Hubungan antara tasawuf dan fisika kuantum membuka wawasan baru tentang cara memahami realitas, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Keduanya mengungkap dimensi yang tidak terjangkau oleh pendekatan materialistik semata. Tasawuf berusaha melampaui batas empiris, menuju hierarki keberadaan yang lebih halus, sementara fisika kuantum menggali misteri alam semesta di tingkat subatomik, yang ternyata menyingkap realitas yang tidak sepenuhnya material.
Seorang pemikir yang memadukan dua disiplin ini, baik sains modern maupun tasawuf dapat menjadikan hal ini sebagai komponen penting dari satu kesatuan alam semesta. Keduanya tidak saling bertentangan, melainkan melengkapi, masing-masing dengan fokus dan metodologinya sendiri. Tasawuf mendalami esensi dan spiritualitas, sedangkan fisika kuantum mengeksplorasi hukum-hukum alam yang tak kasatmata.
Gerakan Substansial dan Konsep Lathaif
Dalam filsafat Islam, Mulla Sadra memperkenalkan konsep Al-Harakah Al-Jauhariyah (gerakan substansial), yang menjelaskan bahwa tidak ada dikotomi antara fisik dan ruh. Ruh bukanlah sesuatu yang terpisah dari jasad, melainkan hasil evolusi dari kesempurnaan fisik. Konsep ini berbeda dari pandangan filsafat Barat yang memisahkan jasad dan ruh sebagai dua entitas yang sepenuhnya berbeda. Tasawuf menjelaskan proses ini melalui konsep Lathaif:
- Ath-Thab’ (empiris, kasar)—Mirip dengan partikel dalam fisika kuantum.
- An-Nafs (jiwa)—Mendekati gelombang dalam fisika kuantum.
- Al-Qalb, Ar-Ruh, As-Sirr, Al-Khafiy—Lebih banyak terpaku pada fungsi gelombang dalam fisika kuantum dan masuk pada tingkatan yang lebih lembut
- Al-Akhfa—Sepenuhnya berfungsi sebagai gelombang dan merupakan tingkatan yang paling lembut dan paling tersembunyi.
Proses ini menggambarkan perjalanan spiritual manusia dari materi kasar menuju tingkat keberadaan yang lebih tinggi, sejajar dengan pandangan fisika kuantum bahwa partikel subatomik memiliki dualitas sebagai partikel dan gelombang.
Fisika: Dari Material ke Metafisika
Sebenarnya kata fisika dahulunya tidak terkait dengan benda empiris saja, tapi belakangan fisika “fisis” diartikan sebagai empiris yang berarti sebuah benda yang konkret, memiliki dimensi dan masa serta butuh pada waktu untuk menempuh sebuah jarak. Pengertian ini kemudian bukanlah pengertian fisika yang sejak awal diperkenalkan fisika.
Kata “fisika” sendiri berasal dari bahasa Yunani, “fusis” yang bermakna asal muasal atau esensi dari segala sesuatu, yang menjadikannya tumbuh menjadi (sesuatu), tabiat. Jadi dia merupakan esensi sumber dorongan yang berasal dari sesuatu kepada sesuatu yang lain, yaitu nature (tabiat). Artinya ada suatu mekanisme teratur yang menyebabkan sesuatu itu tumbuh menjadi sesuatu berkat dorongan yang teratur dari esensinya. Dalam makna ini, fisika lebih dekat dengan metafisika. Keduanya tidak terpisah, tetapi saling melengkapi dalam memahami alam semesta secara menyeluruh, baik yang tampak (alam syahadah) maupun yang tersembunyi (alam ghaib). Fisika juga dipahami juga sebagai realisasi obyektif dari konsep yang abstrak. Artinya fisika dipahami sebagai benda-benda yang konkret yang berasal dari esensinya yang abstrak atau properti umum dari konsep abstrak, sifat umum keberadaan (wujud atau being) yang terkait dengan metafisika dan agama.
Dalam pandangan Aristoteles, istilah fisika terkait dengan “entelechia” sebagai suatu tahap lebih sempurna dari substansi materi. Maksudnya perkembangan benda selalu dari substansi atau materi yang kemudian dia berkembang menjadi memiliki forma lalu berkembang menjadi materi baru, berkembang lagi menjadi forma dan kemudian menjadi materi dan terus mengalami pertumbuhan hingga seterusnya. Maka fisika sebenarnya berhubungan dengan proses tumbuhnya sesuatu dari esensinya dan tidak terbatas pada alam-alam materi saja.
Fisika dalam Arti Sebenarnya: Menyelami Makna di Balik Realitas
Kemudian kita bertanya-tanya sejak kapan fisika hanya dipahami sebagai ilmu yang hanya mengurusi benda-benda partikel yang menempati ruang dan waktu, dan hal ini ini merupakan sebuah gejala baru. Tampak bahwa, pada mulanya fisika tak hanya berkaitan dengan alam empiris atau material dalam makna dunia ruang waktu Newtonian, melainkan melampauinya hingga mencakup alam-alam yang lebih “lembut” di “atas”-nya, atau yang sering disebut sebagai supra empiris.
Bahkan istilah metafisika yang berasal dari kata “meta ta phusika” bukanlah berarti sesuatu yang melampaui alam empiris. Istilah metafisika, pada awalnya, berarti sesuatu yang dikomplikasi baik dalam buku-buku filsafat maupun dalam buku khusus tentangnya sebagai kelanjutan (yang datang belakangan terhadap) pembahasan tentang fisika. Jadi metafisika dan fisika bukanlah hal yang dikotomi. Termasuk di dalamnya pembahasan yang terkait dengan filsafat. Bahkan, sempat metafisika ini disebut sebagai filsafat awal (al-falsafah al-ula) yang ditulis oleh Al-Kindi atau bahkan filsafat ketuhanan. Maka filsafat ketuhanan ini jika adalah istilah lama yang bisa disebut metafisika dan dia juga sebenarnya fisika mengenai alam yang lebih luhur sampai pada alam ketuhanan.
Dalam buku The Disenchantment of the Universe (memasukan kembali persoalan ruh kepada alam) karya Morris Berman, apa yang disebutnya sebagai the disenchatment of the Universe menjadikan alam semesta tidak lagi magis tapi sepenuhnya saintific rasional empiris baru terjadi sejak abad ke-15 dan sejak abad ini sains mulai memisahkan diri dari dimensi metafisis dan spiritual. Yakni sejak masa-masa renaisans yang awalnya segala sesuatu dipahami sebagai magis kemudian dilucuti, hal-hal terkait alam semesta ilmu dan semuanya diubah dari sesuatu yang bersifat gaib menjadi sesuatu yang bersifat material empiris.
Sebelumnya, bahkan science yang belakangan disebut sebagai natural science atau hard science yang tidak pernah terpisahkan, bukan hanya dari apa yang belakangan disebut sebagai social atau cultural science (humanities), melainkan juga dari kebijaksanaan (wisdom atau sapientia). Tasawuf juga termasuk ke dalam wisdom, begitu juga filsafat, dan dahulu di abad ke-15 tidak pernah terpisah antara natural science dengan cultural science dan dengan wisdom (hikmah) yang tasawuf juga termasuk ke dalam bagiannya.
Kenyataannya, bahkan sampai sekarang, perkembangan sains tak pernah benar-benar bisa dilepaskan dari ilmu-ilmu atau daya-daya yang sama sekali tidak scientific. Seperti imajinasi atau bahkan ilham-ilham keagamaan. Dan yang disebut dengan imajinasi ada dua macam, ada yang disebut imajinasi terkait dengan hal empiris dan imajinasi yang datang dari atas, yang disebut sebagai “Al-Khayal Al-Mutasilah dan Al-Khayal Al-Mufasilah”.
Di zaman modern ini tidak sedikit penemuan saintifik yang diperoleh lewat mimpi, bahkan Einstein mengatakan teori relativitas umum, ia temukan lewat imajinasi. Bahkan hingga masa modern terbukti bahwa sains tidak terlepas dari alam-alam luhur yang lebih lembut, bukan hanya alam empiris dan terkait daya-daya intelektual yang tidak terkait dengan daya-daya kasar sampai pada tingkat akal.
Jika kita melihat ini semua, datangnya fisika kuantum ini seperti membangunkan kembali orang, kepada apa yang mungkin seperti kekeliruan kemanusiaan sejak abad ke-15. Ketika melucuti sains itu tadi dari sumber-sumber kebanaran yang lebih luhur daripada sumber-sumber yang empiris yang butuh pada ruang dan waktu Newton.
Maka, tasawuf dan fisika kuantum mengajarkan bahwa realitas adalah perjalanan menuju keberadaan yang lebih luhur. Dengan menggali ilmu dari kedua sisi ini, manusia dapat memahami hakikat alam semesta dan perannya di dalamnya, bukan hanya sebagai pengamat tetapi juga sebagai bagian integral dari realitas itu sendiri.