Syariat, Hakikat, dan Mazhab Cinta yang Terlupakan

Di tengah perdebatan panjang antara legalisme dan spiritualitas dalam Islam, muncul sebuah gagasan yang menggugah: bagaimana jika syariat itu bukan semata sistem hukum yang kaku, tetapi justru jalan rahmat yang fleksibel dan manusiawi? Inilah inti dari pemikiran yang diangkat oleh Samer Dajani dalam bukunya Sufis and Sharīʿa: The Forgotten School of Mercy. Buku ini menyingkap satu tradisi hukum Islam yang selama ini luput dari perhatian: mazhab para sufi yang melihat syariat sebagai jalan menuju kasih sayang Tuhan, bukan alat penindasan atau ujian kepatuhan semata.

Antara Fiqh dan Tasawuf: Jembatan yang Terlupakan

Tradisi hukum Islam (fiqh) dan spiritualitas Islam (tasawuf) kerap diposisikan sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Para ahli fikih dianggap tegas, tekstualis, dan ketat dalam menetapkan hukum. Sebaliknya, para sufi dikenal fleksibel, esoteris, dan tidak terlalu terikat pada detil hukum fiqh. Namun, Dajani menunjukkan bahwa dikotomi ini terlalu simplifikatif. Dalam sejarah Islam, ada banyak tokoh sufi yang tidak hanya tunduk pada hukum, tapi juga ikut membentuk teori hukum Islam dengan pendekatan yang khas: mereka memadukan kedalaman spiritual dengan sensitivitas hukum.

Contohnya, al-Ghazālī, sufi besar sekaligus ahli usul fikih. Meskipun bukunya al-Mustasyfā menjadi rujukan penting dalam ilmu fiqh, nuansa sufistik tetap mewarnai cara berpikirnya. Namun, al-Ghazālī dan tokoh sepertinya masih cenderung menulis dengan ‘style uṣūlī’, yaitu sebagai faqīh murni. Hakikat dan syariat memang kerap hidup berdampingan, tapi jarang ada karya hukum yang ditulis sepenuhnya dari pandangan seorang sufi.

Inilah yang coba ditawarkan oleh Dajani, menggali warisan intelektual sufi yang berbicara langsung tentang fiqh, bukan hanya dari sisi mistik, tapi juga metodologi fiqh itu sendiri. Dan pusat dari kajiannya adalah satu tema kunci, raḥmah (kasih sayang) sebagai inti dari syariat.

Fondasi Raḥmah

Dajani menelusuri bagaimana para sufi lebih dekat dengan arus tradisionalisme dalam hukum Islam dibandingkan dengan rasionalisme. Mazhab tradisionalis menekankan pentingnya naṣṣ (teks wahyu dan hadis Nabi), serta warisan para sahabat dan salaf. Sementara kaum rasionalis lebih percaya pada akal, analogi hukum (qiyās), dan rekayasa hukum seperti maṣlaḥah (kemaslahatan umum) dan istiḥsān (preferensi hukum).

Baca Juga:  Makna Keluarga Nabi Menurut Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī

Namun, bagi para sufi seperti al-Ḥākim al-Tirmiżī, Ibn ‘Arabī, dan ‘Abd al-Wahhāb al-Sya‘rānī, yang menarik dari tradisionalisme bukan hanya kesetiaan pada naṣṣ, melainkan kesederhanaannya. Hukum-hukum yang bersumber langsung dari wahyu cenderung lebih ringan dan penuh raḥmah. Mereka khawatir, ketika hukum dibuat terlalu banyak melalui akal dan analogi, umat akan terbebani oleh corak sederhana hitam-putih, perintah dan larangan yang bisa jadi tak pernah dimaksudkan oleh Allah.

Dalam pandangan mereka, syariat bersifat inklusif, dinamis, dan memudahkan, bukan menyulitkan. Sebagaimana firman Allah:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Q.S. 2: 185)

Bagi para sufi, ayat ini bukan sekadar motivasi moral, tapi prinsip hukum.

Al-Tirmiżī: Kebijaksanaan Tuhan di Balik Hukum

Al-Ḥākim al-Tirmiżī, tokoh awal sufi abad ke-3 Hijriyah, adalah salah satu pemikir yang pertama kali menjelaskan hubungan antara syariat dan kebijaksanaan bāṭiniyyah. Dalam pandangannya, setiap hukum syariat pasti mengandung ḥikmah (kebijaksanaan spiritual) yang tidak selalu terlihat di permukaan. Ijtihād bukan hanya soal akal dan qiyās, tapi juga soal kebeningan hati yang mampu menangkap maksud Tuhan.

Al-Tirmiżī menolak analogi yang kaku karena ia percaya bahwa setiap perintah syariat lahir dari sifat kasih sayang Tuhan. Menurutnya, mengetahui maksud Tuhan (ma‘nā) lebih utama daripada sekadar mengikuti hurufnya (lafẓ). Dengan pendekatan ini, ia melihat pluralitas hukum (perbedaan pendapat antar-ulama) bukan sebagai kekacauan dan kerancuan, tapi justru sebagai manifestasi kasih sayang Tuhan yang membuka banyak jalan bagi manusia untuk taat kepada-Nya.

Ibn ‘Arabī: Syariat sebagai Jalan Menuju Rahmat

Puncak dari mazhab ini terletak pada pemikiran Muḥyi al-Dīn Ibn ‘Arabī. Dajani menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabī tidak hanya seorang sufi besar, tetapi juga pemikir yang faqīh, membangun sistem fiqh sendiri. Baginya, inti dari syariat adalah raḥmah Tuhan yang tak terbatas. Dalam Al-Futuḥāt al-Makkiyyah, Ibn Arabi berbicara panjang tentang hukum, tetapi selalu menekankan satu prinsip: “asal segala sesuatu adalah halal, kecuali yang jelas dilarang.”

Baca Juga:  Apa yang Kau Cari, Sedang Mencarimu

Dari sinilah muncul prinsip taysīr (kemudahan) dan ibāḥah aṣliyyah (legalitas asal). Ibn ‘Arabī menyusun pendekatan hukum yang tidak mengandalkan satu mazhab saja, melainkan mengakui kebenaran dari semua mujtahid. Ia menolak fanatisme mazhab (ta‘aṣṣub) dan justru mendorong taqlīd pluralis; mengikuti semua mazhab dalam semangat kasih sayang, bukan kompetisi.

Ibn ‘Arabī bahkan mengusulkan bahwa perbedaan fatwa adalah bentuk dari “rahmat Tuhan di muka bumi.” Ia merujuk pada hadis terkenal:

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”

Baginya, fiqh bukan satu pintu sempit, melainkan taman luas dengan banyak gerbang. Semua sah berasalkan niat dan keikhlasan.

Al-Sya‘rānī dan Mīzān: Menimbang Ringan dan Beratnya Hukum

Warisan Ibn ‘Arabī selanjutnya diteruskan oleh tokoh besar abad ke-10 H/16 M, ‘Abd al-Wahhāb al-Sya‘rānī. Ia menyusun sebuah sistem hukum yang disebut al-Mīzān al-Kubrā (timbangan besar). Dalam sistem ini, ia membagi hukum Islam menjadi dua tingkat; hukum untuk orang awam dan hukum untuk para khawwā (elite sufi).

Bagi al-Sya‘rānī, syariat punya kelenturan yang terstruktur. Setiap hukum memiliki versi ringan dan berat. Yang ringan diperuntukkan bagi umat kebanyakan, sedangkan yang berat diperuntukkan bagi para sufi dan ahli ‘ibādah. Dengan ini, tidak ada pertentangan antara fatwa yang meringankan dan yang memberatkan, semuanya benar sesuai konteks dan kapasitas spiritual seseorang.

Pandangan ini revolusioner karena menjadikan keragaman hukum fiqh sebagai kekayaan, bukan perpecahan. Ia berkata: “Tidaklah terjadi perbedaan di antara para mujtahid, melainkan karena keluasan rahmat Allah bagi umat.”

Dajani kemudian melacak pengaruh mazhab rahmat ini hingga ke tokoh-tokoh pembaru seperti Aḥmad ibn Idrīs pada abad ke-19. Ibn Idrīs menggabungkan ajaran Ibn ‘Arabī dalam tasawuf dengan penerapan fiqh yang memudahkan dan toleran. Ajarannya tersebar luas melalui murid-muridnya di Maroko, Sudan, dan Hijaz, bahkan ikut membentuk gerakan modern seperti Sanūsiyyah dan Mahdiyyah.

Baca Juga:  BAGAI DAUN-DAUN KERING DITERBANGKAN ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (4)

Namun, Dajani juga mencatat bahwa mazhab ini perlahan tergeser oleh kebangkitan gerakan Salafi. Meskipun Salafi awal seperti Shah Waliullah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhab juga berbasis pada teks dan tradisionalisme, pendekatan mereka lebih menekankan penyatuan hukum dan penghapusan keragaman. Bagi mereka, hukum harus satu dan seragam demi kemurnian Islam (purifikasi). Di sinilah perbedaan mendasar muncul; bagi sufi, hukum itu penuh rahmat dan dinamis; bagi Salafi, hukum adalah batas dan perintah yang harus ditaati mutlak.

Penutup

Buku Dajani menyadarkan kita bahwa ada satu warisan intelektual Islam yang sangat penting tetapi nyaris dilupakan, mazhab fiqh sufi yang menjadikan kasih sayang Tuhan sebagai landasan utama dalam memahami syariat. Mereka tidak melawan hukum, tetapi membacanya dengan mata hati. Mereka tidak menolak fiqh, tetapi merangkulnya dalam pelukan rahmat.

Dalam dunia Muslim yang kini sering terjebak antara legalisme ekstrem dan spiritualitas yang terlepas dari realitas, pendekatan ini menawarkan alternatif menyejukkan. Ia mengajarkan bahwa syariat bisa bersandar pada cinta, bahwa fiqh bisa tumbuh dari kasih sayang, dan bahwa ketaatan tidak harus selalu berat jika dibangun di atas pengetahuan dan cinta kepada Tuhan.

Mungkin inilah yang perlu dihidupkan kembali saat ini, mazhab rahmat (cinta), yang melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai bukti betapa luasnya jalan menuju Tuhan.

Previous Article

Mencari Fikih Penuh Ramah, Mencari Tasawuf Penuh Rahmah: Selayang Pandang Sifat Fikih Ibn ‘Arabi

Next Article

Hasnan Singodimayan: Dari Budayawan, Sastrawan Hingga ke Takwil Al-Qur’an

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨