Melihat Tafsir pada Masa Nabi dan Sahabat

Kita tahu, menjadi mufasir bukanlah pekerjaan mudah. Ia sangat sulit. Apalagi ditambahi dengan beberapa syarat misalnya harus memiliki akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, menafsirkan lebih dahulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan lainnnya, makin terasa sulit. Selain membutuhkan kesucian jiwa juga kapasitas ilmu yang multitalenta, handal, dan progresif.

Misalnya, mufasir harus paham betul Ilmu Tauhid. Sebab, dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak mentakwilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui batas hak-Nya. Juga, Ilmu Ushul, terutama Ushul Al-Tafsir. Dengan mendalami masalah-masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.

Syahdan. Allah memberikan jaminan kepada Rasul-Nya bahwa Ia akan memelihara Al-Qur’an dan menjelaskannya. Allah Swt berfirman:

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ. فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ. ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ 

“Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 17-19).

Nabi memahami Al-Qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya. Dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl dinyatakan:

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِ وَاَنْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]: 44).

Para sahabat juga memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan: “Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balagahnya. Karena itu, semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya.” Namun demikian, mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.

Diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dalam al-Fada’il dari Anas, Umar bin Khattab pernah membaca di atas mimbar ayat Surah Abasa ayat 31 “Wafakihatan wa abbaa.” Lalu ia berkata: “Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui, tetapi apakah arti kata abb?” Kemudian ia menyesali diri sendiri dan berkata: “Ini suatu pemaksaan diri, takalluf, wahai Umar.”

Abu Ubaidah meriwayatkan pula melalui Mujahid dari Ibn Abbas, ia berkata: “Dulu saya tidak tahu apa makna fatirus samawati wal ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata: “Ana fatartuha,” maksudnya “ana ibtadatuha” (akulah yang membuatnya pertama kali).” Atas dasar itu Ibn Qutaibah berkata: “Orang Arab itu tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata garib dan mutasyabih dalam Qur’an. Tetapi dalam hal ini sebagian mereka mempunyai kelebihan atas yang lain.”

Tiga Pokok Sahabat dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Pertama, Al-Qur’anul Karim. Sebab, apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum, namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya.

Baca Juga:  Mengejar Kebahagiaan: Belajar dari Film The Pursuit of Happyness

Inilah yang dinamakan “Tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an”. Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang ditampilkan secara ringkas (mujaz) di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang uraiannya panjang lebar (mushab).

Contoh lainnya, firman Allah Swt. Dalam Surah Al-Ma’idah ayat 1 ditafsirkan oleh ayat Al-Ma’idah ayat 3:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ  اُحِلَّتْ لَـكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْـتُمْ حُرُمٌ  اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 1).

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَاۤ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَاۤ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ  وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِ  ذٰ لِكُمْ فِسْقٌ  اَلْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْـنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ  اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَـكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَـكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا  فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍ  فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ‏

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).

Demikian juga firmannya pada Surah Al-An’am ayat 103 ditafsirkan oleh Surah Al-Qiyamah ayat 23. Allah Swt berfirman:

لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَ  وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ

 “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am [6]: 103)

اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ 

 “Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 23).

Kedua, Nabi. Kenapa demikian? Mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Al-Qur’an. Karena itu, wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Dari Ibn Mas’ud diriwayatkan, ia berkata: Ketika turun Surah Al-An’am ayat 82:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْۤا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰٓئِكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am [6]: 82).

Baca Juga:  MAULID NABI: KELAHIRAN SANG CAHAYA

Hal ini sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Beliau menjawab: “Kezaliman di sini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh yaitu Lukman.” Allah Swt berfirman:

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ  اِنَّ الشِّرْكَ لَـظُلْمٌ عَظِيْمٌ

 “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).

Jadi, kezaliman di sini sesungguhnya adalah syirik. Demikian juga Rasulullah Saw menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki ketika diperlukan. Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah Saw. Mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat Surat Al-Anfal [8] ayat 60:  “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” Ketahuilah, ‘kekuatan’ di sini adalah memanah.”

Bukankah kitab-kitab himpunan sunah telah menyajikan satu bab khusus memuat tafsir bil ma’sur (penafsiran berdasarkan riwayat/atsar) dari Rasulullah Saw. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:

وَمَاۤ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْـكِتٰبَ اِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَـفُوْا فِيْهِ  وَهُدًى وَّرَحْمَةً لِّـقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Artinya: “Dan Kami tidak menurunkan Kitab (al-Qur’an) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nahl [16]: 64).

Penting juga dicatat, bahwa di antara kandungan Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui takwilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah Saw. Misalnya, perincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardukan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah, sungguh telah diturunkan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya…”

Ketiga, adalah pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah Saw, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balagah-an yang ada di dalamnya.

Sahabat yang Terkenal Menafsirkan Al-Qur’an

Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah empat khalifah, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka.

Baca Juga:  Dari Tasawuf Teoritis Menjadi Tasawuf Praktis: Sebuah Refleksi Daras Buku Dari Allah Menuju Allah

Ada dan cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat tafsir bil ma’sur yang tentu saja berbeda-beda derajat ke-sahih-an dan ke-da’if-annya dilihat dari sudut sanad (mata rantai periwayatan). Itu sebabnya, tidak diragukan lagi, jika tafsir bil ma’sur yang berasal dari sahabat mempunyai nilai tersendiri.

Jumhur ulama berpendapat, tafsir sahabat mempunyai status hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah Saw.) bila berkenaan dengan asbabun nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’y. Sedangkan hal yang memungkinkan dimasuki ra’y, maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah Saw.

Namun demikian, sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka, di samping mereka mempunyai daya pemahaman yang sahih.

Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan berkata: “Ketahuilah, Qur’an itu ada dua bagian. Satu bagian penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsiran itu adakalanya dari Nabi, sahabat atau tokoh tabi’in. Jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa?”

Namun, lanjut Az-Zarkasyi, “Jika ternyata demikian mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa Arab, karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbab nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini pun tidak diragukan lagi.”

Demikian juga Al-Hafiz Ibn Katsir berkata dalam Muqaddimah Tafsir-nya: “Dengan demikian jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam sunah, hendaknya kita kembali, dalam hal ini, ke pendapat sahabat; sebab mereka lebih mengetahui mengenai tafsir al-Qur’an.”

Tentu saja, kata Ibn Katsir, hal ini karena merekalah yang menyaksikan konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka sendiri. Juga karena mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa’ur Rasyidun, para imam yang mendapat petunjuk dan Ibn Mas’ud.

Syahdan. Pada masa-masa ini, tidak ada sedikit pun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu, tafsir hanya merupakan cabang dari hadits, dan belum mempunyai bentuk yang teratur.

Dengan kata lain, ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-ayat Al-Qur’an dan surat-suratnya, di samping juga tidak mencakup keseluruhannya. Wallahu a’lam bisshawaab.

*Penulis adalah alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

0 Shares:
You May Also Like