Melihat Tafsir Pada Masa Tabi’in
Kita tahu, sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan tafsir, maka sebagian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada mereka pun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Tentu saja, alam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah Saw, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima tabi’in dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah Swt kepada mereka.
Dari sini kita tahu, bahwa kitab-kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui ra’y dan ijtihad. Dan penafsiran mereka ini sedikit pun bukan berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Karena itu, tafsir yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat.
Maka, para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya, mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Hingga akhirnya, setelah itu muncullah generasi sesudah tabi’in. Generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.
Lahirnya Tabi’in
Penaklukan Islam semakin luas. Hal ini mendorong tokoh-tokoh sahabat berpindah ke daerah-daerah taklukan, dan masing-masing mereka membawa ilmu. Dari tangan mereka inilah para tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir. Di Makkah, misalnya, berdiri perguruan Ibn Abbas. Di antara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan Ata’ bin Abi Rabah. Mereka semuanya dari golongan maula (sahaya yang telah dibebaskan).
Karena itu, dalam hal periwayatan tafsir dari Ibn Abbas, mereka tidaklah setingkat; ada yang sedikit dan ada pula yang banyak, sebagaimana para ulama pun berbeda pendapat mengenai kadar “keterpercayaan” dan kredibilitas mereka. Dan yang mempunyai kelebihan di antara mereka tetapi mendapat sorotan adalah Ikrimah. Namun, para ulama berbeda pandangan di sekitar penilaian terhadap kredibilitasnya, meskipun mereka mengakui keilmuan dan keutamaannya.
Di Madinah, Ubai bin Ka’b lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara muridnya dari kalangan tabi’in, yang belajar kepadanya secara langsung atau tidak, yang terkenal adalah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi. Sementara itu, di Irak berdiri perguruan Ibn Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y. Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur di antaranya adalah Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamazani, Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi. Merekalah mufasir-mufasir terkenal dari kalangan tabi’in di berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah tabi’it tabi’in (generasi setelah tabi’in) belajar. Mereka telah menciptakan untuk kita warisan ilmiah yang abadi.
Pandangan Ulama akan Tafsir Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikit pun dari Rasulullah Saw atau para sahabat; apakah pendapat mereka itu dapat dipegangi atau tidak?
Rupanya, segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan. Sebab, mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam peristiwa memahami apa yang dimaksud.
Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Namun, pendapat yang kuat adalah jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil yang lain.
Ibn Taimiyah pernah berkata: Syu’bah bin Hajjaj dan lainnya berpendapat, “Pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.” Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar.
Namun, jika mereka sepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat, maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan sendiri (tabi’in) maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an, sunah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.
Memang, pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan (talaqqi wa talqin). Akan tetapi setelah banyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita Isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian, pendapat-pendapat tersebut sebenarnya berdekatan satu dengan yang lain atau hanya merupakan sinonim semata. Dengan demikian, perbedaan itu hanya dari segi redaksional, bukan perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif. Wallahu a’lam bisshawaab.
*Penulis adalah alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.