Tasawuf, atau Sufisme, kerap dipersepsikan sebagai ajaran yang jauh dari keramaian dunia, tersembunyi di balik zikir dan kesunyian tafakkur. Namun banyak fakta dan kajian-kajian yang menantang stereotip ini dengan menawarkan narasi yang mendalam, empatik, dan sangat kontekstual tentang bagaimana tasawuf berkembang menjadi tradisi dialogis yang meresap ke dalam jantung kehidupan masyarakat Muslim Nusantara(Al-Attas, 1966; Aljunied, 2025; Howell, 2012); baik dalam ranah spiritual, kultural, sosial, maupun politik. Artikel sederhana ini bukan narasi sejarah tentang para sufi, tetapi sekedar refleksi filosofis tentang bagaimana sebuah tradisi hidup, bergerak, dan terus menyentuh kehidupan manusia.
Konsep “Rasa” dalam Tasawuf Nusantara
Tasawuf erat dengan konsep “rasa”; sebuah istilah dari kosmopolis Sanskerta yang merujuk pada pengalaman emosional mendalam. Para sufi menggunakan rasa untuk menggambarkan pengalaman batiniah terhadap wahyu ilahi, dan ini menjadi sarana penting dalam Islamisasi Nusantara. Dalam penghayatan Sufi, rasa bukan sekadar perasaan; ia adalah bentuk pengenalan spiritual yang membentuk landasan bagi interaksi antara manusia dan Tuhan, serta antara manusia dan manusia(Aljunied, 2025).
Tradisi tasawuf menekankan bukan hanya pada diskursus, tetapi juga pada pengalaman batin dan afeksi. Inilah yang membedakan para sufi dengan kaum formalistik; bagi mereka, Islam bukan hanya untuk dipahami secara intelektual, tetapi dirasakan secara eksistensial. Al-Qur’ān dibaca bukan hanya sebagai teks suci, tetapi sebagai sumber keindahan dan emosi yang mampu membuat hati luluh dan air mata luruh dalam ketaatan dan cinta.
Aljunied dalam Contemplating Sufism(Aljunied, 2025) menawarkan konsep “sejarah kontemplatif” (contemplative histories). Ini merupakan pendekatan yang mengajak kita memahami sejarah tasawuf bukan sebagai deretan kronologi tanggal atau biografi tokoh, melainkan sebagai pergulatan spiritual yang berlangsung dalam percakapan dengan Tuhan, dengan sesama, dengan lingkungan, bahkan dengan kekuasaan. Ini adalah narasi tasawuf sebagai tradisi dialogis.
Dialog dalam konteks ini tidak terbatas pada diskusi ilmiah, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan; doa, zikir, tafakur, seni, dan interaksi sosial. Para sufi tidak hanya berbicara dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam, sejarah, dan bahkan kekuasaan. Tasawuf menjadi kendaraan transformasi spiritual dan sosial.
Tiga Tipe Sufi
Menurut Aljunied, sikap terhadap tasawuf dibagi dalam tiga kategori: “pendukung taat”, “pengagum reflektif”, dan “pengkritik radikal”. Pendukung taat melihat tasawuf sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan pencerahan mutlak; mereka percaya pada karāmah para wali dan hal-hal aneh yang melampaui logika. Di sisi lain, pengagum reflektif lebih kritis, meski tetap mengakui kekuatan transformasional tasawuf. Mereka menempatkan tokoh-tokoh sufi sebagai manusia biasa yang juga rentan terhadap kesalahan. Adapun pengkritik radikal sering kali datang dari kalangan modernis atau salafi yang memandang tasawuf sebagai penyimpangan dari ajaran Islam murni(Aljunied, 2024, 2025).
Pendekatan tipologis ini memberi kita lensa analitis untuk memahami kompleksitas relasi masyarakat Nusantara (Indonesia) dengan tasawuf. Ia tidak tunggal, tidak monolitik, dan tidak linier. Tasawuf di wilayah ini hadir dalam spektrum yang sangat luas dan dinamis.
Salah satu kontribusi paling kreatif dari para sufi Nusantara adalah penggunaan medium figuratif -seperti syair dan hikayat- dalam menyampaikan ajaran Islam. Syair Hamzah Fansuri, misalnya, tidak hanya menawarkan puisi yang indah, tetapi juga menjadi jembatan antara kosmologi Islam dan rasa lokal masyarakat Melayu. Syair menjadi instrumen dakwah yang halus, emosional, dan berakar dalam budaya(Al-Attas, 1966).
Medium-medium ini meresap ke dalam budaya populer: dari pasar hingga istana, dari pertunjukan wayang kulit hingga festival rakyat. Para sufi secara cerdas menyisipkan konsep-konsep metafisika Islam dalam narasi-narasi yang sudah dikenal masyarakat, sehingga dakwah menjadi proses yang organik dan tidak memaksa.
Tasawuf dan Politik
Bertolak belakang dengan anggapan bahwa para sufi selalu menjauhi dunia, tulisan ini menemukan kajian yang menyimpulkan bagaimana para tokoh tasawuf kerap menjadi aktor penting dalam politik Nusantara. Tokoh-tokoh seperti Syeikh Yūsuf al-Makassarī tidak hanya dikenal sebagai ahli tarekat, tetapi juga sebagai hakim, penasihat raja, bahkan pemimpin militer(Aljunied, 2024).
Para sufi memainkan peran ganda; sebagai penasihat spiritual bagi elit kekuasaan, dan sekaligus sebagai pembimbing umat di akar rumput. Mereka membentuk tafsir politik yang etis dan spiritual, dan di saat yang sama, terlibat dalam perebutan pengaruh, konflik kekuasaan, bahkan pemberontakan. Ini menunjukkan bahwa tasawuf adalah gerakan yang aktif secara sosial dan politis, bukan sekadar kontemplatif.
Rātib dan Ṭarīqah
Salah satu warisan institusional penting dari tasawuf Nusantara adalah munculnya lembaga-lembaga sirkuler seperti tarekat, pesantren, dan majelis zikir. Melalui sistem ijāzah dan sanad, pengetahuan dan praktik tasawuf diwariskan dari mursyid (guru) ke murid secara organik. Praktik seperti rātib dan maulīd menjadi pengikat komunitas dan sekaligus menjadi alat legitimasi bagi para tokoh sufi di hadapan masyarakat dan elit.
Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa di balik praktik-praktik ini terdapat dimensi pragmatis dan politis. Majelis zikir bukan hanya tempat dzikir, tapi juga ruang negosiasi sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Di sinilah kekuatan dan kerentanan tasawuf berada; di tengah tarik-menarik antara hal-hal yang sakral dan profan(Aljunied, 2025).
Di tengah proses Islamisasi, sejarah menampilkan bahwa tasawuf juga berinteraksi dengan tradisi lokal seperti kejawen dan kebatinan. Dalam interaksi ini, muncul dua kutub tasawuf; tasawuf yang berorientasi tekstual dan ortodoks di satu sisi, dan tasawuf-sinkretis di sisi lain, yaitu bentuk-bentuk spiritualitas yang berakulturasi bebas dengan unsur-unsur adat dan kepercayaan lokal. Meski sering berbenturan, keduanya memberi kontribusi besar terhadap penyebaran Islam yang lebih luas di Nusantara.
Beyond Orientalisme: Tasawuf adalah Bagian dari Islam
Pandangan orientalis klasik memisahkan tasawuf dari Islam yang otentik. Meski pandangan ini sudah usang dan memudar, namun masih memiliki bayang-bayang dalam kajian-kajian keislaman (tasawuf) saat ini. Melihat tasawuf sebagai entitas otonom dari Islam adalah kekeliruan epistemologis. Para sufi Nusantara, seperti generasi sufi lainnya, meyakini bahwa tasawuf adalah inti dari Islam, bukan cabang atau hiasan. Tasawuf adalah Islam yang dijalani secara mendalam, bukan Islam yang “lain”(‘Afīfī, 2017; Al-Fāsī, 2002).
Dengan demikian, jangan mengesampingkan basis-basis syari’at dan akidah dalam memahami dunia tasawuf, meski ia juga mengakui pentingnya rasa, pengalaman, dan dimensi spiritual yang tidak selalu bisa dirasionalkan.
Penutup
Dalam metafora seorang musafir yang mengarungi samudera luas tasawuf, perjalanan sejarah tasawuf di Asia Tenggara laksana perjalanan panjang yang penuh dengan gelombang, badai, dan arus silang. Namun yang terus bertahan dalam genealogi tasawuf Nusantara adalah semangat dialog, keberanian untuk hidup dengan nilai-nilai spiritual di tengah dunia yang terus berubah, dan kemampuan untuk terus mengaitkan yang sakral dengan yang profan.
Sejarah tasawuf di Nusantara mengubah cara kita dalam memahami bahwa tasawuf bukan doktrin kaku, melainkan sebagai praktik hidup yang penuh cinta, konflik, zikir, tafakur, dan perjuangan. Mari melihat tasawuf tidak hanya sebatas genealogi sejarah dan biografi para tokohnya. Mari juga bersama merenung, mengontemplasikan kembali apa artinya menjadi Muslim di dunia modern ini melalui jejak para sufi yang dahulu dan kini. Dalam konteks ini, tasawuf adalah jalan yang tetap relevan, bukan karena ia menolak modernitas, tetapi karena ia menawarkan kedalaman yang dibutuhkan manusia modern. Sebuah jalan sunyi yang tetap bersuara dalam kejernihan.
Bahan Bacaan
‘Afīfī, A. al-‘Alā. (2017). Al-Taṣawwuf: al-Ṡaurah al-rūḥiyyah fī al-Islām. Hindāwī.
Al-Attas, S. M. . (1966). The mysticism of Hamzah Fansuri. University of London.
Al-Fāsī, A. Z. (2002). Qawā’id al-Taṣawwuf (‘Abd al-Majīd Khayālī (ed.)). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aljunied, K. (2024). Sufi Warriorism in Muslim Southeast Asia. Sociology Lens, 37(4), 502–516. https://doi.org/10.1111/johs.12474
Aljunied, K. (2025). Contemplating Sufism. Wiley Blackwell. https://doi.org/10.1002/9781394270484
Howell, J. D. (2012). Sufism and neo-sufism in Indonesia today. RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs.