Tawaf adalah ibadah mengelilingi Ka’bah dimulai dari hajar aswad dan berakhir di hajar aswad sebanyak tujuh kali. Kita harus dalam keadaan berwudhu layaknya kita shalat, jadi tidak boleh lepas dari wudhu. Terdapat empat sisi yang harus dilewati dengan sudut-sudut rukun iraqi, rukun syami, rukun yamani dan rukun hajar aswad.
Rukun iraqi menunjukan arah ke wilayah Iraq, kemudian rukun syami mengarah pada daerah Damaskus atau Syiria. Adapun rukun yamani menuju arah wilayah Yaman, suatu tempat ribuan kilometer ke selatan dari semenanjung Arab. Terakhir rukun hajar aswad yang ditandai dengan sebuah batu yang Allah kirim dan diletakan antara rukun yamani dan rukun iraqi.
Sewaktu peletakan pada dinding Kabah, Rasulullah dipercaya semua suku di Makkah untuk memimpin bagaimana metodenya. Dengan cerdasnya beliau mengusulkan agar semua pimpinan suku untuk mengangkat bersama-sama yang diletakan di atas sehelai sorban. Maka sampailah hajar aswad terpasang seperti sekarang yang kita lihat. Sebagian ulama kita mengatkan bahwa hajar aswad sebagai lambang persatuan masyarakat kota Makkah.
Ke empat sisi dan rukun yang ada pada bangunan ka’bah merupakan arah yang sah ketika kita melaksanakan shalat. Kita bisa shalat menghadap rukun hajar aswad, juga bisa menghadap rukun iraqi, rukun syami dan rukun yamani. Tidak ada perintah yang mengatakan hanya menghadap salah satu sisi saja, atau hanya ke satu rukun pada bangunan ka’bah. Oleh karena itu, ketika shalat jamaah di Masjidil Haram, maka orang-orang mengelilingi ka’bah ibarat membentuk lingkaran menuju satu poros sebuah bangunan yang ada sejak jaman Nabi Ibrahim.
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa Allah itu ada di mana-mana kemanapun kita menghadap. Di barat ada Dia, di timur ada juga bahkan pada seluruh penjuru angin. Begitu pula, Allah ada di New York, Tokyo, Dubai, Andalusia, Johannesburg, Jakarta dan semua wilayah di dunia ini. Seperti bunyi ayat di bawah ini:
“Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 115)
Dari ulasan di atas menjelaskan bahwa ka’bah mengandung makna filsafat dari ketiga cabang ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara ontologi memang benar ka’bah ada dari wujud-Nya yang berbentuk kubus bertempat di kota Makkah. Hal ini tidak dapat didebat lagi bahwa ka’bah dapat dikunjungi oleh umat Islam sewaktu musim haji dan umrah.
Kemudian secara epistemologi dapat dijelaskan dengan keilmuan yang sistematis dapat diterima dengan argumen-argumen yang make sense. Semua orang tahu sejarah Nabi Ibrahim membawa Siti Hajar ke kota Makkah dan bagaimana sa’i dilakukan dari bukit Shafa ke Marwa yang tidak terbantahkan. Dapat dilihat juga pada literatur-litetatur akademik di kampus, perpustakaan baik di Eropa dan Amerika.
Dan, secara aksiologi memberikan banyak nilai kepada kita, bukan hanya untuk umat Islam bahkan untuk seluruh penduduk dunia. Antara lain nilai ibadah kepada Allah dari tawaf dan nilai kerja keras dari proses sa’i.
Insya-Allah dengan memahami filsafat, maka kita dapat memaknai secara batin ka’bah sebagai bangunan. Di mana itu hanya pemersatu arah agar kita tertib, adapun keberadaan-Nya lebih dekat dari urat leher yaitu ada di dalam hati seorang mukmin.