Ada beberapa catatan penting yang perlu disisipkan saat kita membaca amaliah-amaliah Nabi dan para sahabat, atau para kekasih Allah Swt yang terkadang kita sebagai pembaca atau audiens di era kontemporer, ada nuansa atau pesan-pesan yang tidak akrab dengan gaya hidup zaman sekarang, seperti amalan puasa. Mereka berbuka plus sahur hanya seteguk air dan sesuap nasi/beberapa butir kurma, bahkan ada di antara mereka selama berhari-hari mampu meninggalkan makan dan minum.
Hal yang sama juga banyak dijumpai riwayat/hadis Nabi yang secara lahiriah kalau kita membacanya itu seakan-akan kita yang hidup di era yang super sibuk dan ruwed ini sukar dan sulit untuk mengamalkannya. Seperti gaya hidup Nabi terkait kepeduliannya terhadap sesama. Sampai-sampai salah seorang sahabat, bernama Anas bin Malik, menilai kalau Nabi Muhammad adalah orang paling dermawan (ajwadun nas), dalam redaksi lain saat di bulan Ramadhan kedermawanan Nabi itu seperti angin yang menyebar ke segala penjuru. Penilaian ini memang pantas karena dalam hidupnya, ia tidak pernah menyimpan uang di rumahnya. Jika ada lebih dari rezekinya, dia tidak akan pulang sebelum kelebihan itu diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Bahkan, saking ekstremnya Nabi wafat dalam kondisi bajunya masih tergadai (belum tertebus) di umat Yahudi yang hidup di Madinah demi untuk membantu orang lemah.
Meninggalkan makan dan minum berhari-hari, atau makan hanya satu suap nasi itu untuk kriteria gaya hidup zaman sekarang amat sulit dilaksanakan. Nah, untuk mengatasi perbedaan antara amaliah ibadah kaum khawwash (orang-orang khusus) dengan kenyataan yang sedang kita hadapi sekarang, saya mengusulkan satu pembacaan teks yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur—cendekiawan muslim kontemporer asal Suriah—yaitu teori batas (nazhariyyah al-hudūd/limit theory).
Kita memposisikan teks-teks yang menceritakan amaliah kaum khawwash itu semacam tolok ukur puncak. Meminjam istilah Syahrur ialah ada batas minimal paling rendah (hadd al-adnā) dan batas maksimal tertinggi (hadd al-a’lā). Dalam kasus puasa yang penting bagi kita adalah tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, tidak menyebarkan onar/ghibal dll di siang hari saat berpuasa, itu sebagai batas terendah amaliah ibadah puasa. Tetapi, kalau kita sampai menentukan kadar porsi berbuka hanya dengan seteguk air putih dan sesuap nasi, bahkan ada yang mampu tidak makan dan minum berhari-hari kita anggap saja itu batasan tertinggi.
Hal yang sama juga gaya hidup Nabi di atas, sangatlah susah bagi kita yang hidup di era yang kebutuhan hidup semakin hari semakin mahal, bahkan pajak PPN pun ikut naik. Disebutkan, Nabi saat mendapatkan kelebihan rezeki langsung di-share semuanya tanpa tersisa sedikit pun (tidak ada saldo tabungan di rekeningnya). Kita tidak terbayang, betapa cenat-cenutnya kepala dan kondisi mental kita kalau saldo rekening kita Rp 0, atau bahkan minus. Karena itu, manusia modern untuk mengantisipasi hal semacam ini terjadi, melahirkan ilmu manajemen keuangan, khususnya dana darurat, tabungan di hari tua dan sebagainya. Lalu, bagaimana agar manusia modern terutama yang hidup di perkotaan agar bisa menjalankan aktivitas pekerjaan/karir dll, tetapi bisa mengamalkan ajaran agung Nabi Muhammad saw.
Nah, kembali ke teori di atas, kita anggap saja gaya hidup Nabi soal kedermawanan sebagai batasan tertinggi. Dan batasan terendah bagi kita yang kualitas imannya pas-pasan ialah yang penting saat kita menerima kelebihan rezeki, kita wajib disisipkan zakat 2,5% untuk orang yang membutuhkan dan jika perlu ditambah infak dan sedekah sesuai kemampuan. Sisa kelebihan rezekinya, kita masukkan ke tabungan untuk kebutuhan hidup mendatang.
Saya kira dengan memanfaatkan teori pembacaan teks batas minimal paling rendah (hadd al-adnā) dan batas maksimal tertinggi (hadd al-a’lā) kita bisa memposisikan mana kira-kira di antara pesan/ajaran tersebut yang bisa diambil dan diterapkan sesuai dengan isti’dād (kesiapan spiritual dan mental) kita masing-masing, sambil kita terus belajar dan bergerak dari batasan terendah menuju batasan tertinggi, sehingga kita bisa menjadi umat Nabi Muhammad saw yang paripurna. Amin.