim (ulama) merupakan kekasih (wali) Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa (Yūnus [10]: 62-63). Adapun orang-orang yang takut kepada Allah (takwa) di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama sebagaimana disebutkan dalam surah Fāṭir (35): 28. Oleh karena itu, Imam asy-Syāfi‘ī berkata, “Jika ulama bukan aulia, maka Allah tidak memiliki seorang pun wali.” (K.H. Ahmad Ishomuddin, “Ulama Itu Kekasih Allah”, dalam https://jabar.nu.or.id/hikmah/ulama-itu-kekasih-allah-OF5tn, akses 26/07/2024). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…