Ketika Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn selesai ditulis, maka sebagian ulama melihat setan sedih dan menaburkan tanah ke kepalanya. Sang ulama itu bertanya kepada setan: “Ada apa denganmu?” Setan menjawab: “Telah ditulis dalam Islam sebuah kitab (Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn), yang aku takut orang-orang akan mengikutinya” (Habib Zein bin Smith, Al-Manhaj as-Sawiyy Syarḥ Uṣûl Ṭarîqah as-Sâdah Âli Bâ‘Alawiyy, 2005: 249).
Imam an-Nawawî (quṭub-nya para fakih/fuqahâ’) menyebutkan bahwa kitab Iḥyâ’ nyaris menjadi Al-Qur’an. Wali quṭub Imam Habib ‘Abdillah bin ‘Alawî al-Ḥaddâd menjelaskan bahwa Iḥyâ’ dianggap nyaris menjadi Al-Qur’an bisa jadi karena saking banyaknya ayat yang dikutip atau karena ia merupakan mukjizat sehingga menyerupai Al-Qur’an. Disebutkan bahwa sebab terakhir ini yang lebih memungkinkan Iḥyâ’ dianggap nyaris menjadi Al-Qur’an, yaitu sebagai mukjizat (ajaib dan menakjubkan). Iḥyâ’ dikatakan mukjizat karena dua hal: pertama, ia ditulis dengan metode baru yang belum pernah ada sebelumnya; kedua, penulis lain akan kesulitan untuk menulis karya seperti Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn (hlm. 256).
Imam Habib ‘Aidrûs bin ‘Umar al-Ḥabsyî menyebutkan bahwa ada enam kitab induk tasawuf yang penting dipelajari oleh para pencari kesejatian dan kebenaran: salah satunya adalah Iḥyâ’. Menurut wali quṭub Habib ‘Abdillâh bin Abî Bakr al-‘Aidrûs, Iḥyâ’ adalah syarah (penjelas) dari Al-Qur’an, hadis, ṭarîqah, dan ḥaqîqah. Orang-orang yang ingin berjalan di jalan Allah dan Rasul-Nya dan ingin mendapatkan rida keduanya harus mempelajari karya-karya Imam al-Ghazâlî terutama Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn (hlm. 255-256).
Para ulama yang makrifat sepakat bahwa perkara yang paling bermanfaat bagi jiwa dan paling dekat dengan rida Allah adalah mengikuti Imam al-Ghazâlî dan mencintai karya-karyanya. Sebab, karya-karya Imam al-Ghazâlî merupakan intisari Al-Qur’an, hadis, akal, dan naqal. Wali quṭub Imam Habib ‘Abdillah bin ‘Alawî al-Ḥaddâd menyebutkan bahwa karya-karya Imam al-Ghazâlî menggabungkan antara syariat, ṭarîqah, ḥaqîqah, dan warisan para ulama salaf. Oleh karena itu, siapapun yang mempelajari karya-karyanya tidak akan jemu dalam kondisi apapun. Artinya, mereka akan senantiasa butuh terhadap karya-karya Imam al-Ghazâlî tersebut (hlm. 413 & 248-249).
Dalam praktiknya, Âlu Bâ ‘Alawî menggabungkan ajaran Imam al-Ghazâlî dan Imam asy-Syâżîlî sebagai basis Ṭarîqah as-Sâdah Âli Ba‘alawî (Tarekat Alawiyyah). Menurut Imam Habib ‘Abdurraḥmân Balfaqîh, Ṭarîqah as-Sâdah Âli Bâ ‘Alawî secara lahir mengikuti Imam al-Ghazâlî, baik dalam hal pengetahuan/‘ilm maupun perbuatan/‘amal, dan secara batin mengikuti Imam Abû al-Ḥasan ‘Alî asy-Syâżîlî, baik dari segi taḥqîq al-ḥaqîqah maupun dari segi tajrîd at-tawḥîd (Gazâliyyah aḍ–ḍâhir Syâżiliyyah al-bâṭin) (lihat pengantar al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 31).
Disebutkan bahwa Âlu Bâ ‘Alawî di Yaman sempat bermusyawarah untuk mengarang sebuah kitab yang akan dijadikan rujukan (bagi mereka dan anak-cucunya) untuk menjaga sejarah hidup dan warisan para pendahulu mereka (baik dalam hal keilmuan, amal, maupun spritualitas). Namun, ketika mereka mengetahui Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, maka mereka merasa takjub dan sama-sama sepakat menjadikan Iḥyâ’ sebagai kitab rujukan mereka dan anak-cucunya (al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 249).
Di Indonesia, organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Bagdâdî dan Imam al-Ghazâlî dalam bidang tasawuf (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar 32 Nahdlatul Ulama, 2010: 23). Selain itu, Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn menjadi salah satu kitab babon yang dikaji di pesantren-pesantren yang tersebar di bumi Nusantara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Imam al-Ghazâlî adalah samudra pengetahuan dan spiritual, di mana orang-orang dari pelbagai belahan dunia datang berduyun-duyun untuk memuaskan dahaga pengetahuan dan spiritual mereka. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam.