Beragama secara imajinatif? Yang bener aja. Agama adalah soal kebenaran puncak. Lalu mau dicampur-campur sama khayalan? Sebentar, sebentaar…
Mari saya jelaskan apa yang dimaksud sebagai imajinasi yang, boleh juga, diterjemahkan sebagai khayalan. Imajinasi itu, kalau dalam pemikiran Islam ada dua jenis atau tingkatan. Yang pertama, imajinasi yang terkait dengan pengalaman empiris. Disebut al-khayal al-muttashilah (contigous imagination). Jadi, imajinasi terkait dengan adanya subjek yang berimajinasi. Dengan kata lain, bersifat subjektif. Imajinasi atau khayalan seperti ini bisa mengandung kebenaran atau tidak. Kalau pun benar, dia tetap saja terkait dengan pengalaman empiris, yang sudah terjadi. Tapi, alam imajinasi yang kedua, bersifat lebih luhur. Dia merupakan dunia yang riil. Bahkan, seperti alam spiritual, dia ada terlepas dari subjek yang berimajinasi. Istilah lain untuk menunjuk alam imajinasi yang ini adalah alam barzakh. Yakni, alam yang mengantarai yang spiritual dan yang empiris. Termasuk alam imajinasi ini adalah alam mimpi.
Sesuai dengan adanya dua alam imajinasi tersebut, juga ada dua mimpi. Mimpi yang muttashilah (terkait pengalaman empiris), maupun mimpi yang munfashilah (terkait dengan alam luhur). Yang muttashilah bisa benar, bisa salah. Sedang mimpi yang munfashilah pasti benar (ru’yah haqq). (Dalam hal tertentu ru’yah ini bisa mengambil bentuk visi/penglihatan dalam keadaan jaga. Tapi baiklah kita tunda pembahasan tentang hal ini).
Nah, yang saya maksud beragama secara imajinatif itu adalah beragama dengan cara berupaya mengaitkannya dengan imajinasi yang luhur itu. Dengan beragama secara imajinatif, dalam makna ini, maka pemahaman keagamaan kita menjadi jauh lebih luas. Dan melampaui batas-batas empiris dan rasional—yakni cara logis memahami yang empiris—ini. Dengan kata lain, melampaui kategori ruang waktu biasa (Newtonian). Yakni ruang tiga dimensi dan waktu serial-linier (lihat tulisan saya, Tasawuf dan Fisika Kuantum). Yakni, masuk ke ruang imajinatif yang batas-batasnya jauh lebih luas, dan waktunya perpetual (dahr). Yakni, seperti kata Ibn ‘Arabi, tujuh puluh dua kali lebih panjang dari waktu serial (linier).
Maka, orang yang beragama secara imajinatif, akan memahami agama secara lebih luas dan mendalam—kompleks/canggih—dan inklusif. Banyak hal yang dalam pemahaman empiris rasional sempit biasa, cenderung kita exclude dari kebenaran keagamaan, dalam cara beragama yang imajinatif hal itu menjadi dapat kita terima. Persisnya, kita jadi tak gampang-gampang menyalahkan pendapat yang lain dengan apa yang kita yakini, karena—dengan penglihatan kita yang lebih mendalam dan luas, yang tadinya—dalam ruang lebih sempit dan cetek keberagamaan kita—kita tolak, menjadi masuk ke dalamnya.
Pertanyaannya sekarang, apa makna konkret beragama secara imajinatif ini? Kalau kita kaitkan dengan metode keilmuan, inilah yang disebut sebagai beragama dengan metode hermeneutik (ta’wil), sebagai berbeda dengan metoda tafsir biasa. Inilah metoda yang biasa dipakai dalam tasawuf—atau, tepatnya, ‘irfan. Kalau mengikuti tiga klasifikasi nalar Islam al-Jabiri, metode ‘irfani ini merupakan alternatif terhadap metode bayani (eksplanatif-deskriptif), dan metoda burhani (demonstratif-rasional) biasa.
Kiranya, selain bisa menjadikan pemahaman individual kita menjadi lebih meluas dan mendalam, serta lebih memungkinkan kepada penghampiran terhadap hakikat-hakikat keagamaan plus lebih indah dan mengasyikkan, karena alam imajinasi itu juga indah. Metoda seperti ini juga lebih memungkinkan dialog dan saling pemahaman di antara berbagai kelompok intra-agama dan inter-agama.