Saat Waktu Melambat: Pelajaran dari Isra’ Mikraj di Era yang Serba Cepat

Takjub, heran, atau malah bingung. Itulah deretan perasaan yang muncul ketika seseorang melihat cepatnya waktu tempuh Nabi Muhammad dalam perjalanan Isra’-Mikraj dengan menggunakan Buraq (secara bahasa berarti petir).

Bukan hanya cepat, tapi super cepat. Betapa tidak, saat itu waktu tempuh dari Makkah ke Palestina yang berjarak sekitar 1500 km adalah 40 hari. Sedangkan jarak perjalanan lanjutan nabi ke Sidrat al-Muntaha dan langit tertinggi tak pernah diketahui jaraknya lantaran begitu jauh dan karena itu tak diketahui pula lama waktu tempuhnya.

Perjalanan nabi ini tampak tak mungkin dari sisi waktu, karena jarak yang ditempuh sangat jauh, sementara nabi menempuhnya hanya dalam waktu semalam; bahkan, mungkin lebih cepat lagi. Sebab, dalam riwayat disebutkan bahwa sekembalinya nabi, tempat tidurnya masih hangat dan kendi air yang jatuh ketika dia dibawa pergi, belum bocor sepenuhnya.

Betapapun begitu yang terlihat menurut waktu objektif, bahwa perjalanan Isra’-Mikraj nabi cepat dan singkat, tapi sebenarnya tidak begitu yang nabi alami. Riwayat menyebutkan bahwa nabi salat di Masjidil Aqsa, bertemu dan berdiskusi dengan nabi-nabi, diperlihatkan neraka dan surga, dan ke Sidrat al-Muntaha. Itu semua tentu tidak mengambil waktu yang singkat.

Jadi, ini semacam paradoks waktu. Cepat dan singkat secara objektif, tapi lambat dan lama secara subjektif. Sebagian orang percaya, dengan mengacu pada teori relativitas-(khusus)-nya Albert Einstein, bahwa yang terjadi pada nabi ini adalah perlambatan waktu. Mungkin teori ini bisa diterapkan pada perjalanan Isra’ (dari Makkah ke Palestina), tapi bagaimana dengan perjalanan Mikraj (dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha) yang jaraknya tak diketahui?

Sebagai perbandingan,  dalam menempuh Alpha Centauri saja, sistem bintang terdekat dari tata surya kita, memerlukan waktu 4,4 tahun dengan menggunakan kecepatan cahaya. Tentu Sidrat al-Muntaha lebih-lebih jauh lagi. Sebab, Al-Qur’an menyebutkan waktu yang diperlukan oleh para malaikat untuk naik menghadap Allah sekitar limapuluh ribu tahun bila diukur menurut perhitungan manusia.

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun [menurut perhitungan manusia].” (Al-Ma‘ārij, 70:4)

Alhasil, kalaulah perlambatan waktu itu mungkin, yang menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya penyebab utama waktu terasa bergerak lambat? Apakah penyebab utama ini berelasi dengan waktu dewasa ini yang seolah bergerak begitu cepat? Itulah dua pertanyaan yang coba dijawab dalam tulisan sederhana ini.

Baca Juga:  Syarah Syair Qad Kafani 2: Hakikat Doa

Esensi Isra’-Mikraj

Sebenarnya apa esensi atau hakikat dari peristiwa Isra’-Mikraj? Bila merujuk pada Al-Qur’an, pertanyaan ini cukup terjawab di surat al-Najm ayat 8-11:

Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.”

Ayat-ayat ini membersitkan satu poin penting bahwa esensi peristiwa Isra’-Mikraj adalah kedekatan Nabi dengan Rabb-nya. Perjalanan dan apa yang diperlihatkan pada nabi tidak lain dalam bingkai “kedekatan”.

Ibn ‘Arabi dalam kitabnya al-Isrā’ ilā al-Maqām al-Asrā ketika sampai pada ayat “hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”, menjelaskan bahwa ‘apa yang telah dilihatnya’ di sini berupa hakikat-hakikat kedekatan.

Kedekatan atau keintiman itu yang coba selalu dipertahankan dan diulang oleh Nabi melalui salat yang disyariatkan oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bila nabi rindu pada Mikraj, ia akan memanggil sahabatnya, Bilal, untuk mengumandangkan azan dan melaksanakan salat. Sebab, dalam salatlah pengalaman kedekatan (dengan Sang Kekasih) kembali “menggema”.

Bahkan, dalam tinjauan lebih mendalam, tak hanya salat yang sebenarnya menjadi medium untuk mendekatkan diri―dan dengan demikian selalu mempertahankan koneksi―pada Tuhan, ibadah-ibadah lainnya atau apa-apa yang menjadi tuntunan moral-spiritual termasuk juga di dalamnya. Semua inilah yang nantinya menjadi atmosfer dan lingkungan di mana umat Muslim hidup.

Orang boleh-boleh saja mengadopsi teori relativitas untuk menjustifikasi peristiwa Isra’-Mikraj atau pun merasionali-sasikannya. Namun, menurut hemat saya, itu hanya aspek periferi, luarannya, atau kuantitatifnya. Sementara aspek esensi dan kualitatifnya adalah kedekatan.

Peristiwa ini terjadi tentu bukan agar kita dapat bergerak secepat cahaya menembus langit untuk menemukan Tuhan. Sebab, ‘arsy (singgasana) Tuhan bukan ‘di sana’; ia bukanlah sesuatu yang material. ‘Arsy Allah berada di hati orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, “Hati seorang mukmin adalah ‘arsy Allah.”

Baca Juga:  Memahami Islam Rahmatan lil ‘Alamin Melalui Pendekatan Pendidikan Karakter

Betapapun cepatnya perjalanan yang ditempuh nabi, itu terutama karena nabi berhasil melakukan perjalanan ke dalam diri. Perjalanan dari entitas relatif menuju Entitas Mutlak, yang mana pada akhirnya entitas relatif terserap pada Entitas Mutlak, sehingga apa yang berlaku bukanlah hukum segala yang relatif.

Karena inilah, meski perjalanan nabi dari sisi luar tampak singkat, tapi sejatinya waktu yang dialami nabi saat pengalaman kedekatan itu terbilang lama, seolah waktu bergerak lambat. Inilah waktu subjektif yang dialami langsung oleh kesadaran nabi tanpa pengukuran eksternal.

Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya The Need for a Sacred Science (2005: 17) menyebut waktu subjektif ini sebagai waktu batin yang memang tidak ada ukuran kuantitatif yang mungkin diterapkan padanya. Maka dari itu, terdapat perbedaan antara pengalaman waktu yang biasa dengan pengalaman waktu yang melibatkan tingkat realitas dan kesadaran yang lebih tinggi.

Nasr berpendapat, semakin seseorang naik dalam hierarki eksistensi dan meninggi tingkat kesadarannya dari alam pengalaman empiris menuju kedekatan dengan Rabb-nya, semakin dia mengalami mode yang lebih tinggi dari apa yang masih bisa disebut “waktu”, hingga pada tahap dia meninggalkan domain pengalaman empiris sama sekali. Karenanya, bukan kebetulan bahwa al-Qur’an menegaskan, “Sehari bersama Tuhanmu adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS al-Hajj: 47)

Waktu Akhir Zaman

Pendeknya, ini semua membersitkan hipotesis bahwa semakin seseorang mengalami kedekatan, maka semakin lambat waktu yang dialaminya. Dia mengalami apa yang oleh istilah agama dikenal dengan ‘keberkahan waktu’. Sebaliknya, semakin jauh ia dari Sumber dan Asalnya, maka semakin cepat waktu yang dialaminya.

Dari sini kita kemudian dapat mengaplikasikan hipotesis ini ketika mengamati cepatnya waktu yang jamak dirasakan orang saat ini, bahwa ini terjadi lantaran jauhnya kita dari Sumber dan Asal kita. Hal senada juga dikemukakan oleh René Guénon⸺atau yang dikenal juga dengan nama Muslim Abdul Wahid Yahya (seorang sufi dan filsuf Prancis)⸺dalam The Reign of Quantity and The Signs of the Times (2001) bahwa cepatnya gerak waktu saat ini tertutama karena manusia bergerak menjauhi Pusat Eksistensinya, Tuhan.

Baca Juga:  Tawaran Membaca Teks Keagamaan untuk Manusia Modern Perkotaan

Argumen yang tidak jauh berbeda juga dilontakan oleh Imran Hosein, ulama yang memberikan perhatian serius terhadap persoalan eskatologi. Dalam bukunya The Qur’an and The Moon (2020) dia menyajikan argumen yang menarik bahwa cepatnya waktu yang dialami saat ini karena hati manusia tidak lagi berdetak secara harmonis dengan sistem waktu sakral yang Allah tetapkan.

Waktu sakral adalah waktu yang Allah kehendaki pada manusia agar tercipta keseimbangan dan keterhubungan dengan-Nya. Ketika hal ini tidak diindahkan, maka mizan atau keseimbangan yang ditetapkan oleh Allah dalam ciptaan-Nya menjadi terganggu.

Bukannya tanpa alasan, manusia modern bergerak secara berjamaah atas nama perubahan dan progresivitas, sebegitu masifnya hingga semuanya berjalan serba-cepat. “Beragam peristiwa berlangsung dengan kecepatan yang tidak pernah terjadi di zaman sebelumnya, dan kecepatan ini terus meningkat dan akan terus meningkat hingga akhir siklus”, ujar Guénon (2001). Seolah menegaskan sabda nabi tentang waktu di akhir zaman, “Kiamat tidak akan terjadi hingga waktu terasa berlalu begitu cepat….” (HR. Ahmad)

Pengalaman waktu dan ruang dengan demikian sama sekali telah berubah. Waktu seakan mengejar, berlari ke arah kita. Sementara kita terdesak, sehingga memilih berlari lebih kencang. Padahal, pilihan ini justru membuat waktu seolah bergerak lebih cepat.

Kenyataannya, waktu tidak bergerak lebih cepat sama sekali, persepsi manusia yang sedang bergerak menjauh dari Pusat Eksistensinyalah yang membuat waktu tampak cepat. Maka, solusinya justru kebalikannya; mendekat pada Pusat Eksistensi. Bergerak vertikal menuju Sumber yang darinya kita berasal agar tercipta kembali keseimbangan.

Betapapun soal penghidupan menuntut kita untuk bergerak aktif dari pagi hingga malam, sibuk urusan keluarga hingga pekerjaan, dan berat beban yang kita pikul, tetapi belajar dari peristiwa Isra’-Mikraj, terbilang krusial bagi kita saat ini untuk tetap menjaga ikatan dengan Tuhan, selalu terhubung dengan Sumber yang dari-Nya kita berasal. Bukan hanya agar batin kita tenang, tapi juga agar waktu yang kita alami menjadi berkah. Wallāhu a‘lam

Previous Article

Mungkin Gak Kita Ngalamin Isra’ Mi’raj Seperti Nabi? Ini Penjelasannya!

Next Article

Hati Menurut al-Ghazali: Urgensi dan Hakikatnya (Part I)

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨