Erich Fromm dan Herbert Marcuse adalah dua nama tenar yang dikenal luas sebagai tokoh Teori Kritis. Teori Kritis sendiri dikenal sebagai mazhab yang bukan hanya begitu keras mengkritik positivisme, juga titik berdirinya yang tidak memisahkan antara teori dan praksis, sehingga suatu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan kritis) diandaikan mempunyai fungsi emansipatoris. Dengan demikian, pengetahuan yang dirumuskan oleh Teori Kritis mempunyai semangat untuk mewujudkan perubahan sosial guna menghadirkan tatanan sosial yang lebih berkeadilan.
Dalam perjalanan mazhab tersebut terjadi perselisihan atau konflik antar para anggotanya, dan konflik yang paling terkenal adalah konflik yang berlangsung antara Erich Fromm dan Herbert Marcuse, dua tokoh yang sebenarnya memainkan peran penting dalam perkembangan mazhab tersebut. Erich Fromm sendiri, sebagaimana catatan Nur Iman Subono dalam buku Erich Fromm: Psikilogi Sosial Materialis yang Humanis (2010), kemudian menjadi nama yang tersisihkan dalam mazhab tersebut.
Adapun konflik antara Fromm di satu sisi dan tokoh lain dari Mazhab Frankfurt pada sisi lain yang salah satunya adalah Marcuse ini, bermula saat Fromm mengkritik berbagai konsep penting dalam pemikiran Sigmund Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Kritikan Fromm dianggap salah kaprah, dan konflik di antara mereka meluas, bukan hanya bersifat intelektual tapi juga politis. Sebagai catatan penting, salah satu ciri utama lainnya dalam Teori Kritis ini, yakni ambisi mereka untuk melakukan sintesis antara marxisme dan freudian. Akan tetapi, meski di antara Fromm dan Marcuse terdapat konfliktual, ada titik temu di antara keduanya, yakni kritik mereka terhadap masyarakat industrial-kapitalisme. Dengan kata lain, keduanya memiliki kegelisahan yang sama mengenai perkembangan masyarakat industri-kapitalis.
Semangat Kritik Kapitalisme-Industrial dalam Pemikiran Marcuse dan Fromm
Marcuse adalah pemikir yang sangat masyhur dalam khazanah filsafat politik, karya monumentalnya, yakni One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (1964), yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Satu Dimensi (2016). Dalam karyanya tersebut, Marcuse melakukan serangkaian kritik terhadap masyarakat modern (masyarakat teknologi), yang dinilai cenderung bersifat deseptif (memperdayakan).
Dalam karya monumentalnya tersebut, di satu sisi, Marcuse memang mengapresiasi kemunculan masyarakat teknologi, yang dimulai dengan berkembangnya pandangan seputar hak dan kebebasaan. Bagi Marcuse, kebebasan berpikir, berbicara dan kehendak hati, seperti usaha bebas, yang berperan meningkatkan dan melindungi, secara esensial merupakan pemikiran-pemikiran kritis yang didesain untuk menggantikan suatu kebudayaan material dan intelektual yang telah usang dengan suatu kebudayaan yang lebih produktif.
Akan tetapi, dalam perkembangannya terdapat permasalahan mendasar dari masyarakat teknologi tersebut. Marcuse justru melihat kemerdekaan berpikir, otonomi, dan hak untuk mengadakan oposisi politik sedang dicabut dari fungsi kritis mendasarnya di dalam masyarakat, yang hal tersebut berkaitan karena perkembangan masyarakat teknologi menekankan pada kemampuan masyarakat untuk “memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu” melalui berbagai cara yang dikelola.
Dalam pengamatan Marcuse, perkembangan tersebut menyebabkan masyarakat lebih mementingkan berbagai kepuasaan-kepuasaan individu agar terpenuhi. Akibatnya, kecenderungan yang terjadi, yaitu penerimaan terhadap status quo (kemapanan) dan melemahkan daya kritis. Masyarakat teknologis pun menjadi masyarakat tanpa lawan (oposisi).
Marcuse pun melihat proses teknologis sebagai mekanisasi. Dengan demikian dianggap sebagai bentuk-bentuk baru dalam pengontrolan, dan Marcuse menilai hal tersebut sebagai bentuk manipulasi. Dengan kalimat lain, adanya kemajuan-kemajuan teknologi dan sebagainya, dapat menyebabkan masyarakat modern “dininabobokan”. Fenomena inilah yang disebut oleh Marcuse sebagai “manusia satu dimensi”.
Dalam pengamatan Marcuse, masyarakat memang merasa kebutuhan-kebutuhan individu mereka terpenuhi, akan tetapi yang sesungguhnya terjadi, kebutuhan-kebutuhan tersebut sudah dimanipulasi oleh “rasionalitas teknologis”, agar berjalan sesuai dengan tuntutan ataupun efesiensi dari sistem kapitalis itu sendiri. Marcusebahkan menyebut masyarakat industri kontemporer cenderung bersifat totalitarian.
Marcuse menulis “hal itu karena ‘totalitarian’ bukanlah sekedar koordinasi politik teroristis dari suatu masyarakat, namun juga merupakan koordinasi nonteroristis yang bekerja melalui ‘manipulasi’ kebutuhan-kebutuhan akibat adanya vested interest. Oleh karena itu, hal itu bisa mencegah munculnya suatu oposisi yang efektif terhadap keseluruhannya”.
Dengan demikian, mengutip T.M Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran dalam buku Diskursus Teori-teori Kritis (2016), dapat disimpulkan bahwa Marcuse berpandangan manusia dalam masyarakat kapitalis yang telah maju adalah manusia yang tidak bebas, represif, dan bahwa manusia modern itu secara intelektual dan psikologis menjadi nyaman lewat ketergantungan pada persuasi masyarakat konsumeristik. Ketergantungan tersebut merupakan gejala yang dinamakan oleh Marcuse sebagai “desublimasi represif”. Masyarakat industri maju menciptakan kebutuhan palsu melalui media iklan yang mengerangkeng individu dalam sistem produksi dan konsumsi.
Apa yang menjadi sorotan Marcuse tersebut, juga menjadi perhatian Fromm. Bagi Fromm (2019), sekian tanda dalam masyarakat terpedaya meliputi: kemunculan konglomerat raksasa, industri mega proyek, pemerintah dengan birokrasi-birokrasi berbelit, individu yang tidak punya kontrol lagi atas situasi kerjanya, merasa impoten, kesepian, bosan dan cemas. Pada saat yang sama, perlunya profit bagi perusahaan-perusahaan besar dilakukan melalui iklan yang gencar mempromosikan produk mereka. Iklan itu mengubah manusia menjadi rakus dan pelahap. Lantas manusia mesti mengkonsumsi dan perlu kebutuhan artifisal yang diciptakan secara manipulatif. Inilah yang disebut sebagai karakter manusia sebagai homo comsumens.
Menurut pemahaman Fromm, kelobaan akan konsumsi merupakan bentuk ekstrem dari apa yang disebut oleh Freud sebagai “karakter Oral” yang menjadi kekuatan psikis dominan dalam masyarakat industri dewasa ini. Semakin ia berkuasa menciptakan mesin-mesin, semakin tidak berdayalah dirinya sebagai manusia. Semakin banyak ia mengkonsumsi maka semakin dalam ia tenggelam sebagai budak dari kebutuhannya yang makin bertambah, yang diciptakan dan dimanipulasi oleh sistem industri.
Dalam tulisannya yang lain di To Have or To Be (1976), Fromm menyebut bahwa ada dua cara bereksistensi dalam diri manusia yang menentukan the spirit of mandkind (semangat umat manusia). Salah satunya dengan cara pandang “memiliki”. Cara pandang tersebut melihat benda-benda sebagai suatu hal yang harus dipunyai dan didasarkan pada sikap yang agresif dan penuh kerakusan.
Cara pandang “memiliki” ini berbeda dengan apa yang oleh Fromm sebut sebagai “menjadi”. Cara pandang menjadi mendasarkan pada cinta, sikap empati, kebersamaan dan produktivitas. Dalam tulisan Fromm lainnya, The Anatomy of Human Destructiveness (1973), Fromm menyebut bahwa dominasi cara pandang “memiliki” menyebabkan dunia terperosok ke dalam kerusakan, baik itu secara sosial, psikologis, dan ekologis.
Semangat “memiliki” ini, juga apa yang disebut oleh Fromm sebagai homo comsumens jelas bertentangan dengan masyarakat sosialis yang menjadi cita-cita Marx, yang menyoroti secara tajam bahaya yang terkandung dalam kapitalisme. Menurut Fromm, cita-cita Marx ialah manusia bisa berbuat banyak di dalam masyarakat, namun bukan dalam arti memiliki atau memakai banyak benda. Marx ingin membebaskan manusia dari belenggu gila materi, sehingga manusia dapat bangkit hidup dan berkepribadian sebagai manusia, tidak menjadi budak kelobaannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa titik temu antar kedua pemikir ini, salah satunya yaitu melalui kritik mereka yang tajam terhadap masyarakat industrial atau kapitalisme, yang meski di satu sisi kerap digunakan sebagai tolok ukur kemajuan, tapi di sisi lain mengandung segudang permasalahan. Struktur kapitalisme menciptakan “kebutuhan palsu” dan menjatuhkan masyarakat untuk mengikuti logika efisensi pasar sehingga tercipta apa yang disebut sebagai konsumerisme. Situasi tersebut bukan hanya berdampak secara psikologis, sosial ataupun ekonomi, tapi juga politik dan mengokohkan apa yang disebut sebagai dominasi dari para pemilik modal (kapital).