Sujud Tapi Berjarak

Bagi kaum muslimin yang berusia 50 tahun, mungkin sudah melakukan shalat lebih dari 35 tahun. Anggap saja mereka mulai shalat sewaktu umur 7 tahun, di mana Rasulullah berkata ingatkan anak kalian shalat pada usia tersebut. Dapat dikatakakam lebih dari setengah perjalanan hidup manusia adalah shalat. Karena kita meyakini bahwa shalat sebagai salah satu kewajiban umat Islam yang langsung Rasulullah menerima perintah itu ketika peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Dalam firman Allah SWT, dinyatakan shalat berguna untuk mencegah perbuatan manusia dari keji dan mungkar. Artinya kalau shalat ditegakkan, maka manusia akan terhindar dari semua perbuatan tercela dan perilaku yang menolak tercela.

Namun dari fenomena masyarakat yang ada, kondisi yang diharapkan dari shalat di atas belumlah tercapai. Kita masih sering menjumpai orang sudah shalat tetapi tetap keji dan mungkar. Tidak sedkit para pelaku kejahatan itu dari umat muslim yang shalat. Korupsi tetap dilakukan bagi sebagian anggota dewan dan penyelenggara pemerintahan, bagi para pelajar betapa banyak dari mereka yang masih  melakukan plagiat atas karya-karya orang lain, begitu juga masih banyak pegawai bank yang membobol sistem IT untuk kepentingan pribadi. Jadi mereka masih memisahkan antara shalat dan keseharian. Mereka mengira shalat hanya di rumah, masjid dan tempat-tempat ibadah saja. Kalau sedang bekerja, di luar rumah dan masjid, kita tidak mampu menghubungkan antara manfaat shalat dengan aktivitas kehidupan. Akhirnya mereka shalat, tapi tetap senang pada kemaksiatan, mereka shalat tapi masih suka pada kemewahan dan sebagainya. Jadinya mereka selalu sujud kepada Allah, tapi tetap berjarak dengan-Nya.

Bagaimana umat muslim dapat menghubungkan antara shalat dengan perbuatan-perbuatan mereka? 

Pertama, kita harus menyadari bahwa shalat bukan semata-mata gerakan badan saja. Tapi harus  memaknai dari setiap gerakan shalat, mulai takbiratul ihram sampai salam. Dengan demikian, shalat kita akan membekas dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan. Karena seorang muslim yang shalat dengan tidak saja sudah bisa membedakan apakah orang tersebut muslim atau tidak. Apalagi dengan shalat yang bermakna, maka akan nampak apakah  non muslim, muslim atau beriman.

Baca Juga:  Mengulik Nasionalisme dalam Islam (1)

Kedua, setelah kita mampu memaknai gerakan dalam shalat, maka harus ditingkatkan pada makna hakikat. Sementara makna hakikat hanya bisa diraih melalui batin manusia. Batin adalah bagian dimensi manusia yang tidak nampak, tapi bisa diliat nyata hasilnya. Bila ada suatu value yang baik, maka hanya batinlah yang akan merekam lalu pikiran melanjutkan mengirim sinyal untuk melakukan tindakan baik juga. Begitu juga sebaliknya bila ada value yang buruk, maka akan berdampak pada tingkah laku manusia.

Semua gerakan shalat menuju satu tujuan, sebagai sarana untuk menyembah Allah semata, begitu juga memaknai batin dari shalat. Kita ingin diri ini agar selalu dekat dengan Allah SWT, oleh karena itu semua gerakan shalat dan kehadiran batin harus diupayakan semaksimal mungkin. Bila gerakan shalat telah mentransformasi kita menjadi seorang muslim dan kehadiran batin dapat mengubah seorang muslim menjadi seorang yang beriman. Maka dari sini kondisi seorang beriman dapat meningkat ke fase ihsan. Di mana, suatu keadaan jiwa seserorang yang mampu melihat Allah di mana-mana walaupun ia tak kuasa untuk melihat-Nya.

Inilah puncak dari ibadah shalat itu sendiri, yang pada gilirannya dapat membuktikan hasil dari ketekunan shalat.  Seorang muslim seperti ini dapat menjadikan shalatnya sebagai benteng dalam mencegah perbuatan keji dan munkar. Akhirnya semua sujudnya tidak lagi berjarak dengan Allah SWT.


			
Previous Article

Kegelisahan Herbert Marcuse dan Erich Fromm dalam Memandang Masyarakat Industri-Kapitalis

Next Article

Mari Beragama Secara Imajinatif

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨