Abū Ḥāmid al-Ghazālī bukan hanya salah satu pemikir besar dalam sejarah Islam, tetapi juga seorang guru spiritual yang meletakkan kembali agama pada pusat kehidupan. Karyanya yang monumental, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), bukan sekadar kitab teologi atau hukum, melainkan manifesto moral-spiritual yang mengembalikan ruh ke dalam ritual, dan makna ke dalam amalan sehari-hari (Al-Ghazālī, 2018). Buku ini hadir di tengah kehidupan yang semakin dikendalikan oleh formalitas dan keilmuan yang kering, al-Ghazālī menyuarakan kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan pengetahuan dengan pengamalan, hukum dengan hati, dan ibadah lahiriah dengan penyucian batin.(al-Khatib, 2025)
Al-Ghazālī: Akademisi Istana yang Mencari Kesucian Jiwa
Sebelum menjadi tokoh Sufi, al-Ghazālī adalah akademisi cemerlang di Madrasah Niẓamiyyah Baghdad, dikenal karena kemampuan debat dan retorikanya dalam membela mazhab Syāfi‘ī-Asy‘arī. Ia menulis banyak karya teologis dan filosofis, termasuk Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof), yang menggugat 20 prinsip filsafat yang dianggapnya bertentangan dengan Islam.(Al-Ghazālī, 2000; Griffel, 2005; Vasalou, 2021).
Namun pada tahun 1095, al-Ghazālī mengalami krisis eksistensial yang membuatnya meninggalkan panggung akademik dan kekuasaan. Ia mengasingkan diri, lalu kembali ke publik membawa semangat baru: bukan untuk mengesankan, melainkan untuk membimbing. Ia mengajarkan bahwa ilmu yang sejati harus mengarah pada pengamalan dan bahwa tujuan utama manusia adalah penyucian jiwa demi meraih kebahagiaan sejati: hubungan yang harmonis dengan Tuhan.(Ormsby, 2007)
Iḥyā’: Ensiklopedia Sufi yang Membumi
Dalam Iḥyā’, al-Ghazālī menata kembali seluruh ilmu agama dalam satu kerangka etis dan spiritual. Kitab ini terdiri dari 40 buku yang terbagi dalam empat bagian besar:
Ibadah (‘Ibādāt): Tentang ibadah seperti salat, zakat, puasa, dan haji—dengan penekanan pada rahasia dan tujuan batinnya.
Adat dan Kebiasaan (‘Ādāt): Panduan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari makan, menikah, bersosialisasi, hingga bermusik.
Sifat-sifat yang Membinasakan (al-Muhlikāt): Kritik terhadap sifat buruk seperti iri hati, sombong, riya, dan rakus.
Sifat-sifat yang Menyelamatkan (al-Munjiyāt): Penanaman sifat mulia seperti tobat, sabar, syukur, tawakal, dan cinta Tuhan.(Al-Ghazālī, 2018; Choudhury, 2023)
Struktur ini mencerminkan perhatian al-Ghazālī pada dua sisi kehidupan: yang lahir dan yang batin. Menurutnya, kehidupan spiritual harus mencakup keduanya. Karena itu, ia menolak dikotomi antara agama sebagai hukum (fiqh) dan agama sebagai akhlak (tasawuf). Iḥyā’ menggabungkan keduanya secara harmonis.
Tuhan, Etika, dan Kebahagiaan
Salah satu kontribusi penting al-Ghazālī adalah penyatuan antara perintah ilahi dan kebahagiaan manusia. Dalam kerangka teologi Asy‘arī, ia menegaskan bahwa kebaikan ditentukan oleh kehendak Tuhan, bukan oleh akal manusia. Namun, secara bersamaan, ia juga menyatakan bahwa perintah Tuhan tidaklah sewenang-wenang, semuanya bertujuan memperbaiki jiwa manusia dan menuntunnya kepada sa‘ādah (kebahagiaan abadi).
Menurut al-Ghazālī, ibadah bukan hanya kewajiban, tetapi nutrisi bagi hati. Ibadah menyucikan jiwa dan membuka jalan bagi kasyf, pembukaan ilahi yang diberikan kepada hamba yang bersungguh-sungguh. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai melalui pendekatan kepada Tuhan.(Vasalou, 2025)
Cinta Ilmu, Tapi Bukan untuk Popularitas
Al-Ghazālī sangat memuliakan ilmu, tapi ia membedakan dengan tajam antara ilmu yang benar dan ilmu yang menyesatkan. Ilmu yang hanya dicari untuk jabatan, kekuasaan, atau reputasi dianggap sebagai musuh jiwa. Ia mengingatkan bahwa setan dapat menggunakan ilmu untuk menipu, menjebak pencari kebenaran ke dalam kesombongan intelektual.
Ia mengadopsi teori jiwa Yunani -pembagian jiwa menjadi nafsu (syahwah), amarah (ghaḍab), dan akal (‘aql)- dan menyatakan bahwa penyakit jiwa bisa muncul dari ketidakseimbangan di antara ketiganya. Keseimbangan inilah yang menjadi inti dari akhlak: akal harus mengatur nafsu dan amarah, dan inilah keutamaan sejati.(Al-Ghazālī, 2024)
‘Imitasi’ Tuhan: Meneladani Asmā‘ al-Ḥusnā
Salah satu konsep sentral dalam Iḥyā’ adalah bahwa karakter moral (akhlāq) dibentuk melalui kebiasaan. Menurut al-Ghazālī, sifat-sifat baik tidak turun dari langit, melainkan hasil dari latihan dan pembiasaan. Seorang dermawan sejati bukan hanya dia yang memberi, tapi yang hatinya juga lapang untuk memberi.
Namun, ia juga memperingatkan terhadap kemunafikan: seseorang bisa tampak berbuat baik, tapi jika dalam hatinya masih ada penyesalan atau kebakhilan, maka ia belum mencapai derajat kebaikan sejati. Maka, amal lahiriah harus selaras dengan kondisi batin.
Dalam karyanya al-Maqṣad al-Asnā, al-Ghazali menekankan konsep takhalluq, meneladani sifat-sifat Allah. Seorang Muslim yang ingin menjadi baik harus meniru kemurahan Allah, kasih sayang-Nya, keadilan-Nya. Namun ia menegaskan bahwa manusia tidak bisa menyamai Tuhan; yang bisa dilakukan adalah mendekat melalui upaya refleksi dan perbaikan diri.(Al-Ghazālī, 2003)
Konsep ini memperkuat etika al-Ghazālī sebagai etika keutamaan (virtue ethics), bukan sekadar etika hukum (fiqh). Menjadi baik bukan sekadar menaati perintah, tetapi menjadi cerminan dari sifat-sifat ilahi, sejauh mungkin.
Jalan Tengah: Moderasi sebagai Jalan Sufi
Al-Ghazālī tidak menganjurkan asketisme ekstrem atau penolakan total terhadap dunia. Ia menekankan wasaṭiyyah (jalan tengah). Menurutnya, dunia tidak harus ditinggalkan, tapi jangan sampai mencintainya melebihi cinta kepada Tuhan.
Bahkan emosi seperti marah atau nafsu tidak dihapuskan, tapi disalurkan secara bijak. Puasa, shalat malam, sedekah; semuanya dirancang untuk melatih jiwa agar seimbang, bukan tersiksa. Tujuan akhirnya adalah mencapai ketenangan batin yang memungkinkan seseorang untuk terus fokus kepada Tuhan.
Kritik terhadap Kelas Ulama
Al-Ghazālī melontarkan kritik tajam terhadap ulama yang hanya mengajarkan ilmu secara kering tanpa memperhatikan aspek akhlak dan penyucian jiwa. Ia menilai bahwa ilmu telah dijadikan alat untuk dunia, bukan untuk akhirat. Maka Iḥyā’ menjadi proyek perbaikan dari dalam, merekonstruksi ilmu agama agar kembali menjadi alat menuju Tuhan, bukan panggung pertunjukan.
Iḥyā’ segera menjadi karya klasik dalam dunia Islam. Namun ia juga menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan ulama Andalusia yang mencurigai penekanannya pada tasawuf sebagai ancaman bagi otoritas ilmu fikih. Beberapa membakar bukunya; namun seiring waktu, karya ini didomestikasi, diadaptasi, dan menjadi rujukan lintas mazhab.
Pengaruh Iḥyā’ tak hanya terbatas pada kalangan Sufi. Para pemikir fiqh, kalā˛, bahkan filsuf Kristen Timur seperti Barhebraeus pun mengambil manfaat dari strukturnya. Setiap kalangan membaca Iḥyā’ sesuai kebutuhan mereka. Inilah keistimewaan karya ini: fleksibel, mendalam, dan menggugah.(Al-Ghazālī, 2018)
Bagi al-Ghazālī, proyek etika bukan sekadar membentuk masyarakat, melainkan memperbaiki individu. Ia menganggap bahwa hanya jiwa yang bersih yang bisa menjalankan amar ma‘rūf nahi munkar dengan benar. Dalam salah satu bukunya, ia menyatakan bahwa tanggung jawab etis dimulai dari introspeksi diri, lalu keluarga, masyarakat, dan seterusnya.
Ini bukan etika politik dalam arti Machiavellian, tetapi etika penyucian diri (tazkiyah al-nafs)sebagai fondasi dari perubahan sosial. Dengan cara ini, Iḥyā’ tetap relevan bahkan dalam dunia modern yang terpecah antara spiritualisme individual dan politik global.
Penutup
Di zaman ini, ketika banyak yang mencari makna dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh distraksi, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menawarkan sebuah jalan yang sunyi namun agung: jalan perbaikan diri, keseimbangan jiwa, dan cinta kepada Tuhan. Al-Ghazālī mengingatkan kita bahwa hidup bukan sekadar berbuat, tetapi menjadi; menjadi manusia yang mencintai kebenaran, meneladani sifat ilahi, dan berjalan perlahan tapi pasti menuju Tuhan.
Karya ini adalah kitab kehidupan, bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijalani. Ia tidak mengajarkan sekadar hukum atau filsafat, tetapi menghadirkan agama sebagai seni hidup: hidup yang dijalani dengan keutamaan, kebijaksanaan, dan cinta.
Bahan Bacaan
Al-Ghazālī, A. H. (2000). Tahāfut al-Falāsifah (M. Marmura (ed.)). Brigham Young University Press.
Al-Ghazālī, A. H. (2018). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Ats-Tsuroyya.
Al-Ghazālī, A. H. (2024). Bidāyah al-Hidāyah. Dār al-Minhāj.
Al-Ghazālī, M. A. Ḥāmid. (2003). Al-Maqṣad al-Asnā fī Syarḥ Ma‘ānī Asmā’ al-Ḥusnā (B. ‘Abd al-W. Al-Jābī (ed.)). Dār Ibn Ḥazm.
al-Khatib, M. (2025). Key Classical Works on Islamic Ethics. BRILL. https://doi.org/10.1163/9789004459472
Choudhury, M. (2023). Imam Abdul Hamid Al-Ghazali (Imam Ghazali). Ihya Ulum Id-Din (Revival of Religious Learning), Vol. 1. The Book of Worship. Translated by Fazlul Karim. Darul Ishaat, Urdu Bazar, Karachi, Pakistan, 1993. Journal of Critical Realism in Socio-Economics (JOCRISE). https://doi.org/10.21111/jocrise.v2i1.30
Griffel, F. (2005). Taqlīd of the Philosophers: Al-Ghazālī’s Initial Accusation in his Tahāfut. In Ideas, Images, and Methods of Portrayal (pp. 273–296). Brill. https://doi.org/10.1163/9789047407263_016
Ormsby, E. (2007). Ghazali: The Revival of Islam (Makers of the Muslim World). Oneworld.
Vasalou, S. (2021). Al-Ghazālī and the Idea of Moral Beauty. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003196556
Vasalou, S. (2025). Al-Ghazālī and the Ideal of Godlikeness. Oxford University PressOxford. https://doi.org/10.1093/9780198912477.001.0001