Tulisan ini menjelaskan tentang makna kata āli muḥammad/ālihī (keluarga Nabi Muhammad) yang disebutkan dalam shalawat menurut pemikiran Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī. Shalawat merupakan ibadah yang sangat agung dalam Islam dan wasilah yang sangat dahsyat untuk mendekatkan diri kepada Allah (Nasrullah Ainul Yaqin, “Membincang Keutamaan Salawat Perspektif Fikih dan Tasawuf”, dalam https://bincangsyariah.com/khazanah/keutamaan-salawat-dalam-fikih-tasawuf/ dan “Di Bawah Naungan Cahaya Shalawat”, dalam https://baca.nuralwala.id/di-bawah-naungan-cahaya-shalawat/, akses 12/10/2024). Dalam hal ini, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, Allah memerintahkan umat Islam agar senantiasa membaca shalawat dan salam atas Nabi Muhammad saw. sebagaimana diabadikan dalam surah Al-Aḥzāb (33): 56.
Setelah Allah menurunkan ayat yang berisi perintah untuk membaca shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. tersebut, lalu seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. bagaimana caranya bershalawat kepadanya. Maka, Nabi saw. menjawab seraya bekata, “Katakanlah, allāhumma ṣalli ‘alā muḥammad wa ‘alā āli muḥammad kamā ṣallayta ‘alā āli ibrāhīm, innaka ḥamīdun majīd. Allāhumma bārik ‘alā muḥammad wa ‘alā āli muḥammad kamā barakta ‘alā āli ibrāhīm, innaka ḥamīdun majīd” (ya Allah, semoga Engkau mencurahkan tambahan rahmat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah mencurahkan tambahan rahmat kepada keluarganya Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga Engkau melimpahkan tambahan berkah kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah melimpahkan tambahan berkah kepada keluarganya Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia). (Ibnu Kaśīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2000: 1516)
Redaksi shalawat―yang dikenal dengan Shalawat Ibrāhimiyyah―tersebut disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim. Menurut Imam asy-Syāfi‘ī, setiap muslim wajib membaca shalawat dan salam atas Nabi Muhammad saw. berdasarkan perintah Allah yang disebutkan dalam surah Al-Aḥzāb (33): 56 tersebut. Kewajiban membaca shalawat dan salam ini hanya berlaku ketika salat, yaitu dibaca ketika tahiat akhir. Oleh karena itu, Imam asy-Syāfi‘ī dan Ahmad bin Ḥanbal berpendapat bahwa membaca shalawat ketika tahiat akhir adalah wajib. Sebab, ia merupakan salah satu rukun salat. Dengan demikian, jika seorang muslim melaksanakan salat tanpa membaca shalawat ketika tahiat akhir, maka salatnya tidak sah. Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam Abū Ḥanīfah, Imam Mālik, dan jumhur ulama. Menurut mereka, membaca shalawat ketika tahiat akhir adalah sunah, bukan wajib. Sebab, ia bukan merupakan rukun salat. Dengan demikian, jika seorang muslim melaksanakan salat tanpa membaca shalawat ketika tahiat akhir, maka salatnya tetap sah (Wahbah az-Zuḥaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, 1985, I: 670, Muhammad Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd li Kasyf Ma‘nā Qur’ān Majīd, II: 189, dan an-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ an-Nawawī, 1929, IV: 123).
Adapun paling pendeknya redaksi shalawat yang bisa dibaca ketika tahiat akhir adalah “allahumma ṣalli ‘ala muhammad” (ya Allah, semoga Engkau mencurahkan tambahan rahmat kepada Muhammad). Sedangkan redaksi shalawat yang paling lengkap untuk dibaca ketika tahiat akhir adalah “allāhumma ṣalli ‘alā muḥammad wa ‘alā āli muḥammad kamā ṣallayta ‘alā ibrāhīm wa ‘alā āli ibrāhīm wa bārik ‘alā muḥammad wa ‘alā āli muḥammad kamā barakta ‘alā ibrāhīm wa ‘alā āli ibrāhīm innaka ḥamīdun majīd” (ya Allah, semoga Engkau mencurahkan tambahan rahmat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah mencurahkan tambahan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya, dan semoga Engkau melimpahkan tambahan berkah kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah melimpahkan tambahan berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia) (al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, hlm. 670)
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ālu muḥammad (keluarga Nabi Muhammad) yang terdapat dalam shalawat. Pertama, ālu muḥammad adalah semua umat Islam. Pendapat ini disampaikan oleh para ulama muḥaqqiq, seperti Imam al-Azharī dan Imam an-Nawawī. Kedua, ālu muḥammad adalah setiap muslim yang bertakwa. Ketiga, ālu muḥammad adalah ahl al-bayt (keluarga dalem) Nabi dan para keturunannya. Kata ahl al-bayt Nabi disebutkan dalam surah Al-Aḥzāb (33): 33. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud ahl al-bayt dalam surah Al-Aḥzāb (33): 33 adalah istri-istri Nabi. Pendapat lain menyebutkan bahwa maksud ahl al-bayt dalam Al-Aḥzāb (33): 33 adalah Sayyidah Fāṭimah, Imam ‘Alī, Imam Ḥasan, dan Imam Ḥusayn. Keempat, ālu muḥammad adalah keturunan Sayyidah Fāṭimah. Kelima, ālu muḥammad adalah kalangan bani Hāsyim dan bani Muṭṭalib. Pendapat ini disampaikan oleh jumhur ulama dan Imam asy-Syāfi‘ī. Keenam, ālu muḥammad adalah kalangan bani Hāsyim. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Mālik (Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ an-Nawawī, hlm. 124, Bakrī al-Makkī bin Muhammad Syaṭā, Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’, hlm. 7, dan Muhammad Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd li Kasyf Ma‘nā Qur’ān Majīd, hlm. 183 & Fatḥ al-Majīd fī Syarḥ ad-Durr al-Farīd, hlm. 3).
Dengan demikian, jika mengacu kepada pendapat yang pertama, maka semua umat Islam adalah keluarga Nabi. Jika mengacu kepada pendapat yang kedua, maka keluarga Nabi hanya terbatas kepada orang-orang Islam yang bertakwa. Jika mengacu kepada pendapat yang ketiga, maka keluarga Nabi hanya terbatas kepada keluarga dalemnya dan para keturunannya. Jika mengacu kepada pendapat yang keempat, maka keluarga Nabi hanya terbatas kepada keturunan Sayyidah Fāṭimah. Jika mengacu kepada pendapat yang kelima, maka keluarga Nabi hanya terbatas kepada kalangan bani Hāsyim dan bani Muṭṭalib. Jika mengacu kepada pendapat yang keenam, maka keluarga Nabi hanya terbatas kepada kalangan bani Hāsyim.
Adapun sebagian ulama mutaakhirin berpendapat bahwa kata ālu muḥammad/ālihī yang terdapat dalam shalawat tidak bisa serta-merta ditafsirkan dengan satu makna tertentu, tetapi harus melihat redaksi shalawat itu terlebih dahulu. Jika redaksi shalawat itu berupa “allāhumma ṣalli ‘alā sayyidinā muḥammad wa āli sayyidinā muḥammad allażīna ażhabta ‘anhumur rijsa wa ṭahhartahum taṭhīrā” (ya Allah, semoga Engkau mencurahkan tambahan rahmat atas baginda kami, Muhammad, dan keluarganya yang telah Engkau hapus dosa-dosanya dan Engkau telah membersihkannya sebersih-bersihnya), maka makna kata āli di sini adalah keluarga dalem Nabi. Jika redaksi shalawat itu berupa “allāhumma ṣalli ‘alā sayyidinā muḥammad wa āli sayyidinā muḥammad al-fā’izīna bi riḍāka” (ya Allah, semoga Engkau memberikan tambahan rahmat kepada baginda kami, Muhammad, dan keluarganya yang beruntung dengan memperoleh rida-Mu), maka makna kata āli di sini adalah orang-orang yang bertakwa. Jika redaksi shalawat itu berupa “allāhumma ṣalli ‘alā sayyidinā muḥammad wa āli sayyidinā muḥammad” (ya Allah, semoga Engkau memberikan tambahan rahmat atas baginda kami, Muhammad, dan keluarganya), maka makna kata āli di sini adalah semua umat Islam (Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’, hlm. 7).
Beberapa pendapat para ulama yang berbeda-beda tersebut turut mewarnai penafsiran Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī tentang makna āli muḥmammad/ālihi yang disebutkan dalam shalawat. Hal ini bisa dijumpai ketika beliau memberikan syarah terhadap kata āli muḥmammad/ālihi dalam redaksi shalawat yang ditulis oleh mualif kitab yang disyarahi tersebut. Dalam hal ini, para ulama klasik biasa mengawali karya tulisnya dengan basmalah, hamdalah, dan shalawat. Salah satu contoh shalawat yang disebutkan dalam kitab yang disyarahi oleh Syekh Nawawī adalah “wa ṣallallāhu ‘alā sayyidinā muḥammad wa ‘alā ālihī wa ṣaḥbihī wa sallam” (Ahmad bin Zayn al-Ḥabsyī, ar-Risālah al-Jāmi‘ah Bayna Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh wa at-Taṣawwuf, hlm. 2).
Syekh Nawawī mensyarahkan kata āli muḥmammad/ālihi dengan makna yang berbeda-beda dalam beberapa karyanya. Pertama, kata āli bermakna semua umat Islam, baik yang takwa maupun yang durhaka (suka melakukan perbuatan dosa). Pendapat ini disebutkan dalam Kāsyifah as-Sajā (syarah atas kitab Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh karya Syekh Sālim bin Sumayr al-Ḥaḍramī, hlm. 4), Bahjah al-Wasā’il bi Syarḥ al-Masā’il (syarah atas kitab ar-Risālah al-Jāmi‘ah Bayna Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh wa at-Taṣawwuf karya Sayyid Ahmad bin Zayn al-Ḥabsyī, hlm. 2), Sullam al-Munājāh (syarah atas kitab Safīnah aṣ-Ṣalāh karya Sayyid ‘Abdullāh bin Umar bin Yaḥyā al-Ḥaḍramī, hlm. 4), ‘Uqūd al-Lujjayn fī Bayān Ḥuqūq az-Zawjayn (syarah atas karya seorang ulama yang menjelaskan tentang urusan rumah tangga, hlm. 2), Nihāyah az-Zayn fī Irsyād al-Mubtadi’īn (syarah atas kitab Qurrah al-‘Ayn bi Muhimmāt ad-Dīn karya Syekh Zaynuddīn bin ‘Abd al-‘Azīz al-Malībārī, hlm. 5), dan Qūt al-Ḥabīb al-Garīb (hasyiah atas kitab Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb karya Syekh Muhammad bin al-Qāsim al-Gazzī, 1998: 8).
Kedua, kata āli bermakna semua orang yang beriman, termasuk para nabi terdahulu dan para umatnya. Pendapat ini disebutkan dalam Nūr aẓ-Ẓalām (syarah atas kitab ‘Aqīdah al-‘Awām karya Sayyid Ahmad Marzūqī, hlm. 5) dan an-Nahjah al-Jayyidah li Ḥalli Alfāẓ Naqāwah al-‘Aqīdah (syarah atas nazam yang menjelaskan tentang tauhid, hlm. 2-3). Ketiga, kata āli bermakna para pembantu Nabi saw. yang beriman sebagaimana disebutkan dalam Qaṭr al-Gayś fī Syarḥ Masā’il Abī al-Layś (syarah atas kitab Masā’il Abī al-Layś karya Syekh Naṣr bin Muhammad as-Samarqandī, hlm. 2).
Keempat, kata āli bermakna orang-orang Islam yang bertakwa sebagaimana disebutkan dalam aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah (syarah atas kitab ar-Riyāḍ al-Badī‘ah karya Syekh Muhammad Ḥasbullāh, hlm. 2), Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś (syarah atas kitab Lubāb al-Ḥadīś karya Syekh Jalāluddīn as-Suyūṭī, hlm. 3), dan Qūt al-Ḥabīb al-Garīb (hlm. 11). Kelima, kata āli bermakna para keturunan Nabi Muhammad saw., yaitu Sayyidina Qāsim, Sayyidah Zaynab, Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Fāṭimah, Sayyidah Ummu Kulśūm, Sayyidina ‘Abdullāh, Sayyidina Ibrāhīm, dan orang-orang yang memiliki hubungan nasab dengan Nabi, yaitu anak cucu Sayyidah Fāṭimah dan para keturunannya. Pendapat ini disebutkan dalam Salālim al-Fuḍalā’ (syarah atas kitab Hidāyah al-Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’ karya Syekh Zaynuddīn bin ‘Alī al-Malībārī, hlm. 6) dan Qūt al-Ḥabīb al-Garīb (hlm. 8).
Keenam, kata āli bermakna para kerabat Nabi saw. yang beriman dari kalangan bani Hāsyim, bani Muṭṭalib, bani ‘Abdi Manāf, dan para keturunan mereka. Pendapat ini disebutkan dalam Madārij aṣ-Ṣu‘ūd ilā Iktisā’i al-Burūd (syarah atas kitab al-Mawlid an-Nabawiyy karya Sayyid Ja‘far yang terkenal dengan al-Barzanjī, hlm. 3), Fatḥ al-Majīd fī Syarḥ ad-Durr al-Farīd (syarah atas kitab ad-Durr al-Farīd fī ‘Ilm at-Tawḥīd karya Syekh Ahmad an-Naḥrāwī, hlm. 3), Salālim al-Fuḍalā’ (hlm. 6), Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś (hlm. 3), Qūt al-Ḥabīb al-Garīb (hlm. 11), dan Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq fī Syarḥ Sullam at-Tawfīq ilā Maḥabbatillāh ‘alā at-Taḥqīq (syarah atas kitab Sullam at-Tawfīq karya Syekh ‘Abdullāh bin al-Ḥusayn bin Ṭāhir Bā‘alawī, hlm. 3). Ketujuh, kata āli bermakna semua kerabat Nabi sebagaimana disebutkan dalam Fatḥ al-Majīd fī Syarḥ ad-Durr al-Farīd (hlm. 3) dan Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq fī Syarḥ Sullam at-Tawfīq ilā Maḥabbatillāh ‘alā at-Taḥqīq (hlm. 3).
Dari beberapa makna āli yang telah disebutkan tersebut, Syekh Nawawī membagi keluarga Nabi secara garis besar menjadi dua kelompok. Pertama, ālu fī maqām ad-du‘a’ (keluarga dalam kedudukan doa), yaitu semua umat Islam, baik yang takwa maupun yang durhaka. Kedua, ālu fī maqām az-zakāh (keluarga dalam kedudukan zakat), yaitu orang-orang yang tidak boleh (haram) menerima zakat. Mereka adalah kalangan bani Hāsyim, bani Muṭṭalib, dan para keturunan mereka (Kāsyifah as-Sajā, hlm. 4 dan Qūt al-Ḥabīb al-Garīb, hlm. 11).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa orang-orang yang seiman dengan Nabi Muhammad saw. (seperti para nabi terdahulu dan umatnya serta orang-orang yang beriman), orang-orang yang mengikuti Nabi Muhammad saw., dan para pembantu Nabi Muhammad saw. yang beriman adalah keluarga Nabi dalam kedudukan doa (ālu fī maqām ad-du‘a’). Adapun orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad saw. (seperti kalangan bani Hāsyim, bani Muṭṭalib, bani ‘Abdi Manāf, dan keturunan-keturunan mereka; anak cucu Nabi dan orang-orang yang memiliki hubungan nasab dengan Nabi; dan semua kerabat Nabi) adalah keluarga Nabi dalam kedudukan zakat (ālu fī maqām az-zakāh). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam.