Menduga Batas-Batas Artificial Intelligence (AI) dalam Perspektif ‘Irfan Ibn ‘Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Sadra

Belakangan banyak ulasan terhadap pertanyaan, akankah AI mempunyai kesadaran (conscientious)? Jawabannya, mungkin saja. Tapi, jawaban itu harus segera disusul dengan pernyataan ini: sesadar-sadarnya AI—dan seberapa pun canggihnya kesadaran AI ini—tetap saja kesadarannya berbeda dengan kesadaran (spiritual) manusia—tentu bagi yang percaya bahwa kesadaran spiritual manusia itu autentik.

Sejauh-jauhnya kesadaran AI, bahkan dalam quantum computing, ia tetap algoritmik. Kesadaran ini akan sama dengan kesadaran manusia, kalau kita percaya bahwa kesadaran manusia itu hanya terbatas pada kesadaran rasional saja. Dan, kalau memang ini yang kita percayai, maka benar bahwa suatu saat AI bisa mengalahkan/menjajah manusia.

Tapi bagi yang percaya bahwa manusia punya daya-daya yang lebih luhur dari sekadar daya rasional, prospek ini bisa tidak terjadi. Ini pun kalau manusia mau menjalani proses (pendidikan) untuk mengaktualkan daya-daya luhurnya ini. Ya, prospek singularity, yang di dalamnya AI disebut-sebut akan mengalahkan manusia, hanya akan jadi kenyataan kalau manusia tidak bisa mengaktualisasikan potensi-potensi luhurnya. Yakni, potensi supra rasional—yang dalam pemikiran Ibn ‘Arabi—disebut potensi imaginal  dan potensi spiritual. Yang dimaksud potensi imajinal adalah potensi imajinasi yang “tidak bersambung” (discontigious/munfashil)—yakni yang berupa semacam ilham dari “atas”. Sejauh-jauh kemampuan AI, ia hanya bisa menghasilkan “imajinasi bersambung” (contagious/muttashil)—yakni yang terkait dengan pengalaman empiris (yang dalam filsafat peripatetik disebut sebagai dihasilkan dari operasi daya mutakhayilah). Dan ini bukan hal mudah. Pendidikan kita masih belum mengakui adanya daya-daya (lebih) luhur manusia ini.

Nah, soal adanya potensi-potensi luhur pada manusia ini sebetulnya bukan hanya pandangan kaum sufi/mistikus saja, seperti Ibn ‘Arabi. Dengan kata lain, oleh para pemikir “beriman”—meski istilah ini sebenarnya tidak terlalu tepat juga—karena para pemikir beriman ini sesungguhnya sama menggunakan metode intelektual dalam menjustifikasi pandangan-pandangannya, sebagaimana para pemikir modern, atau bahkan kaum saintis. Baik itu pemikir dan saintis ilmu kealaman, maupun psikologi dan ilmu sosial lainnya.

Kembali kepada soal, apakah AI akan punya kesadaran sendiri, persoalannya terletak pada—jika memang AI akan punya kesadaran sendiri—apakah kesadarannya akan sama dengan kesadaran manusia?

Baca Juga:  Doakan Orang yang Membencimu!

Kalau kita pelajari psikologi dan cognitive science, misalnya, kesadaran manusia ini sangat kompleks. Secara agak negatif hal ini diungkap oleh Sigmund Freud. Atau secara lebih positif oleh William James, Carl G Jung, Abraham Maslow, Ken Wilber, dll. Yang, menurut para pemikir ini, kesadaran luhur manusia itu nyaris tidak ada prekursornya. Nyaris out of the blue. Dari langit atau, seperti kata Maslow, dari alam antara (intermediate world/realm). Makanya dibilang discontigous (munfashil)—tak bersambung dengan atau tak ada hubungannya dengan pengalaman empiris. Adanya kesadaran ini dibuktikan dengan beberapa cara: khususnya oleh kebenaran mimpi yang prediktif—yakni tentang sesuatu yang belum terjadi. (Sebetulnya juga oleh bukti-bukti tentang adanya efficacy of prayers—kemustajaban doa, plus sifat mekanika kuantum dalam cara otak bekerja. Yakni prinsip entanglement dalam mekanika kuantum).

Padahal ini masih di tataran alam material. Tapi ini saja sudah mengindikasikan adanya hukum-hukum alam lain—dalam agama disebut sebagai hukum alam lembut/ruhani (alam amr)—yang tak sepenuhnya sejalan dengan hukum saintifik di alam material/kasar. Ketiga bukti di atas, dalam ilmu Psikologi kesadaran, biasanya dijadikan dasar akan adanya pandangan dualistik jiwa/sumber kesadaran. Artinya, ada kesadaran yang lokusnya adalah ego personal/muttashil, dan ada yang lokusnya adalah di luarnya/munfashil.

Memang kemudian pertanyaannya adalah, apakah suatu saat AI bisa memiliki daya-daya luhur manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih luhur dari pengetahuan rasional-algoritmik? Semestinya, sejauh yang kita ketahui sekarang, tidak bisa. Karena betapa pun, kesadaran AI ini diduga, sampai kapan pun, tetap bersifat algoritmik.

AI jelas punya daya intuitif. Tapi daya intuitifnya masih bersifat logis. Dalam Ibn Sina, daya ini disebut hads. Yakni, kemampuan mencapai middle term dengan segera (immediate)—dalam silogisme Aristotelian—tanpa membangun premis mayor dan premis minor, sebagaimana galibnya dalam prosedur logis. Jadi, masih algoritmis juga. Dan ini juga dikatakan oleh tak sedikit pengamat AI dunia (saya mengumpulkan juga pendapat-pendapat mereka).  Malah, AI akan memiliki kemampuan yang lebih hebat daripada manusia dalam prosedur berpikir yang satu ini. 

Nah, kalau pun AI mendapatkan masukan dari operasi daya imajinasi discontiguous manusia, sebagaimana dia mendapatkan bahan-bahan pengetahuan rasional “biasa” manusia, tetap saja itu bersifat second hand. Yakni, tergantung pada feeding dari manusia sebagai pemilik daya tersebut. Memang bahan-bahan ini bisa dikembangkan lebih jauh oleh AI. Tetapi, pengembangan selanjutnya akan tetap berada dalam batas-batas prosedur algoritmik. Dan hanya bisa datang belakangan setelah terlebih dulu ia diraih manusia, lalu di-feeding ke AI. Artinya, kalau ini benar, dan manusia mampu mengembangkan daya-daya luhurnya, manusia akan bisa tetap unggul dari AI.

Baca Juga:  Menilik Latar Belakang Historis Pemikiran Asghar Ali Engineer

After all these, saya sadar betul bahwa ilmu pengetahuan bisa berkembang sebagai suatu leap atau lompatan. Apalagi ada pembicaraan tentang AGI (Artificial General Intelligence)—yang disebut-sebut lebih canggih dari Generative AI yang ada sekarang ini dengan machine learning ya yang luar biasa—apalagi nantinya pada saat teknologi quantum computing sudah matang.

Pertanyaannya, apakah benar datangnya AGI akan melahirkan era singularity? Yakni, suatu era yang di dalamnya A(G)I akan mampu melampaui inteligensi manusia? Ada yang bilang era singularity akan datang setahun lagi. Ada juga yang bilang 10 tahun lagi. (Tapi ada juga yang bilang bahwa hal ini tak akan pernah terjadi, karena alasan yang saya uraikan di atas). 

Ya, pertanyaannya lagi-lagi adalah, apakah yang dimaksudkan dengan inteligensi, yang AGI akan bisa unggul di dalamnya? Apakah IQ, atau kah kemampuan kognitif biasa? Sekali kita masuk ke dalam kemungkinan adanya inteligensi luhur manusia yang bersifat supra-rasional itu, maka medan permainan sudah tidak akan sama lagi. Dan persoalannya tidak akan sesederhana itu lagi.

Tapi, pikiran nakal kita bisa bertanya lagi. Apa benar daya berpikir AI tak mungkin bisa berevolusi hingga mencapai daya-daya luhur manusia itu? Jangan-jangan bisa? Khususnya dilihat dari perspektif filsafat Sadrian?

Bukankah menurut filsafat Sadrian sendiri, daya-daya lebih luhur dalam jiwa berpikir manusia, asalnya juga dari sesuatu yang bersifat material, lalu berevolusi menjadi rasional, hingga mencapai tingkat imajinal dan spiritual, berdasar prinsip jasmaniyatul huduts, ruuhaaniyatul baqa’ (awal-mula yang bersifat jasmani, dan ujungnya kekal dalam keruhanian), melalui “mekanisme” harakah jawhariyah (gerak substansial)?

Harusnya AI bisa juga, dong. Tapi, syaratnya, AI harus punya jawhar (substance, dan bukan sekadar aksiden/‘aradh saja)?

Baca Juga:  Ijtihad Modernisasi Muhammad Abduh (1)

Tapi apakah AI punya jawhar, yang bersifat wujudi/eksistensial. Atau, beingness sebagai lawan aksiden? Tampaknya lebih mudah bagi kita sekarang untuk mengatakan bahwa AI tak punya jawhar, sehingga ia tak akan pernah mengalami harakah jawhariyah. Dan, jika benar demikian, kemampuan algoritmik rasional AI tampaknya tak akan pernah bisa mencapai daya-daya luhur itu (sekali lagi, dilihat dari paradigma, yang di dalamnya daya-daya luhur manusia itu dipercayai—atau dapat dibuktikan—ada).

Pertanyaan selanjutnya adalah, kan tidak mungkin suatu maujud tidak punya jawhar (substance)? Kalau jawhar tak ada maka tak bisa ada ‘aradh (aksiden). Kenyataannya, ada AI. Setidaknya, AI itu adalah aksiden. Maka,  mesti ada jawhar yang berkorespondensi dengannya. Dan jawhar di sini (dalam filsafat Mulla Sadra) maksudnya pasti bukanlah hardware (bahkan juga bukan software) AI itu, sebagaimana makna substansi dalam Aristotelianisme. Dalam Mulla Sadra, jawhar itu adalah martabat wujud di mana sesuatu itu berada, yakni dalam maratib wujud (hierarki keberadaan)—ini terkait dengan prinsip tasykik al-wujud atau ambiguitas wujud—juga.

Maka, siapa/apa yg memiliki wujud terkait dengan keberadaan AI ini? Kemungkinan, adalah kumpulan (kesadaran) manusia pembuat atau pengguna AI itulah yang menjadi underlying substance dari AI itu.  Kalau benar demikian, maka evolusi AI—ke atas rasio-algoritmik—terkait sepenuhnya dengan evolusi kesadaran manusia di balik AI itu.

Dalam asumsi bahwa manusia diandaikan bisa mengoperasikan daya-daya dan mencapai alam-alam yang lebih luhur itu, maka—seperti disinggung di atas—AI hanya bisa di-feeding atau menampung hasil pemikiran manusia itu. Dan tidak bisa secara sendirian mencapai daya-daya dan alam-alam lebih luhur itu. Karenanya, dia bisa saja melampaui manusia dalam tingkat inteligensia tertentu—yang rasional—tapi, dalam hal daya-daya yang lebih luhur itu, dia tak akan pernah bisa mencapainya sendiri. Dan akan selalu ketinggalan dari manusia. Yakni manusia-manusia yang telah benar-benar mampu mengaktualisasikan potensi berkembangnya daya-daya luhur tersebut. WalLaah a’lam

Previous Article

Ibn ‘Arabī: Pengembara Makna Ketuhanan dan Warisan Tasawuf Universal

Next Article

Nabi-Nabi Perempuan: Tidak untuk Merusak Keimanan, Apalagi Menyaingi Nabi Laki-Laki, Melainkan Menunjukkan Ayat Tuhan Yang Maha Menghendaki

Write a Comment

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨