Kita hidup di era yang serba cepat, mau makan atau nyemil cukup menarikan jari-jemari dan dengan sekejap, makanan pun sampai di pintu rumah. Pesan dapat menancap ke berbagai penjuru dunia hanya sekali klik saja. Mau pinjam uang pun tak perlu mendesain mimik muka memelas, cukup selfie dengan KTP. Dunia pekerjaan dan pendidikan pun dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun.
Perkembangan teknologi ini tentu sangat membantu manusia, tetapi pada saat yang sama, membuat manusia tidak baik-baik saja. Ia merasakan kelelahan mental, seakan diseret untuk bergerak setiap detik tanpa henti. Ia dipaksa untuk menyelesaikan serba cepat, bahkan kebiasaan serba cepat ini terasa saat kita antri untuk mengambil resep dokter atau antri apapun itu, kalau sudah sepuluh menit tak kunjung dapat, jiwa mulai gelisah, lelah, ngeluh dan sebagainya. Dalam ketergesahan ini, yang hilang dari manusia adalah kesabaran atau meminjam istilah dari psikolog Meyer Friedman dan Ray Rosenman ialah hurry sickness (penyakit ketergesah-gesahan).
Hal yang sama juga serbuan ombak tsunami media sosial pun mencabik-cabik mental manusia. Kita seakan-akan tidak bisa menyelamatkan diri dan tenggelam di samudera informasi, gosip, hingga berbagai gaya hidup para selebriti, hingga tetangga dekat pun masuk ke relung metal kita. Bagi yang sedang dilanda kesulitan ekonomi, saat menonton konten flexing—tentu kalau kita tidak sabar—akan melahirkan penyakit menyesali akan nasib diri sendiri, hal yang sama juga bagi pasutri yang sudah lama menikah, tetapi tak kunjung diberikan keturunan karena ada sesuatu hal yang menghalanginya, tentu ketika melihat story WA dan IG kawan, sahabat, saudara yang menghadirkan keharmonisan saat bermain dengan anak-anaknya, membuat mental jatuh dan terpuruk. Belum lagi di dunia nyata, saat bersilaturahmi atau berkumpul ria muncul pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang tiap tahun itu-itu saja, menjengkelkan dan menguras energi.
Karena itu, salah satu cara agar kita tetap waras ialah dengan melakukan detoks digital dan “memutus” sejenak pergaulan dengan manusia, terutama pada manusia toksik atau toxic people atau dalam istilah tasawuf disebut dengan terapi uzlah dan khalwat.
Apa itu Uzlah dan Khalwat?
Di dalam kitab Al-Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan bahwa khalwat adalah kebiasaan para pecinta Allah. Adapun uzlah ialah sebagai tanda bahwa ia tersambung dengan Allah. Bagi pemula di jalan spiritual (murid) hendaknya ber-uzlah (melakukan pengasingan diri sejenak) dari bentuk-bentuk eksistensi, kemudian melakukan khalwat (menyepi) sampai sifat lembut (ketentraman) itu muncul dalam dirinya. Hakikat khalwat adalah menonaktifkan (sementara) dengan makhluk, menuju konektifitas atau keterhubungan dengan Allah yang intens. Hal ini dikarenakan, khalwat merupakan perjalanan ruhani manusia dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia menuju Dzat Maha Pemberi segalanya.
Agar uzlah kita berkualitas—dalam memperbaiki kualitas diri sebelum kembali bersama makhluk—maka para bijak bestari mengingatkan akan pentingnya niat. Kita niatkan proses ini untuk memperoleh ridha-Nya, untuk menjaga keselamatan orang lain dari sifat-sifat buruk yang kita miliki, serta menyelamatkan kesehatan jiwa dari ucapan, tindakan orang lain. Jika ini dilakukan, niscaya kebahagian, ketenangan, keberkahan, dan kekokohan mental spiritual akan memendar di dalam relung jiwa. Saat jiwa kita sudah terpenuhi dengan sifat-sifat baik, maka kita diperintahkan kembali ke masyarakat untuk menyebarkan rahmat dan mengubah keburukan menjadi kebaikan. Seperti bumi saat dilempari bebijian ia akan rawat hingga menjadi pohon yang kokoh dan bermanfaat, begitu juga saat dilempari kotoran, ia malah mengubahnya menjadi pupuk yang menyehatkan tumbuhan di sekitarnya. Atau seperti ikan di laut, ia hidup sepanjang hari di air laut yang asin, tetapi tubuhnya tidak menjadi asin, tetap segar dan nikmat kalau dikonsumsi. Inilah pentingnya uzlah, untuk memupuk dan memberikan fondasi kehidupan seorang hamba, agar tetap sehat dan waras di tengan gempuran kehidupan yang serba semewarut ini.
Para Nabi dan Shalihin Memilih Jalan Uzlah untuk Ngehadapin Toxic People, Lo!
Uzlah dan khalwat merupakan terapi yang diamalkan oleh para nabi dan para kreator sejarah peradaban umat manusia, seperti Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, Siddhattha Gotama, Siti Maryam, dan Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an memotret Nabi Ibrahim as saat jiwanya terganggu melihat fenomena kaumnya yang super ngawur, ia tenangkan dirinya sejenak dengan ber-uzlah.
وَاَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَاَدْعُوْا رَبِّيْۖ عَسٰٓى اَلَّآ اَكُوْنَ بِدُعَاۤءِ رَبِّيْ شَقِيًّا
“Aku (Ibrahim) akan menjauh darimu dan apa yang engkau sembah selain Allah. Aku akan berdoa kepada Tuhanku semoga aku tidak kecewa dengan doaku kepada Tuhanku.” (QS. Maryam [19]: 48)
Yang menarik ialah setelah Nabi Ibrahim melakukan terapi uzlah dan khalwat sejenak sambil berzikir dan berdoa, ia dianugerahi sebuah ketenangan lahir dan batin. Ia dikaruniahi keturunan yang berkualitas serta bermanfaat bagi umat manusia.
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۙوَهَبْنَا لَهٗٓ اِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَۗ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا
“Maka, ketika dia (Ibrahim) sudah menjauh dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya (seorang anak) Ishaq dan (seorang cucu) Ya‘qub. Masing-masing Kami angkat menjadi nabi.” (QS. Maryam [19]: 49)
وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِّنْ رَّحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا
“Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi mulia.” (QS. Maryam [19]: 50).
Al-Qur’an juga menceritakan rentetan bagaimana Siti Maryam berusaha menghindar dari gangguan toxic people:
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًا ۚفَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ
“Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.’” (QS. Maryam [19]: 26)
فَاَتَتْ بِهٖ قَوْمَهَا تَحْمِلُهٗ ۗقَالُوْا يٰمَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْـًٔا فَرِيًّا
“Dia (Maryam) membawa dia (bayi itu) kepada kaumnya dengan menggendongnya. Mereka (kaumnya) berkata, “Wahai Maryam, sungguh, engkau benar-benar telah membawa sesuatu yang sangat mungkar.” (QS. Maryam [19]: 27)
يٰٓاُخْتَ هٰرُوْنَ مَا كَانَ اَبُوْكِ امْرَاَ سَوْءٍ وَّمَا كَانَتْ اُمُّكِ بَغِيًّا ۖ
“Wahai saudara perempuan Harun (Maryam), ayahmu bukan seorang yang berperangai buruk dan ibumu bukan seorang perempuan pezina.” (QS. Maryam [19]: 28)
Bisa dibayangkan pada waktu itu Maryam mendapatkan kecaman, olok-olok, cubiran, dikucilkan karena ia lama tak muncul dan sekalinya muncul langsung memiliki seorang anak kecil yaitu Nabi Isa as. Maryam dituduh macam-macam, tetapi karena Maryam sedang berpuasa bicara, maka Maryam hanya menunjuk kepada anaknya. Lanjutan ayat itu mengisahkan:
“Maka dia (Maryam) menunjuk kepada (anak)-nya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?’ Dia (Isa) berkata, ‘Sesungguhnya aku hamba Allah. Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka, Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. Itulah Isa putra Maryam, (yang mengatakan) perkataan yang benar, yang mereka ragukan kebenarannya’” (QS. Maryam [19]: 29-34).
Setelah melihat rangkaian cerita di atas, muncul pertanyaan di benak saya, kenapa Nabi Isa—yang pada waktu itu masih bayi—bisa berbicara dengan lantang dan penuh makna? Jawabannya ialah karena Siti Maryam melakukan puasa bicara/tidak berbicara di saat gemuruh kritikan, hujatan yang datang bertubi-tubi.
Belajar dari Siti Maryam, puasa bicara/diam pada waktu-waktu tertentu itu sangat dibutuhkan, apalagi saat menghadapi orang yang beracun mulutnya. Maka jawaban yang paling tepat saat menghadapi kondisi seperti itu adalah dengan diam atau menjauh sejenak. Lebih dalam lagi, secara sufistik menurut Sayyed Haydar Amuli dalam kitab Asrar as-Syari’ah wa Athwar at-Thariqah wa Anwar al-Haqiqah berkata, diamnya seorang hamba itu menjadi sebab munculnya perkataan batin dan tersembunyi. Ketika Maryam puasa bicara (diam), maka Isa as berkata dalam buaian untuk menerangkan bahwa dirinya sebagai khalifah. Pahamilah dengan sempurna karena pembahasan ini sangat mendalam.
Kata Rumi, “Saatku diam, ada halilintar tersembunyi dalam hati, semakin sunyi dirimu, semakin jelas aku mendengarnya.”
Detoks Pikiran: Latihan Uzlah dan Khalwat di Era Modern
Tentu di zaman dulu para Nabi dan orang-orang saleh ber-uzlah atau bertapa di tempat-tempat yang benar-benar sunyi dan sepi seperti di gua, di tengah-tengah hutan dan gunung. Nah, di era modern, tampaknya itu sangat susah mencari gua dan gegunungan, sehingga kita ambil saja spirit dari uzlah dan khalwat yaitu mengasingkan atau menarik diri sejenak dari keramaian untuk berdialog pada diri dan Tuhan hingga melahirkan ketenangan dan hikmah.
Di sini saya coba hadirkan beberapa cara praktis untuk melakukan pertapaan di dunia modern yang diambil dari buku Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi karya Robert Frager—seorang mursyid/guru sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychologi, California. Latihan ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah terstruktur untuk membantu menenangkan pikiran dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Anda dapat berkhalwat di dalam rumah, atau di kamar hotel. Matikanlah telepon, HP, dan TV. Singkırkan buku-buku, majalah, ataupun gangguan lainnya. Tutuplah tıraı jendela sehingga Anda tidak dapat melihat keluar. Tutuplah juga cermin sehingga Anda tidak terganggu oleh bayangan Anda
Untuk memulai khalwat, kurunglah dırı Anda di dalam kamar. Bayangkan bahwa tenaga dan kesadaran Anda tetap termuat dan terpusat di dalam tempat Anda ber-khalwat. Ucapkanlah sebuah doa, dan secara formal nyatakanlah niat spiritual Anda untuk ber-khalwat. Pada akhır waktu, bebaskanlah dırı Anda dengan berdoa bahwa niat Anda telah terwujud dan Anda telah mampu membawa berkah khalwat tersebut ke dalam kehidupan keseharian Anda.
Mandılah setiap pagı, dan berdoalah, semoga Tuhan membantu Anda membersihkan dırı secara batınıah dan lahırıah. Makanlah secara sederhana atau berpuasalah dari subuh hingga magrib. Jangan biarkan santapan Anda memakan waktu dan tenaga yang berlebihan.
Anda dapat mencoba ber-khalwat sedikitnya selama dua puluh empat jam, namun paling tidak selama tiga hari adalah lebih baik. Anda dapat berdoa, iktikaf, dan merenungkan kehidupan Anda, atau melakukan meditasi pada beberapa aspek keilahian. Anda dapat membaca kitab suci atau tulisan orang-orang suci, namun jangan sampai bacaan itu menyita seluruh waktu Anda. Bacalah selama sepuluh atau lima belas menit dan kemudian renungkan apa yang telah Anda baca, setidaknya selama setengah sampai satu jam
Bagian penting dari khalwat adalah mengheningkan suasana dan berdiam diri di dalam ruangan. Bersikap tenanglah dan biarkan pikiran Anda terpusat pada Tuhan, dan bukannya terganggu oleh pandangan-pandangan dan suara-suara dari dunia ini.
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, Anda akan dapat melakukan latihan khalwat dengan lebih terfokus dan mendalam, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hubungan spiritual Anda dan berimplikasi pada kesehatan mental. Setelah selesai melakukan ritus ini, berkumpulah dengan masyarakat secara normal, insya-Allah kita telah memiliki mental yang cukup kuat untuk bertemu dengan beragam sifat manusia.
Momen Tenang: Merayu dan Mengadu kepada Dia
Tentu saat kita ber-uzlah kita tidak hanya sekadar mengasingkan diri dari keramaian, tapi di saat kesendirian itu kita mencoba mengaktifkan dimensi keilahian dalam diri kita, sehingga jiwa dan pikiran kita kembali menyala dan menyinari mental dan orang di sekitar kita. Karena itu, saat beruzlah para ulama meresepkan amaliah-amaliah yang membangkitkan jiwa seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, bertafakur (introspeksi atau mengevaluasi diri), dan berdoa atau munajat kerendahan diri di hadapan Sang Milik Jagat.
Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili—pendiri dan guru besar tarekat Syadziliyyah—dalam kitab Risalah al-Amin fi al-Wushul li Rabb al-‘Alamin, memberikan resep doa-doa penyelamat agar kita berhasil menapaki terapi uzlah. Ia berkata, “Ketika engkau masuk ke dalam uzlah, maka teguhkanlah dirimu dan jangan terburu-buru terhadap urusanmu. Katakanlah:
بِسْمِ اللهِ وَبِاللَّهِ وَمِنَ اللَّهِ وَإِلَى اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ
“Dengan asma’ Allah, dengan (pertolongan) Allah, dari Allah, kepada Allah, dan atas (izin) Allah, hendaknya orang-orang yang bertawakal menyerahkan segala urusannya kepada Allah.”
Ketika terlintas di dalam jiwamu kesukaran pada waktu uzlah, maka ucapkanlah:
رَضِيْتُ بِاللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Aku ridha dengan Allah, aku berpasrah diri terhadap Allah. Tidak ada kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah.”
Ucapkanlah juga dalam munajat dan permohonanmu:
يَا مَنْ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ أَسْأَلُكَ الْإِيمَانَ بِحِفْظِكَ، إِيمَانًا يَسْكُنُ بِهِ قَلْبِي مِنْ هَمِّ الرِّزْقِ، وَخَوْفِ الْخَلْقِ، وَاقْرِبْ مِنِّي بِقُدْرَتِكَ قَرْبًا تَمْحَقُ بِهِ عَنِّي كُلُّ حِجَابٍ مُحَقَّتِهِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ خَلِيْلِكَ فَلَمْ يَحْتَجْ لِجِبْرِيلَ رَسُولِكَ وَلَا لِسُؤَالِهِ مِنْكَ، وَحَجِبْتَهُ بِذَلِكَ عَنْ نَارِ عَدُوِّكَ وَكَيْفَ لَا تَحْجُبُ عَنْ مُضَرَّةِ الْأَعْدَاءِ مَنْ غَيَّبْتَهُ عَنْ مَنْفَعَةِ الْأَحِبَّاءِ كَلَّا إِنِّي أَسْأَلُكَ أَنْ تُغَيِّبَنِي بِقُرْبِكَ مِنِّي حَتَّى لَا أَرَى وَلَا أَحُسُّ بِقُرْبِ شَيْءٍ وَلَا بِبُعْدِهِ عَنِّي إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Wahai Dzat yang kerajaan-Nya meliputi langit dan bumi, tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dialah Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dengan perlindungan-Mu hamba (yang faqir) ini meminta keimanan kepada-Mu, iman yang dapat menentramkan hatiku dari kesempitan rezeki dan takut terhadap sesama makhluk. Dekatkanlah hamba dengan kuasa-Mu, kedekatan yang menghapuskan semua tabir dariku, seperti tabir yang telah Engkau hapuskan dari kekasih-Mu Nabi Ibrahim as. Ia tidak membutuhkan Jibril as sebagai utusan-Mu dan tidak butuh terhadap pertanyaannya yang datang sisi-Mu. Engkau juga telah melindungi Nabi Ibrahim as dari api musuh-Mu dengan terbukanya tabir tersebut. Bagaimana tidak Engkau lindungi dari bahaya para musuh, orang yang Engkau tutupi kalau bukan karena manfaat orang yang engkau cintai. Sungguh hamba memohon kepada-Mu, mudah-mudahan Engkau menganugerahkan perlindungan itu kepada hamba dengan selalu dekat dengan-Mu, hingga hamba tak melihat dan merasa sebab dekat dengan sesuatu yang lain dan tidak pula saat sesuatu itu jauh dari hamba. Sungguh Engkau Maha Kuasa (mendesain) atas segala sesuatu.”
يَا غَنِيُّ يَا قَوِيُّ يَا قَدِيرُ يَا عَزِيزُ مَنْ لِلْفَقِيرِ غَيْرِ الْغَنِيِّ، وَمَنْ لِلضَّعِيْفِ غَيْرِ الْقَوِيِّ، وَمَنْ لِلْعَاجِزِ غَيْرِ الْقَادِرِ، وَمَنْ لِلدَّلِيلِ غَيْرِ الْعَزِيزِ فَأَحْسِبْنِي عَلَى بِسَاطِ الصِّدْقِ وَالْبِسْنِي لِبَاسَ التَّقْوَى الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَهُوَ مِنْ آيَاتِكَ وَاحْجِبْنِي بِعَظَمَتِكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ هُوَ لَكَ وَامْلَأْ قَلْبِي بِمَحَبَّتِكَ حَتَّى لَا يَكُونَ فِيْهِ مُتَّسِعٌ لِغَيْرِكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Wahai Dzat Yang Maha Kaya, Maha Digdaya, Maha Kuasa, dan Maha Kekar. Tuhan bagi orang fakir yang tidak kaya, bagi orang lemah yang tidak kuat, bagi orang yang tak berdaya dan yang tiada kuasa, bagi orang hina yang tidak punya kemuliaan. Ya Allah, semoga Engkau selalu menetapkan hamba dalam kebenaran, semoga Engkau selalu memberikan hamba pakaian takwa yang paling bagus. Itu semua adalah tanda-tanda kekuasaan-Mu. Semoga Engkau selalu menutupi cacat hamba dari segala sesuatu dengan keagungan-Mu karena semua adalah milik-Mu. Penuhilah hatiku dengan rasa cinta kepada-Mu hingga cinta itu tidak tersisa untuk selain-Mu. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Hidup Kembali Normal
Setelah kita mendamaikan diri dengan cara berdialog pada diri sendiri, mengaktifkan kembali konektifitas kita dengan Sang Maha Damai, dan kita telah men-download pengalaman-pengalaman spiritual yang menyegarkan jiwa, hingga kita telah berhasil menghiasi diri kita dengan sifat sabar, ridha, dan memiliki sikap selalu husnudhan, pada saat-saat seperti inilah kita kembali lagi bermasyarakat. Namun, kali ini tentu walaupun kita berjumpa dengan manusia bermulut racun atau konten-konten yang toxic, jiwa kita tak meresponnya secara berlebihan. Kita hidup di masyarakat dengan membawa spirit ketuhanan, meminjam istilah Mulla Sadra—seorang filsuf pendiri madrasah Hikmah Muta’aliyah—safar min al-khalq ila al-khalq bi al-Haqq (perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan).
Dalam tradisi praktik tasawuf tarekat Naqsyabandiyyah ada ajaran prinsip salah satunya ialah khalwat dar anjuman yakni, secara lahir bersama makhluk, tetapi batinnya tersambung bersama Khaliq.
خَلْوَتْ دَرْ اَنْجُمَنْ يَعْنِي يَنْبَغِي لِلسَّالِكِ أَنْ يَكُوْنَ ظاهِرًا مَعَ الْخَلْقِ بَاطِنًا مَعَ الحَقِّ الْيَدُ. بِالشُّغْلِ وَالْقَلْبُ بِالْحَقِّ
“Khalwat dar anjuman berarti seyogianya seorang salik (pejalan spiritual) secara lahir bersama makhluk, namun secara batin bersama al-Haqq (Allah). Tangan sibuk dengan aktivitas, sementara hati tetap terhubung dengan al-Haqq.”
Tentu proses ini butuh jihad (kesungguhan) yang luar biasa secara lahir dan batin. Dan jika manusia telah berhasil melakukan ini, kehadirannya akan memendarkan akhlak yang paripurna, lidah dan anggota tubuhnya tak melukai siapa pun, dan andaikan ada yang melukainya ia sambut dengan balasan mawar cinta yang begitu indah. Ia berhasil menjadi manifestasi Tuhan untuk menyebarkan rahmat ke semesta. Seperti akhlak Nabi, saat dihina ia temui orang yang menghinanya dengan memberikan hadiah yang terbaik. Semoga Allah menolong kita semua.