Hasnan Singodimayan: Dari Budayawan, Sastrawan Hingga ke Takwil Al-Qur’an

Bagi masyarakat Jawa Timur, khususnya Banyuwangi, nama Hasnan Singodimayan Edrisy tentunya sudah tidak asing lagi. Hal ini dapat dipahami mengingat nama Hasnan Singodimayan telah dikenal luas dalam kancah nasional sebagai novelis yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap adat dan budaya Using Banyuwangi, serta menghasilkan karya-karya yang memiliki nilai abadi dan relevansi yang berkelanjutan.

Sosok Hasnan Singodimayan Edrisy telah memposisikan dirinya sebagai salah satu tokoh penting dalam dunia sastra Indonesia, khususnya dalam bidang pelestarian dan penulisan karya sastra yang mengangkat kearifan lokal masyarakat Using. Kontribusinya dalam melestarikan warisan budaya melalui medium sastra menjadikan karya-karyanya memiliki signifikansi yang tidak akan pudar oleh waktu.

Bagaikan angin segar Banyuwangi, Hasnan hadir membawa sinar yang bernuansa kebudayaan dalam cahata temaram intelektual. Jadi, sudah tidak kagok jika hingga saat ini Hasnan memiliki julukan “seorang novelis dan budayawan”. Namun, artikel ini memuat perspektif lain terhadap seorang Hasnan, yang mulanya familiar dengan pegiat budaya dan penulis novel, artikel ini menyorotinya dalam lintasan teologis dan pemahamannya dengan Al-Qur’an.

Mengenal Hasnan Singodimayan

Nama Hasnan Singodimayan mungkin tergolong “baru” bagi yang belum mengenalnya meskipun sastrawan dan budayawan asal Banyuwangi ini sesungguhnya sudah lama berkiprah dalam dunia sastra Indonesia. Namanya memang hampir tidak tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kehadiran dan kegiatannya dalam sastra Indonesia tidak berarti.

Ketiadaan Hasnan dalam sejarah sastra Indonesia boleh jadi justru menunjukkan bahwa buku-buku atau telaah sastra kita masih perlu direvisi atau digenapi dengan antara lain memasukkan Hasnan Singodimayan dan sejumlah sastrawan lainnya yang belum terdeteksi karya-karya mereka.

Hasnan Singodimayan tergolong sastrawan senior karena ia lahir pada 17 Oktober 1931 di Banyuwangi, seiring gencarnya kolonialisme di Indonesia. Pada masa belajarnya, Hasnan pernah berjibaku dalam lingkungan pesantren, tepatnya pondok pesantren modern Darussalam, Gontor.

Baca Juga:  Godaan yang Bertingkat

Di tempat kelahirannya, laki-laki yang sejak mudanya aktif dalam kegiatan seni dan budaya itu adalah mendiang yang disegani, bukan karena usianya yang sudah tua, melainkan karena kiprah dan karya-karya yang dihasilkannya.

Pada 1960—1965 ini adalah tahun-tahun genting dalam kehidupan politik dan budaya Indonesia ia mengetuai Himpunan Seni Budaya Islam Cabang Banyuwangi. Ia juga aktif sebagai anggota Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dari 1980-1985. Kemudian, pada 1995-2001 pemenang berbagai lomba penulisan karya sastra di antaranya pemenang II Lomba Penulisan Puisi yang diselenggarakan BBC London pada 1980 dan pemenang III Lomba Cerpen Dewan Kesenian Surabaya itu menjadi Penasihat DKB.

Melalui karyanya yang mengguncangkan dunia literasi, Hasnan adalah motivator terangkatnya bahasa Using sebagai bahasa pergaulan sehari-hari sejajar dengan bahasa daerah lain. Melalui media radio, Hasnan menggiatkan kembali sastra dan bahasa Using.

Negeri Saba’ Sebuah Takwil Surat

Cukup banyak karya Hasnan Singodimayan telah dimuat dan diabadikan dalam dunia literasi. Semua karya yang menjadi pembahasan mayoritas dalam lingkup budaya dan sastra. Sisi lain yang jarang diungkap adalah karyanya yang beririsan dengan sisi kehidupannya, yaitu Al-Qur’an. Baginya, Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang harus dijaga dan dipahami. Dalam setiap nafasnya, ia menyeru kepada anaknya bahwa Al-Qur’an bukan sekadar sebagai legitimasi teologis, tetapi sebagai titik tolak refleksi diri dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan.

Berbekal ilmu dari pesantren Gontor, ia mengabadikan karya tentang Al-Qur’an dengan judul Ta’wil Surat Saba’ dan Surat At-Thur (Cerita Jawa dan Borobudur).

Perihal Ta’wil, banyak pendapat yang sepakat bahwa hal tersebut adalah metode lain dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Begitupun dengan Hasnan. Dalam karyanya ia menjelaskan Ta’wil Surat Saba’ dengan cukup komprehensif. Di awal paragraf ia sedikit mengkritik beberapa penafsiran tentang Negeri Saba’ dengan narasi “Sekian banyak Tafsir Al-Qur’an dan sekian banyak pakar ahli tafsir, tidak seorangpun yang mau dan berani memaknai secara jelas dengan kadar ilmu pengetahuan yang mumpuni tentang negara Saba’”.

Baca Juga:  PENGORBANAN AL-HUSAIN UNTUK KEMANUSIAAN

Baginya, para penafsir Al-Qur’an hanya berani dan hanya berkutat dalam makna negara Syam, Yaman, dan Sinai. Padahal baginya ilmu Ta’wil dan ilmu modern seperti hermeneutika dapat diaplikasikan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Secara general, surat Saba’ menceritakan warga negara Saba’ yang hidup di sekitar Yaman secara heterogen. Kenikmatan dunia dan keburukan dunia menjadikan warga negara Saba’ hidup secara dilematis. Atau disebut sebuah suku bangsa yang dikenal dengan kejayaan, kekayaan, dan kemewahan mereka, tetapi juga dengan kesyirikan dan penolakan mereka terhadap ajaran kebenaran. Sementara Hasnan mengartikan Saba’ menurut kaidah sastra Arab berarti “diguyur air dan dikepung air”.

Kemudian Hasnan semacam berkontemplasi dan melontarkan pertanyaan, Di mana negara di dunia ini komunitas yang diguyur dan dikepung air ? Ia menjawabnya dengan perspektif geologis dan “Nusantara centris”. Negara Saba’ itu adalah Nusantara Indonesia. Yang terjadi setelah tenggelamnya bengkahan benua Atlantika, ketika bertemunya dua samudera dari utara dan selatan.

Dengan penafsiran tersebut menunjukkan wawasan Hasnan cukup bercengkerama dalam interdisipliner ilmu, bukan hanya sastra, kebudayaan, namun ilmu-ilmu Al-Qur’an pun ia pahami.

Previous Article

Syariat, Hakikat, dan Mazhab Cinta yang Terlupakan

Next Article

Bāyazīd al-Bisṭāmī: Sang Mistikus Cinta

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨