Giorgio Agamben adalah seorang filsuf kontemporer yang lahir pada 22 April 1942. Agamben menyelesaikan pendidikannya di Universitas Roma tahun 1965. Adapun pemikiran politik Agamben sendiri didasari pada pembacaannya atas buku-buku karya Aristoteles, seperti Politik, Etika Nikomakaen. Pemikirannya juga berpijak pada tradisi Eksegetis teks-teks antikuitas muda dan teks-teks Abad Pertengahan. Sementara itu, pemikir yang banyak memengaruhi Agamben adalah Martin Heidegger, Walter Benjamin, Michel Foucault, dan sebagainya.
Politik Modern: “Awan Gelap Tanpa Henti”
Salah satu karya utama Agamben, yakni Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1998). Agamben terinsipirasi dari pembacaannya atas pemikiran filsafat klasik, sehingga ia membedah istilah zoe (istilah ini mengacu kepada sekedar keadaan hidup, seperti binatang, orang dan sebagainya) dengan istilah bios (istilah ini digunakan untuk menyebut bentuk atau cara hidup yang khas pada seorang individu atau kelompok).
Dengan kata lain, istilah zoe ini merujuk kepada kehidupan alamiah, sementara istilah bios secara eksplisit merujuk kepada bios politikos yang dipahami sebagai kehidupan politis (polis).
Dengan merujuk Hannah Arendt, Agamben merefleksikan bahwa pengutamaan pada zoe dan diremehkannya bios (tindakan politik) inilah pangkal masalah mengapa politik modern mengalami dekadensi.
Agamben juga mengembangkan pemikiran Foucault tentang biopolitik untuk menunjukkan bahwa masuknya zoe ke dalam wilayah polis sebagai politisasi kehidupan telanjang menjadi faktor penentu modernitas. Oleh karena itu, Agamben beranggapan “Politik zaman sekarang melewati kegelapan gerhana tanpa henti”. Sebagai catatan, kehidupan telanjang sendiri dipahami Agamben sebagai zona transisi terus-menerus antara kehidupan alamiah dan kehidupan politis.
Dengan mengikuti saran Foucault dan Walter Benjamin, Agamben beranggapan harus ada refleksi yang secara tematik mempertanyakan ikatan antara kehidupan telanjang dan politik.
Sovereign Power dan Paradoksnya
Bagi Agamben sendiri, dimasukkannya kehidupan telanjang dalam dunia politik merupakan inti dari sovereign power (kekuasaan yang berdaulat), meski inti itu tersembunyi. Oleh karena itu, Agamben berkesimpulan bahwa munculnya suatu badan biopolitik adalah aktivitas permulaan dari sovereign power.
Dengan mengutip Carl Schmitt, Agamben menulis bahwa yang disebut sebagai soverignty yaitu bahwa penguasa adalah orang yang membuat keputusan atas dasar eksepsi. Dengan mengikuti Schmitt, Agemben berpendapat bahwa terdapat paradoks dalam sovereignty, karena ia dapat berada di luar dan di dalam tataran yuridis sekaligus. Perlu dipertagas di sini, bahwa soverignty sendiri merupakan kekuasaan yang tidak tertandingi karena menempatkan diri sebagai representasi seluruh rakyat.
Agamben menjelaskan, bahwa soveregnty memiliki kekuasaan hukum untuk membatalkan validitas hukum. Dengan kata lain, paradoks tersebut dirumuskan seperti ini “hukum berada di luar hukum itu sendiri” atau “aku, sang soveregnty yang berada di luar hukum, menegaskan bahwa tidak ada apapun yang berada di luar hukum”.
Artinya, soveregnty ini bisa membatalkan (menangguhkan) suatu hukum justru dengan hukum itu sendiri dengan eksepsi. Atas nama normalisasi ‘keadaan darurat’, soveregnty bisa mengambil alih tugas legislatif dan yudikatif, dan bisa melakukan kekerasaan. Dalam konteks ini, Agamben menggambarkan sebenarnya rezim demokrasi itu membentuk kontinuitas dengan rezim totalitarianisme. Di sinilah letak keunikan dari pemikiran Giorgio Agamben tersebut.
Kamp dan Homo Sacer
Agamben sudah berada pada tahap yang sangat sinis dalam memandang politik modern. Baginya, telah terjadi transformasi secara radikal atas politik karena telah diubah menjadi kehidupan telanjang. Agamben (1998) menulis “Hanya karena politik zaman kita telah seutuhnya diubah menjadi biopolitik, maka politik menjadi mungkin dikonstitusi menjadi politik totaliter hingga taraf yang tidak diketahui”.
Agamben pun menyebut bahwa masyarakat yang hidup dalam politik modern layaknya berada dalam “kamp konsentrasi” karena mengharuskan mereka tunduk secara total pada sovereign. Konsep Kamp di sini tidak hanya merujuk kepada pengertian literal, tatapi juga pada keadaan di mana manusia menjadi semata-mata tubuh ragawi tanpa identitas politik, tanpa perlindungan hukum sehingga secara langsung dapat terpapar oleh kekerasaan. Sebab itulah Agamben menyebut masyarakat layaknya homo sacer.
Konsep homo sacer berasal dari tradisi hukum Romawi. Homo sacer sendiri merujuk kepada pengertian bahwa seseorang sudah dilucuti haknya sebagai warga polis. Sebab itu, seseorang tersebut dapat dibunuh dengan impunitas, akan tetapi pembunuhan homo sacer tersebut tidak bisa juga untuk dijadikan sebagai wujud dari persembahan (ritual-ritual sakral).
Implikasi dari Cara Pandang Agamben
Dengan campur aduknya zoe dan bios, menyebabkan demokrasi modern pun menghasilkan kehidupan telanjang (transisi terus menerus dari zoe ke bios), artinya dalam proses tersebut, kita rentan mengamali kekerasaan dari sovereign, karena tentunya kita mendapat jaminan perlindungan hukum itu dalam konteks karena status kita sebagai bios politika (sebagai warga polis yang dijamin oleh hukum negara), sementara itu atas nama ‘keadaan darurat’, sosok sovereign bisa menagguhkan hukum dengan eksepsi. Artinya, Agamben beranggapan bahwa kita semua rentan menjadi homo sacer.
Mengutip Agus Sudibyo dalam buku Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben (2019), dijelaskan bahwa Agamben mengemukakan 3 tesis dalam buku Homo Sacer tersebut, yakni: 1). Hubungan politik yang asali antara negara dan warga negara bukanlah perlindungan atau pelayanan, melainkan penelantaran; 2). Tindakan fundamental negara sebagai sosok kekuasaan berdaulat adalah menghasilkan hidup telanjang sebagai elemen politik asali dan sebagai ambang batas bagi perbedaan antara keadaan alamiah dan keadaan beradab, antara zoe dan bios; 3). Saat ini bukan ruang publik politik atau masyarakat berkeadaban (city) yang menjadi paradigma biopolitik kehidupan masyarakat, melainkan kamp.
Pemikiran Agamben dalam Konteks Indonesia
Dalam lanskap sejarah politik Indonesia, pemikiran Agamben jelas menemukan relevansinya dalam konteks negara Orde Baru. Kekuasaan Orde Baru bahkan dimulai dari ‘keadaan darurat’, di mana hukum kemudian ditangguhkan sehingga terjadi genosida terhadap orang-orang kiri (ataupun yang tertuduh kiri). Sudah barang tentu, orang-orang kiri saat itu diperlakukan sebagaimana homo sacer. Lalu bagaimana dengan era reformasi?
Sosok Homo sacer itu bisa kita temui dalam realitas kelompok minoritas. Beberapa contoh misalnya, yakni permasalahan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Status warga negara masyarakat Sunda Wiwitan, yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan hukum untuk menjalankan segala aktivitas peribadatannya, justru ditangguhkan oleh pemerintah setempat sehingga terjadi diskriminasi yang sistemik.
Tentu kita bisa menafsirkan bahwa hal itu terjadi karena ‘keadaan darurat’, bahwa semisal aktivitas ritual masyarakat Sunda Wiwitan berjalan bisa menghadirkan gesekan sosial karena dikhawatirkan mengganggu kepercayaan kelompok mayoritas.
Sudibyo (2019) pun mencatat mengenai diskrimanasi-diskrimasi terhadap kelompok minoritas secara umumnya, seperti kelompok penghayat yang dipersulit dari birokrasi, akses terhadap pelayanan publik, dan sebagainya.
Selain itu, Kelompok Ahmadiyah pun rentan terpapar kekerasan, sehingga Sudibyo (2019) menyebut bahwa “Hukum menangguhkan diri dan berada dalam status nonoperasional justru pada saat dibutuhkan operasionalitasnya, pada saat terjadi kekerasaan warga negara terhadap warga negara yang lain. Dalam konteks keadaan pengecualian Agamben (eksepsi), hukum di sini menyerap sekaligus mengabaikan warga. Menyerap dalam pengertian menjadikan warga Ahmadiyah sebagai objek pemberlakukan hukum: harus menaati kehendak pemerintah dan patuh terhadap hukum. Mengabaikan dalam pengertian menempatkan mereka di luar radar perlindungan dan pelayanan hukum, terutama sekali ketika mereka menjadi sasaran kekerasaan”.
Bila membaca realitas tersebut, maka tesis Agamben tentang ‘penelantaran’ menemukan relevansinya dalam konteks hubungan negara dengan kaum minoritas. Apa yang saya kemukakan tersebut, sejalan juga dengan pendapat Agus Sudibyo, bahwa tesis Agamben yang menyatakan “Hubungan politik yang asali adalah penelantaran”, memang relevan untuk menjelaskan hubungan pemerintah Indonesia dengan warga penghayat kepercayaan atau kebatinan, di mana mereka terserap dalam tatanan negara hukum Indonesia sekaligus terkecualikan. Mereka menyandang status warga negara, tetapi tidak diperlakukan seperti warga negara pada umumnya”.
Tanggapan untuk Pemikiran Politik Agamben
Saya memandang bahwa pemikiran Agamben terlalu ekstrim dalam mengkritik demokrasi yang menyebut inheren dengan totalitarianisme. Hal yang lebih sesuai, yakni menjadikan normalisasi keadaan darurat sebagai sebuah potensi yang bisa membahayakan kehidupan demokrasi, dan bukan sebagai esensial.
Sudibyo (2019) pun menulis “Normalisasi keadaan darurat semestinya tidak diletakkan sebagai pondasi atau aturan dari tatanan politik sebagaimana posisi Agamben. Normalisasi keadaan darurat adalah suatu potensialitas kontinjen dalam tatanan politik (hlm.26). Artinya, normalisasi keadaan darurat tersebut hanya menjadi bahaya terselubung dalam kehidupan demokrasi. Oleh karena itu, kritik radikal Agamben perlu menjadi semacam ‘peringatan’ bagi kehidupan demokrasi di negara kita. Sudibyo menulis “Potensialitas peneyelenggaraan kekuasaan darurat, tidak secara niscaya teraktualisasi dalam kenyataan”.
Selain itu, dalam rezim demokrasi, masih memungkinkan buat terbukanya perjuangan warga untuk megafirmasikan kesetaraan, melakukan kritik-kritik terhadap ketidakadilan, baik dengan partisipasi politik konvensional maupun non-konvensional, suatu hal yang tidak bisa kita lakukan dalam rezim totaliter.