Tak terasa, sebentar lagi kita akan memperingati dan menghayati kembali peristiwa Isra’ dan Mi’raj di tahun 2025. Para pakar mendefinisikan Isra’ ialah perjalanan Nabi pada suatu malam dari Masjidilharam di Makkah menuju ke Masjidilaqsha di Palestina, sedangkan Mi’raj ialah perjalanan Nabi dari Masjidilaqsha menuju ke Sidrah al-Muntaha—wilayah spiritual bersama Allah, bahkan digambarkan Nabi “bertatap muka” dengan Allah Swt secara langsung. Sebagian para bijak bestari menyatakan peristiwa ini merupakan puncak spiritual manusia.
Salah satu ayat yang berkaitan dengan Isra’ ialah:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’ [17]: 1)
Sedangkan ayat yang dinilai oleh mayoritas ulama terkait dengan Mi’raj ialah:
عَلَّمَهٗ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ ذُوْ مِرَّةٍۗ فَاسْتَوٰىۙ وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۙ فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ اَوْ اَدْنٰىۚ فَاَوْحٰىٓ اِلٰى عَبْدِهٖ مَآ اَوْحٰىۗ مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى اَفَتُمٰرُوْنَهٗ عَلٰى مَا يَرٰى وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى
“(Wahyu) yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat, Pemilik potensi yang sangat hebat. Lalu, ia menampakkan diri dengan rupa yang asli, ketika dia berada di ufuk yang tinggi. Dia kemudian mendekat (kepada Nabi Muhammad), lalu bertambah dekat, sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu, dia menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) apa yang Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Apakah kamu (kaum musyrik Makkah) hendak membantahnya (Nabi Muhammad) tentang apa yang dilihatnya itu? Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya. Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak menyimpang dan tidak melampaui (apa yang dilihatnya). Sungguh, dia benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat besar.” (QS. An-Najm [53]: 5-18)
Saya kira membaca ayat kisah Isra’ Mi’raj di atas perlu meminjam kaidah tafsir ter-update yang ditawarkan oleh Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi. Menurut beliau, “Apabila kisah di dalam Al-Qur’an disebutkan identitas tokohnya secara spesifik, maka kejadian kisah itu tidak akan terulang sepanjang zaman. Sebaliknya, apabila kisah itu tidak menyebutkan tokohnya secara spesifik, maka kejadian dalam kisah itu akan terulang sepanjang zaman.”
Sebagai contoh, saat Allah mengisahkan para nabi, Ia menyebut para nabi hanya nama-namanya saja, seperti Ibrahin, Yunus, Lut dan sebagainya, tetapi saat mengisahkan Nabi Isa, Allah tidak menyebut Isa saja, tapi dengan redaksi yang lengkap Isa bin Maryam. Artinya, peristiwa Nabi Isa as yang dilahirkan tanpa ayah itu hanya terjadi pada diri Isa bin Maryam, dan tidak akan terulang lagi.
Ini berbeda saat Allah mengisahkan kisah Fir’aun, Allah tidak menyebut siapa nama Fir’aun. Karena Fir’aun itu bukan nama, melainkan gelar seorang raja. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan Fir’aun itu akan selalu terulang sepanjang zaman. Di dalam Al-Qur’an, Fir’aun itu adalah pemimpin yang zalim, maka di zaman sekarang banyak bermunculan para pemimpin yang seperti model kepemimpinan Fir’aun. Disebutkan juga Fir’aun itu memiliki kebiasaan membunuh/memutilasi bayi perempuan, di zaman sekarang peristiwa membutuh/memutilasi bayi marak terjadi di mana-mana. Fir’aun diceritakan pernah mengaku bahwa dirinya adalah “tuhan”, di zaman sekarang betapa banyak orang yang mengaku dirinya “tuhan”, gila sanjungan, gila disembah, gila kehormatan dan lain sebagainya. Mereka itulah perwujudan Fir’aun sejati di zaman modern.
Menurut sependek pengetahuan saya, tawaran kaidah tafsir yang disandingkan oleh Syekh Al-Sya’rawi ini dalam membaca ayat-ayat tentang kisah akan membuat kisah-kisah dalam Al-Qur’an semakin hidup, sehingga kita tidak perlu lagi mengutuk dan mengecam Fir’aun yang ada di zaman Nabi Musa, karena bisa jadi hakikat Fir’aun itu adalah diri kita sendiri. Karena itu juga, para ulama mengajarkan, saat kita menjumpai ayat-ayat tentang azab/siksa, kita dianjurkan untuk membaca doa perlindungan, sebaliknya saat berjumpa dengan ayat-ayat tentang nikmat, mintalah agar Allah memasukkan kita ke dalam kelompok itu. Sekali lagi, dengan pembacaan model seperti ini, seakan-akan ayat kisah itu turun untuk diri kita, bahkan seakan-akan kitalah sebagai subjek/pelaku kisah itu.
Nah, kembali ke ayat tentang Isra’ dan Mi’raj di atas. Kalau kita perhatikan dengan sesama, ayat itu menyebut Nabi Muhammad saw saat diisra’kan, bukan dengan namanya, tapi dengan kedudukan spiritualnya yaitu sebagai hamba Allah (asra bi ‘abdihi). Ini bisa ditafsirkan, bahwa pengalaman ruhani berupa Isra’ itu memungkinkan akan terulang dan dirasakan oleh siapa saja yang berhasil mencapai predikat hamba Allah. Sehingga pengalaman Isra’ dan Mi’raj ini tidak bersifat elitis, tapi terbuka bagi siapa saja yang ingin meraihnya. Inilah saya kira bentuk rahmat Allah yang luar biasa. Allah memberikan kesempatan kita semua untuk merasakan langsung puncak kenikmatan spiritual, dari ilmu ke pengalaman, atau dari ilmu ushuli menuju ilmu hudhuri, atau dalam bahasa Al-Qur’an dari ilmu yaqin sampai ke ilmu haqqul yaqin.
Model pemaknaan seperti ini juga ternyata diamini oleh seorang sufi besar Syekh Abu Abbas Al-Mursi. Di dalam kitab Lathaif al-Minan, Ibn Athaillah menyajikan tafsir Syekh Al-Mursi atas ayat: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad saw) di waktu malam…” Di ayat ini Allah tidak mengatakan nabi-Nya atau rasul-Nya—kendati ia adalah nabi-Nya dan rasul-Nya, tetapi yang disebut ialah hamba-Nya. Sebab Allah ingin membukakan pintu yang juga bisa dilalui oleh pengikutnya. Allah menjelaskan kepada kita bahwa al-isra’ bersumber dari kehambaan. Nabi Muhammad saw telah menghamba secara sempurna sehingga layak mendapatkan Isra’ yang sempurna. Ia diperjalank an dengan ruh dan badannya secara lahir dan batin. Para kekasih Allah juga menghamba sehingga mereka pun, mendapatkan pengalaman spiritual Isra’. Namun, hanya ruh mereka yang diperjalankan tanpa jasad mereka.
Di atas disebutkan yang berpotensi untuk bisa merasakan cita rasa spiritual Isra’ Mi’raj ialah jika kita telah memperoleh predikat hamba Allah. Nah pertanyaannya ialah siapa itu hamba Allah dan apa kriterianya? Dalam Al-Qur’an tepatnya di surah Al-Furqan ayat 63-73 disebutkan ciri-ciri hamba Allah yaitu:
Pertama, punya sifat yang humble dan bisa bikin orang merasa tenang
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…”(QS. Al-Furqan [25]: 63)
Kedua, selalu balas keburukan dengan kebaikan, dan kata-katanya penuh doa serta kasih sayang.
وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“…dan apabila orang-orang dungu menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Ketiga, gemar menghidupan waktu-waktu malamnya dengan beribadah.
وَالَّذِيْنَ يَبِيْتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَّقِيَامًا
“Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.” (QS. Al-Furqan [25]: 64)
Keempat, takut akan azab Allah, yang bikin dia selalu hati-hati dan nggak akan lakukan hal-hal yang bisa ngerusak dirinya atau lingkungan sekitar.
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَۖ اِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
“Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” (QS. Al-Furqan [25]: 65)
Kelima, punya kepedulian sosial yang tinggi, selalu siap berbagi tanpa berlebihan.
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
“Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan [25]: 67)
Keenam, punya tauhid yang murni, jauh dari segala bentuk syirik
وَالَّذِيْنَ لَا يَدْعُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ
“Dan, orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain…” (QS. Al-Furqan [25]: 68)
Ketujuh, tidak membunuh dan tidak melakukan perbuatan zina
وَلَا يَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُوْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ يَلْقَ اَثَامًا
“…tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Siapa yang melakukan demikian itu niscaya mendapat dosa.” (QS. Al-Furqan [25]: 68)
Kedelapan, tidak memberikan kesaksian palsu, dan selalu teguh pada jati diri, meski di tempat yang nggak menguntungkan.
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
“Dan, orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” (QS. Al-Furqan [25]: 72)
Kesembilan, sangat cepat merespon perintah Allah, alias tidak mageran.
وَالَّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوْا عَلَيْهَا صُمًّا وَّعُمْيَانًا
“Dan, orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka tidak bersikap sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan [25]: 73)
Kesepuluh, mempersiapkan generasi emas sebagai pelanjut kebaikan.
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
“Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25]: 73)
Semoga kita diberikan taufik dan pertolongan untuk memperbaiki kualitas kehambaan kita, sehingga bisa merasakan percikan cita rasa spiritual Isra’ dan Mi’raj sebagaimana yang dirasakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Dan dengan ini, semoga kita dicatat sebagai umat Nabi Muhammad saw yang sedang menjalankan sunahnya. Amin