Sulitnya Menjadi (Penulis Buku Tentang) Ba‘alawi (Bagian 2)

Meski sudah lama saya tertarik untuk menulis tentang masalah Thariqah ‘Alawiyah ini, tapi perasaan bahwa buku ini harus diterbitkan baru muncul kurang dari setahun yang lalu. Di sinilah mulainya persoalan yang akan saya bahas dalam bagian kedua tulisan ini.

Sejak dua tahunan lalu, meletup suatu soal besar terkait kaum ‘Alawiyin di Indonesia. Yaitu, masalah validitas nasab ‘Alawiyin atau Ba‘alawi—yakni para keturunan ‘Alwi bin Ubaydillah—kepada Nabi Muhammad saw. Maka, terjadilah perdebatan berlarut-larut mengenai masalah ini. Yang memprihatinkan, bukannya terbatas pada perdebatan ilmiah, tak jarang hal ini melahirkan kemarahan, penghinaan, dan bahkan kebencian yang satu kepada yang lain. Bahkan sampai hari ini, ketika tulisan ini saya buat.

Sebetulnya, bagi saya, persoalan nasab ini sama sekali tidak penting. Kalau pun ada nilainya, bagi saya hal itu lebih bersifat internal dan kekeluargaan. Itu pun lebih berhubungan dengan persoalan tanggung jawab moral dan spiritual terkait kebaikan agama seseorang. Ya, bagi saya, hal itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kemuliaan atas kelompok manusia lain. Persoalan ini juga saya tulis, secara eksplisit maupun implisit di buku saya. (Setelah ini, akan saya muatkan tulisan perkenalan saya untuk buku ini, terkait persoalan nasab ini).

Bukan hanya tidak penting, perdebatan soal nasab ini sesungguhnya agak—maaf—buang-uang waktu bagi saya, untuk tak menyebutnya menyebalkan. Hampir-hampir tak perlu ditegaskan di sini, bahwa yang menyebalkan saya bukanlah upaya pembatalan nasab Ba‘alawi itu, melainkan seluruh perdebatan ini. Much ado about something very irrelevant!

Tapi, persoalan jadi lain jika nantinya penerbitan buku saya tentang Thariqah-nya kaum ‘Alawiyin di-jatuhkan ke dalam konteks ini. Lalu dianggap sebagai memihak pada salah satu kubu di antara dua pihak yang bertengkar ini. Apalagi, setidaknya sebagian orang, tahu bahwa saya sebagai penulis memang berasal dari keluarga ‘Alawiyin ini.

Baca Juga:  Rekonstruksi Nalar Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani

Saya tentu tak akan berkeberatan jika buku ini memiliki efek samping memberikan bahan positif dan ilmiah bagi perdebatan ini. Toh, seperti saya sebutkan di cover depan dan blurb di cover belakang buku ini, Thariqah ‘Alawiyah adalah suatu manhaj yang sudah berkembang selama berabad-abad di berbagai belahan dunia, bahkan sudah menjadi bahan penelitian dan penulisan buku-buku oleh tak sedikit sarjana modern dari berbagai perguruan tinggi besar di dunia. Tapi akan problematik jika buku saya dilihat sebagai diarahkan untuk masuk ke dalam perdebatan ini. Karena, seperti saya tulis sebelumnya, bukan saja saya sama sekali tak tertarik, tapi persepsi orang pun akan terdistorsi oleh limbah perdebatan soal nasab ini. Sayang sekali!

Di sinilah saya harus bersikap ekstra hati-hati. Setidaknya secara implisit, saya harus menjelaskan sikap saya terhadap persoalan nasab ini. Ya itu tadi. Di satu sisi, saya harus menegaskan bahwa saya tak berkepentingan terhadap isu apakah saya ini keturunan Nabi atau bukan—setidaknya secara publik, bukan internal kekeluargaan (yang dalam hal ini saya tentu punya sikap saya sendiri). Tapi, karena buku ini juga mengandung semacam (auto)-kritik terhadap perkembangan historis (belakangan) Thariqah ‘Alawiyah, orang juga tak boleh melihat saya sebagai berpihak kepada upaya meragukan validitas nasab kaum ‘Alawiyin kepada Nabi Muhammad saw. Di sinilah kesulitan (kedua) ini terletak.

Sikap ekstra hati-hati ini mengharuskan saya untuk memeriksa kembali dengan penuh kehati-hatian—artinya, saya harus melakukannya bolak-balik dan berkali-kali—lalu me-refine naskah buku saya secara berulang kali pula. Kalau saja keadaan normal, sudah cukup jika buku saya ini menjelaskan sejarah, ajaran, dan riwayat para tokoh besar Thariqah ‘Alawiyah secara apa adanya, sambil melakukan autokritik secara proporsional atasnya. Termasuk memuat autokritik—tak jarang amat keras—oleh para tokoh ‘Alawiyin (Thariqah ‘Alawiyah) atas kaum ‘Alawiyin. (Persis seperti inilah naskah asli buku saya yang satu ini, tadinya).

Baca Juga:  Ramadan: Sarana Berbisnis dengan Allah

Kini, saya harus menambahkan perkenalan, memberikan disclaimer di sana-sini, plus menghaluskan banyak kalimat yang bisa memprovokasi orang untuk segera mengaitkannya dengan (keberpihakan kepada) argumentasi salah satu dari kedua belah pihak yang terlibat dalam pertengkaran soal nasab ini. Sungguh rumit dan memusingkan!

Bukan tak pernah ada saat yang sama dalamnya saya merasa bahwa buku ini mungkin lebih baik tak diterbitkan saja. Saya sempat khawatir mudharat ya lebih besar dari penerbitannya. Saya bahkan pernah menyampaikan hal ini kepada editor dan penerbit saya. Tapi, alhamdulillah, akhirnya—setelah pusing kepala dan habis banyak waktu—buku ini terbit juga. Sempat akan ditulis pengantar oleh seorang ahli, plus beberapa endorsement dari beberapa tokoh akademisi terkemuka. Tapi, saya akhirnya berpikir, lebih baik buku ini terbit secara polos aja. Saya khawatir, kalau ada puja-puji, justru buku ini akan menjadi ofensif bagi pihak-pihak tertentu.

Sejauh ini—sekali lagi, sejauh ini—buku ini tampaknya mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan pembaca yang sudah sempat membacanya. Mudah-mudahan Allah Swt melimpahkan taufik-Nya kepada saya dan isi buku ini, betapa pun sederhana kualitasnya.

Previous Article

Sulitnya Menjadi (Penulis Buku Tentang) Ba‘alawi (Bagian 1)

Next Article

Apa itu Tasawuf? Penjelasan Mendalam dari Buya Hamka

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨