Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLahil-hamd
“Dan daging-daging serta darah (hewan qurban) itu tak sampai kepada Allah. Tapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu.” (QS. Al-Hajj [22]: 37)
Memang menyembelih kurban adalah suatu ritus ibadah yang bersifat simbolik. Ia menyimbolkan pengorbanan penuh kepasrahan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Pada saat yang sama, ibadah kurban juga mengajarkan dan mendorong kita untuk mengambil pelajaran darinya. Apa yang disimbolkan ritus ibadah ini, yang darinya kita bisa mengambil pelajaran?
Itulah semangat untuk memotong semua cabang dan ranting nafsu angkara murka (ammarah bis-su’), termasuk kesombongan, kesewenang-wenangan, kebencian, kekerasan, dan sebagainya. Memang, semua ibadah kepada Allah pada puncaknya adalah persoalan hati. Persoalan khusyu’. Seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad saw:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik-fisik (material) dan bentuk-bentuk (penampilan) kalian. Melainkan dia melihat kepada hati kalian.”
Di sinilah masuk makna (batin) yang sesungguhnya dari ajaran tentang takwa ini.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLahil-hamd
Takwa (berasal dari kata bahasa Arab, taqwa), secara istilah, berarti “melindungi”. Yakni, melindungi diri dari akibat melupakan Allah Swt dalam gerak-gerik kehidupan kita. Tapi, sebelum membahas lebih jauh tentang takwa ini, kita perlu memahami bahwa para ulama membagi keadaan Muslim ke dalam tiga tingkatan, yakni:
- Tingkatan abrar (orang yang berbuat amal-amal kebaikan)
- Tingkatan muttaqi (orang bertakwa)
- Tingkatan muhsin (orang yang sudah mencapai tingkat ihsan)
Tingkatan abrar adalah tingkatan pendahulu muttaqi. Bagi orang yang sudah melazimkan amal-amal baik dalam hidupnya, akan terbuka gerbang untuk mengancik (naik ke tingkat) maqam taqwa. Sedang maqam takwa sendiri, menurut para ulama dibagi lagi ke dalam tiga tingkatan:
Pertama, taqwa awam (takwanya orang kebanyakan): Orang-orang yang berada pada tingkatan ini selalu berusaha menghindar dari dosa dan selalu berupaya menjalankan syariah Allah.
Kedua, taqwa khawas (takwanya orang khusus): orang yang berada pada tingkatan takwa ini berusaha menghindar dari hal-hal yang memalingkan wajahnya dari Allah, meskipun dalam hal-hal yang halal
Ketiga, taqwa khawwashul khawwash (takwa orang yang amat khusus): Orang yang berada pada tingkatan ini selalu sadar akan, dan hadir bersama, Allah dan Allah saja. Baginya iming-iming pahala dan ketakutan kepada dosa sudah tak lagi relevan baginya.
Sedemikian bersih hati orang yang bertakwa ini, sehingga hatinya telah menjadi suci dan menjelma ‘arasy ar-Rahman, sesuai hadis: “Hati seorang mukmin adalah ‘arasy Allah”
Dan pada hati orang bertakwa seperti ini bermanifestasi (bertajalli) nama-nama Allah. Dia disebut telah mengalami maqam musyahadah (menyaksikan) Allah Swt.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLahil-hamd
Inilah sesungguhnya pelajaran yang bisa kita ambil dari simbolisme ibadah kurban. Yakni, keharusan kita untuk terus berupaya menyembelih keangkaramurkaan dari diri kita, sehingga hati kita menjadi bersih, sebersih-bersihnya, agar kita selalu sadar Allah, dan merasakan pengawasan Allah atas diri kita (muraqabah), sesuai dengan uraian sebelumnya.
Selanjutnya, seperti yang dikatakan Ibn Rajab al-Hanbali, takwa, jika terus disempurnakan, bisa membawa pelakunya kepada ihsan. “Taqwa menjaga dari yang selain Allah, dan ihsan adalah kehadiran Allah dalam segala sesuatu.”
Ihsan bermakna mencapai kesempurnaan dalam kehambaan dan kecintaan kepada Allah Swt, sedemikian sehingga kita mengalami kebersatuan dan Allah Swt. Dalam sebuah tamsil dikatakan, takwa adalah penjaga rumah, sedang ihsan adalah cahaya yang menerangi rumah itu. Takwa juga ditampilkan sebagai langkah memasuki taman, sedang ihsan adalah berjalan-berjalan menikmati keindahan di dalam taman.
Sebagaimana disimpulkan oleh Ibn ‘Arabi, takwa adalah gerbang, yang melaluinya orang akan sampai kepada ihsan—yakni, tersingkapnya tirai yang menjadikan kita mampu melihat Allah. Yakni, sebagaimana diungkapkan dalam hadis Jibril yang terkenal itu, ihsan adalah memuja Allah (dengan sepenuh cinta) dalam keadaan kita melihat Allah (dengan mata batin kita, yang sudah ditajamkan dengan takwa).
Dan bagaimana caranya kita bisa memuja Allah dengan cara demikian? Dalam pemahaman Ibn ‘Arabi atas hadis Jibril di atas, Nabi mengajarkan bahwa, untuk mencapai penglihatan akan Allah itu, kita harus bisa meniadakan diri (ego) kita:
Beginilah salah satu bacaan Ibn ‘Arabi tentang hadis tesebut: “Ihsan adalah engkau memuja Allah dalam keadaan melihat Allah (dengan mata batin). Dan, jika engkau telah mampu meniadakan diri/egomu (wa in lam takun), maka kamu akan bisa melihat Allah…”
Ihsan yang seperti ini membawa pelakunya kepada fana’ (meleburnya diri ke dalam Tuhan), yang berujung kepada baqa’ (tinggal tetap dalam Tuhan). Dan ru’yatullah (melihat Allah), sebagai buah ihsan, lebih tinggi maqamnya daripada musyahadah (penyaksian akan Allah), yang merupakan buah takwa. Sementara dalam musyahadah kedirian kita masih ada, dalam ru’yatullah diri kita sudah hilang, menyatu dengan Allah Swt. Jadi, meski takwa adalah suatu maqam yang sudah tinggi, bagi para awliya’-nya, takwa membawa kepada puncak tertinggi keislaman—yakni ihsan.
Demikian luhurnya tujuan akhir ibadah kurban, jika kita lihat dalam perspektif takwa dan ihsan ini. Jadi, jika kita sudah bisa berkurban hewan sembelihan, dalam keadaan mampu melihat makna (batin) di balik simbol material (fisik) ritus ibadah ini, maka kita akan bisa benar-benar mencapai ketakwaan, bahkan Ihsan dalam keberagamaan kita—sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Mulk ayat 2:
“(Dialah Allah) Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian, demi Allah mengetahui siapa yang paling ihsan (dalam) menyelenggarakan amalnya.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLahil-hamd.
Marilah kita bertakwa dengan segala kemampuan kita, sebagaimana Allah sendiri ajarkan:
“Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu.” (QS. At-Taghabun [64]: 16)
Lalu, hendaknya kita selalu memohon kepada Allah agar terus memberikan hidayah kepada kita dan menolong kita dalam perjalanan kita mendekat kepadanya dari satu tingkatan kepada tingkatan-tingkatan yang selanjutnya. Yakni sesuai dengan janji-Nya sendiri dalam Surat al-‘Ankabut ayat 69
“Dan sesiapa yang bekerja keras menuju-Ku, maka pasti aku tunjuki dia jalan-jalan-Ku.”
Demikian Allah sabdakan dalam suatu hadis qudsi:
“Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Dan jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepada-Nya sedepa. Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan merangkak, Aku akan mendekat kepadanya berjalan. Dan jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekat kepadanya berlari.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLahil-hamd…