Mutiara Akhlak Para Sufi

Tulisan ini menjelaskan kisah tentang akhlak luhur para sufi yang disebutkan dalam kitab Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karya Ḥujjatul Islām Imam al-Gazālī. Penulis pernah mengaji Iyā’ (dari bab Bayān Syawāhid asy-Syar‘i ‘alā iḥḥati arīq Ahl at-Taawwuf fī Iktisāb al-Ma‘rifah Lā Min at-Ta‘allum wa Lā Min aarīq al-Mu‘tād) kepada mendiang K.H. Muhammad Syamsul Arifin sewaktu menyantri di Pesantren Banyuanyar. Beberapa tahun kemudian, penulis mengaji Iyā’ secara virtual kepada Gus Ulil Abshar Abdallah melalui media YouTube (Gazalia chollege) dan Facebook (Ulil Abshar Abdalla) mulai bab Kitāb Syar ‘Ajā’ib al-Qalb.

Kisah tentang akhlak luhur para sufi penting diperhatikan agar kita bisa mengambil ibrah untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak kita masing-masing. Sebab, akhlak yang baik merupakan ajaran yang sangat penting dalam Islam. Dikisahkan bahwa suatu ketika ada seorang sahabat menemui Nabi Muhammad saw, dari arah depan seraya berkata, “Wahai Rasulullah, agama itu apa?” Nabi saw menjawab, “Akhlak yang baik.” Sahabat itu kemudian menemui Nabi saw dari arah kanan seraya berkata, “Wahai Rasulullah, agama itu apa?” Nabi saw menjawab, “Akhlak yang baik.” Lalu, sahabat itu menemui Nabi saw dari arah kiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, agama itu apa?” Nabi saw menjawab, “Akhlak yang baik.” Sahabat itu kemudian menemui Nabi saw dari arah belakang seraya berkata, “Wahai Rasulullah, agama itu apa?” Lalu, Nabi saw menoleh dan berkata, “Apakah kamu masih belum paham? Akhlak yang baik itu adalah kamu tidak marah.” (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, III: 56)

Menurut Syekh Sahl bin ‘Abdullāh at-Tustarī, akhlak baik yang paling rendah adalah bersabar terhadap perbuatan buruk orang-orang yang mengganggu, menjengkelkan, atau menyakiti kita dan tidak membalas perbuatan buruk mereka, menyayangi dan mengasihani orang-orang yang zalim serta memintakan ampun kepada Allah untuk mereka. Adapun akhlak baik yang paling tinggi menurut Imam al-Gazālī adalah rida terhadap semua ketetapan Allah (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, hlm. 79). Dalam hal ini, kita menerima dengan senang hati apa pun yang diberikan oleh Allah kepada kita, baik berupa kebahagiaan maupun berupa kesengsaraan.

Tokoh utama yang memiliki akhlak baik (mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi) dan menjadi panutan para sufi adalah Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, beliau mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang kafir Quraisy, baik berupa makian, gangguan, maupun perang. Mereka menyakiti dan memukul Nabi Muhammad saw ketika perang Uhud. Namun demikian, beliau―yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam―tetap sabar dan tidak membalas perbuatan buruk mereka. Beliau rida terhadap ketetapan Allah yang ditimpakan kepadanya, yaitu berupa perlakuan buruk orang-orang kafir Quraisy.

Baca Juga:  Cerita Sufi: Menyimpan Surga Ala Bisyr bin Harits

Maka dari itu, beliau tidak membenci mereka dan tidak pula menaruh rasa dendam kepada mereka. Sebaliknya, beliau tetap menyayangi dan mengasihani mereka. Dalam hal ini, beliau memintakan ampun kepada Allah untuk mereka seraya berkata, “Allāhummagfir li qawmī fa innahum lā ya‘lamūn” (Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui). Allah kemudian memuji keindahan dan keluhuran akhlak Nabi Muhammad saw ini seraya berfirman, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Al-Qalam [68]: 4).” (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, hlm. 78)

Berikut kisah tentang keagungan akhlak Nabi Muhammad saw dan para sufi yang patut ditiru. Pertama, suatu ketika Nabi Muhammad saw bepergian bersama Anas bin Mālik ra. Pada waktu itu, beliau mengenakan baju garis-garis dari Najran, Yaman, yang keras pinggirnya. Tiba-tiba di tengah jalan ada seorang Badui menghampiri Nabi saw, dan langsung menarik bajunya dengan keras sehingga membuat leher Nabi saw berbekas. Lalu, dia berkata, “He Muhammad, berikan aku harta Allah yang ada pada dirimu!” Nabi saw kemudian menoleh sembari tertawa dan menyuruh Anas bin Mālik ra untuk memberikan harta kepada orang Badui tersebut (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, hlm. 78). Inilah mutiara akhlak Nabi Muhammad saw yang patut ditiru. Meskipun beliau mendapatkan perlakuan kasar dan menjekelkan dari orang Badui tersebut, tetapi beliau tetap sabar dan tidak marah. Sebaliknya, beliau hanya tertawa karena memaklumi sikap orang Badui yang kasar tersebut.

Kedua, suatu ketika Ibrahim bin Adham pergi ke salah satu padang pasir. Tiba-tiba ada seorang tentara menghampirinya seraya bertanya, “Apakah engkau adalah seorang budak?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Iya.” Tentara itu kemudian bertanya lagi, “Di mana perkotaan?” Lalu, Ibrahim bin Adham menunjuk ke arah pekuburan. Tentara itu berkata lagi, “Yang aku kehendaki adalah perkotaan (bukan pekuburan).” Ibrahim bin Adham menjawab, “Perkotaan itu adalah pekuburan.”  Mendengar jawaban semacam itu, tentara itu menjadi berang dan langsung memukul kepala Ibrahim bin Adham dengan cambuk sehingga terluka. Lalu, dia membawa Ibrahim bin Adham ke barak. Sesampainya di barak, teman-teman tentara itu menghampirinya seraya bertanya, “Ada kabar apa?” Maka, tentara itu menceritakan jawaban yang dikatakan oleh Ibrahim bin Adham kepadanya. Mereka kemudian berkata, “Ini adalah Ibrahim bin Adham.”

Setelah tentara itu mengetahui bahwa orang yang dia bawa adalah Ibrahim bin Adham (seorang pangeran yang menjadi ulama dan sufi terpandang), maka dia langsung turun dari atas kudanya. Dia lantas mencium kedua tangan dan kedua kaki Ibrahim bin Adham sembari meminta maaf atas perilaku buruknya tadi (yaitu mencambuk kepala Ibrahim bin Adham sehingga terluka).

Baca Juga:  Raden Ajeng Kartini dan Tafsir Sufi Faidh al-Rahman

Setelah itu, salah satu di antara mereka bertanya kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, “Mengapa Anda mengatakan kepadanya (tentara itu) ‘aku adalah budak’?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Karena dia tidak bertanya ‘budaknya siapa kamu?’ kepadaku, tetapi bertanya ‘apakah kamu seorang budak’? Makanya, aku langsung menjawab ‘iya’ karena aku adalah budaknya Allah. Ketika dia mencambuk kepalaku, maka aku memohon kepada Allah agar dia masuk surga.” Lalu, ditanyakan kepadanya, “Mengapa Anda masih mendoakan dia masuk surga, padahal dia sudah menzalimi Anda?” Maka, Ibrahim bin Adham menjawab, “Aku tahu bahwa aku mendapatkan pahala atas cambukan yang dia timpakan kepadaku. Maka dari itu, aku tidak mau mendapatkan kebaikan darinya, sedangkan dia mendapatkan keburukan dariku.” (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, hlm. 78)

Inilah mutiara akhlak Ibrahim bin Adham yang patut ditiru. Dia tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi membalas keburukan dengan kebaikan. Dalam hal ini, dia mengerti bahwa dia mendapatkan pahala atas cambukan yang ditimpakan oleh tentara itu, sedangkan tentara itu mendapatkan dosa atas perbuatan buruknya tersebut. Maka dari itu, dia berdoa agar tentara itu masuk surga sehingga sama-sama mendapatkan kebaikan. Sebab, dia tidak ingin mendapatkan kebaikan dari orang lain, sementara orang lain itu mendapatkan keburukan darinya. Dari sini kita paham bahwa Ibrahim bin Adham tidak hanya melihat aspek lahirnya saja, tetapi juga melihat aspek batinnya. Dari aspek lahir, misalnya, tentara itu memberikan keburukan kepada Ibrahim bin Adham berupa cambukan di bagian kepala sehingga terluka. Namun, dari aspek batin, dia memberikan kebaikan kepada Ibrahim bin Adham berupa pahala atas cambukan itu.

Ketiga, suatu ketika ada seorang murid menguji akhlak gurunya, yaitu Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī. Dalam hal ini, dia mengundang Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī untuk menghadiri sebuah acara di rumahnya. Setelah Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī sampai di rumah itu, maka si murid itu berkata kepadanya, “Saya tidak memiliki acara.” Akhirnya, Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī pergi dari rumah muridnya itu. Setelah dia berjalan tidak jauh dari rumah itu, lalu si murid memanggilnya dan mengundangnya lagi agar kembali ke rumahnya. Sesampainya di sana, dia berkata kepada Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī bahwa dia tidak memiliki acara. Mendengar jawaban itu, Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī pun pulang. Lalu, si murid itu mengundang Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī lagi untuk ketiga kalinya. Setelah Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī sampai di rumah muridnya itu, si murid itu berkata kepadanya bahwa dia tidak memiliki acara. Mendengar jawaban itu, Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī pun pulang.

Baca Juga:  Shadr al-Din al-Qunawi: Penyambung Lidah Ibn al-'Arabi dan Sahabat Rumi

Si murid itu kemudian mengundang Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī lagi untuk keempat kalinya. Setelah Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī sampai di rumah muridnya itu, si murid itu berkata kepadanya bahwa dia tidak memiliki acara. Mendengar jawaban itu, Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī pun pulang. Si murid itu melakukan hal ini berkali-kali kepada Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī, tetapi dia tetap tidak berubah. Akhirnya, si murid itu bersimpuh di hadapan kedua kaki Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī dan berkata, “Wahai guru, sesungguhnya saya ingin menguji (akhlak) Anda. Maka, alangkah baiknya akhlak Anda.” Mendengar ucapan muridnya itu, Abū ‘Uśmān al-Ḥīrī kemudian menjawab, “Sesungguhnya akhlak yang kamu lihat itu adalah akhlaknya anjing. Sebab, ketika anjing itu dipanggil, maka ia akan datang. Dan ketika ia diusir, maka ia akan pergi.” (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, hlm. 78)

Keempat, Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ adalah seorang sufi yang bekerja sebagai tukang jahit. Dia memiliki pelanggan majusi yang tidak jujur. Dalam hal ini, setiap kali pelanggan majusi itu menjahit barangnya kepada Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ, maka dia membayarnya dengan uang (dirham) palsu. Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ tahu bahwa uang itu adalah uang palsu, tetapi dia tetap menerimanya. Dia juga tidak memberitahukan kepada pelanggan majusi itu bahwa uang itu adalah uang palsu. Suatu ketika, Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ memiliki kepentingan tertentu yang tidak bisa diwakilkan. Oleh karena itu, dia menyuruh muridnya untuk menjaga warung jahitnya tersebut. Lalu, si pelanggan majusi itu datang untuk mengambil barangnya yang sudah dijahit oleh Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ. Seperti biasa, dia membayar ongkosnya dengan uang palsu kepada murid tersebut. Ternyata murid itu tahu bahwa uang itu adalah uang palsu sehingga dia mengembalikannya lagi kepada pelanggan majusi itu.

Setelah Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ kembali, maka murid itu menceritakan kejadian yang dialaminya tersebut. Mengetahui hal itu, Abū ‘Abdillāh al-Khayyāṭ marah kepada muridnya seraya berkata, “Sungguh buruk perlakuanmu kepada majusi itu. Dia memperlakukanku seperti itu (membayar ongkos jahitan dengan uang palsu) selama satu tahun. Dan aku bersabar atas perlakuan buruknya itu. Aku tetap menerima uang (palsu) itu darinya, dan (setelah dia pergi) aku membuang uang palsu itu ke dalam sumur agar dia tidak bisa menipu muslim lain (dengan uang palsu itu).” (Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, hlm. 79) Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Akam…

Previous Article

Islam Tak “Gila Perang”

Next Article

Sila Pertama dan Kedua dalam Pancasila: Kontinuitas atau Diskontinuitas?

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨