Tafsir Sufi Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘īnu

Tulisan ini menjelaskan tentang tafsir sufi ayat ke-5 surah Al-Fatihah, yaitu iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘īnu, menurut pemikiran Sayyid Bakrī al-Makkī. Tafsir sufi adalah menakwilkan Al-Qur’an melampaui makna lahirnya karena adanya isyarat (petunjuk) batin yang tampak bagi sebagian ahli ilmu dan ahli makrifat (Nasrullah Ainul Yaqin, “Al-Qur’an sebagai Sumber Pengetahuan (Bagian 3)”, dalam https://baca.nuralwala.id/al-quran-sebagai-sumber-pengetahuan-bagian-3/, 18/11/2024).

Secara lahiriah, makna iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘īnu adalah “hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. Menurut Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī, makna iyyaka na‘budu adalah “kami tidak menyembah siapa pun selain Engkau”. Adapun makna iyyaka nasta‘īnu adalah “hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan untuk beribadah kepada-Mu. Tidak ada kekuatan untuk meninggalkan maksiat, kecuali dengan perlindungan-Mu, dan tidak ada kekuasaan untuk taat, kecuali dengan taufik-Mu”. (Marā Labīd li Kasyf Ma‘nā Qur’ān Majīd, I: 3)

Tafsir berbeda disampaikan oleh Sayyid Bakrī al-Makkī dalam Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Afiyā’. Menurutnya, iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘īnu ini mengisyaratkan kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara syariat dan hakikat. Dalam hal ini, iyyaka na‘budu mengisyaratkan pentingnya memelihara syariat. Sebab, ia (iyyaka na‘budu) menunjukkan adanya usaha lahiriah yang dilakukan oleh seorang hamba, yaitu berupa amal ibadah. Adapun iyyaka nasta‘īnu mengisyaratkan pentingnya memelihara hakikat. Sebab, ia (iyyaka nasta‘īnu) menunjukkan pengakuan seorang hamba atas ketidakberdayaan dirinya (baik untuk meniggalkan maksiat maupun untuk melaksanakan ibadah) dan kesadaran yang mendalam bahwa semua amal ibadah tidak akan terlaksana tanpa pertolongan dan kekuatan dari Allah (hlm. 9).

Menurut Sayyid Bakrī al-Makkī, jalan yang bisa menyampaikan seorang hamba kepada kebahagiaan abadi di akhirat adalah syariat (syarī‘ah), tarekat (arīqah), dan hakikat (aqīqah). Syariat adalah semua perintah Allah dan larangan-Nya. Tarekat adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Hakikat adalah melihat sisi batin segala sesuatu dan menyadari bahwa semua perbuatan adalah dari Allah. Oleh karena itu, setiap muslim harus melaksanakan ketiga jalan itu dan tidak boleh meninggalkan salah satu dari ketiganya. Sebab, syariat tanpa hakikat adalah kosong, dan hakikat tanpa syariat adalah batil (hlm. 8-9).

Baca Juga:  Bersembunyi dalam Rahasia Tuhan

Contohnya, jika ada seorang hamba melakukan amal ibadah karena ingin masuk surga dan meyakini bahwa dia tidak akan bisa masuk surga tanpa amal ibadahnya tersebut, maka dia melaksanakan syariat tanpa hakikat. Oleh karena itu, syariat yang dia lakukan menjadi kosong karena keberadaannya seperti tidak ada. Sebab, seorang hamba bisa masuk surga bukan karena amal ibadah yang dilakukan, tetapi karena semata-mata karunia Allah sebagaimana disebutkan dalam hadis (hlm. 8). Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah menceritakan kisah seorang lelaki yang suka melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Ketika dia mau meninggal, maka dia berpesan kepada anak-anaknya seraya berkata, “Kalau aku sudah meninggal, maka bakarlah tubuhku dan kemudian tumbuklah. Setelah itu, taburkanlah abu-abu tubuhku itu di antara embusan angin. Demi Allah, jika Tuhanku berkehendak untuk menyiksaku, maka Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun.”

Setelah dia meninggal, maka anak-anaknya pun melaksanakan wasiat bapaknya itu. Lalu, Allah memerintahkan bumi agar menyatukan tubuh lelaki yang sudah menjadi abu tersebut. Maka, bumi pun melaksanakan perintah Allah tersebut sehingga tubuh lelaki itu―yang sudah hancur menjadi abu―utuh lagi seperti sediakala. Lelaki itu kemudian berdiri. Maka, Allah bertanya, “Apa yang membuat kamu melakukan hal itu?” Dia menjawab, “Wahai Tuhanku, rasa takutku kepada-Mu.” Mendengar hal itu, maka Allah langsung mengampuni dosa-dosa lelaki tersebut. Menurut Ibnu Baṭṭāl, hadis ini menunjukkan bahwa seorang hamba bisa masuk surga bukan karena amalnya, tetapi karena semata-mata rahmat Allah (Al-Wahyain, [@ioqas], X, 07 Oktober 2024, 19.00. https://x.com/ioqas/status/1843260046488084555?t=ExyPwbcIwQ6PsAo Pxg0aLg&s=19).

Di sisi lain, ada seorang lelaki dari kalangan bani Israil yang beribadah kepada Allah selama 70 tahun. Dia kemudian memohon kepada Allah agar dikumpulkan dengan para malaikat di surga. Maka, Allah mengutus satu malaikat kepada lelaki itu untuk memberitahukan bahwa dia tidak pantas masuk surga meskipun sudah beribadah selama 70 tahun. Setelah mendengar kabar buruk tersebut, maka laki-laki itu berkata kepada si malaikat, “Kami diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi kami untuk beribadah kepada-Nya.” Setelah malaikat itu kembali, maka ia berkata kepada Allah, “Ya Tuhanku, Engkau lebih mengetahui terhadap apa yang dia katakan.” Maka, Allah berfirman, “Karena dia tidak berpaling dari beribadah kepada Kami, maka Kami―dengan kedermawanan dan kebaikan Kami―juga tidak berpaling darinya. Saksikanlah, wahai malaikat-malaikat-Ku, sesungguhnya Aku telah mengampuninya.” (Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Afiyā’, hlm. 9)

Baca Juga:  Manuskrip Al-Futuhat al-Makkiyyah

Adapun contoh melaksanakan hakikat tanpa syariat adalah sebagai berikut. Ada orang yang tidak mau melakukan amal ibadah (seperti salat) sembari berkata, “Jika pada zaman azal aku ditakdirkan sebagai orang yang beruntung, maka aku akan tetap masuk surga meskipun aku tidak melaksanakan salat. Sebaliknya, jika pada zaman azal aku ditakdirkan sebagai orang yang celaka, maka aku akan tetap masuk neraka meskipun aku sudah melaksanakan salat.” Menurut Imam al-Ḥasan al-Baṣrī, ilmu hakikat adalah meninggalkan kalkulasi pahala amal ibadah, bukan meninggalkan amal ibadah. Imam ‘Alī bin Abī Ṭālib menyebutkan bahwa barang siapa yang mengira bahwa dia akan masuk surga meski tanpa amal ibadah, maka dia termasuk orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Dan barang siapa yang mengira bahwa dia akan masuk surga dengan ibadah yang sungguh-sungguh, maka dia termasuk orang yang menderita (hlm. 8-9).

Oleh karena itu, seorang hamba harus melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Namun, dia tidak boleh beranggapan bahwa amal ibadahnya itu yang bisa menyelamatkan dirinya dari neraka dan membuatnya bisa masuk surga. Dia tidak boleh beranggapan bahwa jika tanpa amal ibadahnya itu, maka dia tidak akan bisa masuk surga. Sebaliknya, dia harus fokus melakukan amal ibadah karena semata-mata melaksanakan perintah Allah sebagaimana diperintahkan dalam Az-Zumar (39): 2, yaitu “Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” Jika Allah memberikan pahala atas amal ibadahnya itu, maka hal itu murni karena karunia dari Allah. Namun, jika Allah menyiksanya, maka hal itu murni karena keadilan dari Allah. Dan Allah tidak ditanya tentang apa pun yang diperbuat-Nya (hlm. 9).

Menurut Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī, seorang hamba yang mengetahui secara pasti bahwa semua amal saleh yang dia lakukan merupakan anugerah Allah yang diberikan kepadanya, maka dia tidak akan menuntut pahala atas amal saleh yang dia lakukan itu. Selain itu, dia akan selamat dari tiga penyakit hati yang bisa merusak amal-amal saleh, seperti ria, sombong, dan ujub. Dengan kata lain, dia tidak mungkin mau menuntut pahala atas amal saleh yang dilakukan karena dia tau bahwa amal saleh yang dia lakukan itu adalah pemberian Allah. Dia juga tidak mungkin ria, sombong, atau ujub atas amal saleh yang dilakukan karena dia tahu bahwa amal saleh yang dia lakukan itu adalah pemberian Allah. Dengan demikian, dia akan mencapai kedudukan ikhlas yang sempurna (Qāmi‘ a-Tugyān ‘alā Manūmah Syu‘ab al-Īmān, hlm. 15).

Baca Juga:  Menelisik Gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in

Oleh karena itu, seorang hamba harus merasa senang ketika melakukan amal saleh. Dalam hal ini, dia harus merasa senang karena telah dianugerahkan keutamaan dan taufik oleh Allah berupa amal saleh yang dia lakukan. Namun, jika dia merasa senang karena merasa bisa melakukan amal saleh, maka hal ini tidak boleh dan bahkan tercela (hlm. 15). Sebab, perasaan semacam ini pada akhirnya akan membawanya kepada ria, sombong, dan ujub. Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Akam.

Previous Article

Beribadah Juga Perlu “Imajinatif”

Next Article

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Riwayat Kedermawanan dari Sahabat dan Tabi’in

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨