Selama dua dekade terakhir, diskursus mengenai tradisi yurisprudensi Islam modern telah mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Para sarjana dan ahli hukum Islam yang sebelumnya berfokus pada perdebatan normatif terkait otoritas legal dari teks-teks keagamaan mulai memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan epistemologis mengenai bagaimana hukum Islam dapat beroperasi dalam kehidupan moral dan struktur politik modern yang plural. Dalam konteks demikianlah, karya Mohammad H. Fadel—seorang guru besar di Fakultas Hukum, University of Toronto—yang berjudul Islamic Jurisprudence, Islamic Law, and Modernity (2023) menempati posisi yang sangat krusial. Sekalipun merupakan antologi yang menghimpun riset-riset utama Fadel, saya menilai bahwa buku ini merupakan refleksi sistematis terhadap proyek intelektual Fadel: rekonstruksi tradisi yurisprudensi Islam sebagai rasionalitas politik sekaligus visi moral yang kompatibel dengan zeitgeist (semangat zaman) modernitas—demokrasi liberal, kesetaraan gender, dan ekonomi pasar—tanpa harus menanggalkan fondasi religiusnya.
Alih-alih menerimanya sebagai sistem teologis yang tertutup, Fadel justru berusaha untuk membaca kembali warisan yurisprudensi Islam, yaitu fiqh dan usul al-fiqh, sebagai sumber rasional yang memiliki daya teoretis maupun praksis dalam mendukung prinsip self-government under law; suatu bentuk tata kelola atau pemerintahan mandiri yang didasarkan pada prinsip, maksim, dan aturan hukum. Buku ini memuat tiga belas artikel yang terbagi ke dalam empat bagian besar: Islamic Law and the State, Islamic Jurisprudence, Islamic Law, Gender, and the Family, serta Islamic Law and the Market. Dalam ulasan ringkas ini, saya hendak menunjukkan bahwa keempat bagian dari buku Fadel saling bertaut satu sama lain dan membentuk satu argumen besar: hukum Islam, apabila dibaca secara kreatif dari dimensi epistemologis dan politisnya, menyimpan potensi internal untuk menavigasi kondisi modernitas tanpa mengharuskannya untuk tunduk sepenuhnya pada horizon liberalisme Barat. Bersama Fadel, kita akan melihat bahwa reformasi hukum Islam bukanlah produk dari, atau dideterminasi oleh, proses “westernisasi”, melainkan merupakan ekspresi internal dari rasionalitas diskursif Islam itu sendiri.
Dari Teologi ke Rasionalitas Politik
Fadel memulai ulasannya dengan menolak dikotomi klasik antara wahyu dan rasio; suatu bentuk dikotomi yang relatif masih dipreservasi oleh sejumlah kalangan hingga saat ini. Pada bab pertama, “Nature, Revelation, and the State in Pre-modern Sunni Thought,” ia menelusuri bagaimana para teolog dan ahli hukum dalam tradisi Sunni klasik, seperti al-Ghazālī, al-Māturīdī, dan al-Qarāfī, membangun suatu sistem hukum yang strukturnya bertumpu pada, dan amat ditentukan oleh, hubungan timbal balik antara akal, wahyu, moralitas publik, dan politik yang berkeadilan. Wahyu, dalam rumusan sarjana Muslim pra-modern, bukanlah teks beku yang menyingkirkan akal, melainkan merupakan horizon yang membentangkan rasionalitas bagi kultivasi moral publik. Pendek kata, pembacaan kreatif Fadel terhadap tradisi Islam klasik mengeksplisitkan bahwa reason dan revelation sama sekali tidak berlawanan, melainkan saling menopang satu sama lain dalam tatanan sosial-politik umat.
Menurut Fadel, ulama-ulama klasik telah mengembangkan apa yang ia sebut public reason of revelation; sebuah modus nalar publik berbasis wahyu yang memungkinkan hukum Islam bekerja sebagai suatu sistem deliberatif di tengah pluralitas tafsir dan diversitas moral. Dalam ungkapan lain, penalaran publik terhadap wahyu adalah suatu bentuk rasionalitas moral yang bersumber dari titah Ilahi, namun pada saat yang sama tetap dapat dipertanggungjawabkan status epistemik-etisnya secara publik. Dengan itu, Fadel hendak mengeksplisitkan bahwa hukum Islam bukanlah sistem teokratis yang tertutup, melainkan merupakan rasionalisasi politik yang terbuka terhadap wahyu Tuhan. Tidak berlebihan jika saya tuliskan bahwa apa yang ditawarkan Fadel berhasil membalik asumsi esensialis para orientalis klasik (seperti J. Schacht atau N.J. Coulson) yang melihat fiqh secara simplistik sebagai tidak lebih dari sekadar “hukum sakral yang tidak mungkin dapat berubah.” Kontras dengan itu, Fadel menunjukkan bahwa hukum Islam adalah arena diskursif yang dinamis, di mana para sarjana Muslim memperdebatkan arti, variabel, dan implementasi dari keadilan, kemaslahatan, serta kebaikan publik secara dialektis dan rasional.
Poin yang menarik untuk saya kemukakan di sini adalah bahwa Fadel menolak pandangan konvensional yang memisahkan dengan tegas antara konsep negara dari tradisi hukum Islam, seperti yang dikemukakan oleh Wael B. Hallaq. Dalam The Impossible State dan Shari‘a: Theory, Practice, Transformations, Hallaq menilai bahwa hukum Islam tidak dapat direkonsiliasi dengan gagasan negara modern. Sebab, modernitas itu lahir dari permusuhan terhadap agama, dan dengan demikian, akan mencabut syariah dari struktur etika dan komunitas Muslim. Fadel merekognisi akurasi diagnosis Hallaq tentang kerusakan etika modern, tetapi menolak kesimpulannya. Ia berargumen bahwa rasionalitas liberal bukan musuh Islam seperti yang disangka Hallaq, mengingat bahwa nilai-nilai seperti keadilan, tanggung jawab sipil, dan kebebasan kolektif sudah inhern dalam tradisi yurisprudensi Islam. Jika Hallaq melihat modernitas sebagai rupture, Fadel melihatnya sebagai peluang untuk merealisasikan maqāṣid secara politis sekaligus mewujudkan ruang publik yang etis.
Fadel menunjukkan bahwa dalam tradisi fiqh pra-modern, para fuqaha memahami pejabat publik bukan sebagai penguasa absolut di luar syariah, melainkan sebagai agen dan fiduciary yang memikul amanah umat untuk merealisasikan keadilan dan kemaslahatan. Atas dasar itu, Fadel menegaskan bahwa negara bukanlah entitas sekuler yang otonom dari hukum Islam, atau bahkan memusuhi Islam, namun merupakan wadah politik bagi kebebasan kolektif komunitas untuk mengejar kebaikan bersama (the common good/maqāṣid al-sharī’ah) melalui mekanisme hukum positif sekaligus partisipasi aktif warga. Oleh karenanya, konstruk negara tidak perlu dipandang sebagai penyimpangan dari syariah. Sebaliknya, ia adalah manifestasi konkret dari prinsip self-government under law; prinsip yang telah dihidupi secara historis dan diejawantahkan dalam ruang sosial-politis oleh komunitas Muslim.
Dalam upayanya untuk mensituasikan tradisi yurisprudensi Islam ke dalam horizon modernitas, Fadel mengembangkan suatu pendekatan teoretis yang banyak inspirasi dari filsafat politik John Rawls, terutama dalam Political Liberalism. Secara khusus, Fadel menggunakan Rawlsian approach untuk meneropong hukum Islam secara politis, bukan secara teologis ataupun normatif. Ia membaca bahwa hukum Islam sebenarnya merupakan public reason dalam konteks masyarakat Muslim; suatu sistem argumentasi publik yang memungkinkan komunitas Muslim, dengan latar keimanan dan praktik keagamaan yang majemuk, untuk berpartisipasi secara aktif dalam deliberasi politik tanpa kehilangan komitmen religiusnya. Kita dapat melihat pergulatan epistemik Fadel sebagai bagian dari usaha intelektual yang serius untuk mencari common platform antara pluralisme moral dan hukum Islam, baik dalam konteks maysarakat Muslim maupun dalam negara sekuler. Dengan demikian, epistemologi hukum Islam, bagi Fadel, tidak hanya terbatas pada hal-hal teologis dan metafisis, melainkan mencakup dimensi politis dan etis sekaligus.
Hukum Islam dan Negara: Demokrasi sebagai Ijtihad Kolektif
Dalam “Islamic Law Reform: Between Reinterpretation and Democracy,” Fadel menawarkan kritik tajam terhadap dua arus besar reformasi hukum Islam modern. Di satu sisi, kelompok modernis yang menekankan reinterpretasi teologis terjebak pada penekanan yang berlebihan terhadap aspek metafisis dari moralitas; suatu pendekatan yang mengandaikan bahwa hukum Islam harus diturunkan dari, dan tidak boleh dipisahkan dengan, prinsip moral ketuhanan yang universal. Sementara di sisi lain, pendekatan sekuler-liberal justru menyingkirkan syariah dari ruang publik dengan alasan bahwa ruang publik modern yang rasional, baik secara etis maupun politis, harus steril dari narasi, wacana, dan bahasa agama.
Apa yang digagas oleh Fadel ini, bagi saya, merupakan model alternatif bagi pendekatan reformasi hukum Islam “top-down” (berbasis nilai moral abstrak) dari Khaled Abou El Fadl. Sebagaimana yang kita ketahui, Abou El Fadl di berbagai karyanyam seperti Reasoning with God dan Qur’anic Ethics and Islamic Law, mengusulkan konsep moral beauty (etika keindahan) sekaligus memandang bahwa hukum Islam merupakan ekspresi keadilan dan keindahan Ilahi. Menurutnya, reformasi hukum mesti bertolak dari prinsip moral transendental (top-down moral reasoning). Kendatipun mengapresiasi dimensi moral tersebut, Fadel melihat bahwa pendekatan semacam ini terlalu voluntaristik.
Dengan tegas, Fadel menolak pengandaian bahwa moralitas dapat diderivasi secara langsung dari Tuhan tanpa melewati proses mediasi epistemik di level sosio-antropologis. Fadel lantas mengajukan alternatif jalan ketiga: reformasi hukum Islam melalui proses dan partisipasi demokrasi, bukan dengan melawannya. Legislasi modern, dalam pandangannya, tidak bertentangan dengan syariah, melainkan merupakan bentuk ijtihad kolektif (collective reasoning) dari komunitas politik Muslim itu sendiri. Dengan kata lain, demokrasi adalah mekanisme epistemik bukan untuk proses sekularisasi, namun untuk konsensus publik yang rasional. Bertolak dari konsep public reason under Shari’a, Fadel membuka ruang deliberatif di mana norma Islam dan norma rasional modern dapat saling berinteraksi. Fadel kemudian berargumen bahwa nilai-nilai moral Islam—keadilan, cinta, dan kesetaraan—hanya dapat diwujudkan melalui praktik politik deliberatif di mana berbagai nilai tersebut diuji melalui rasionalitas publik.
Maka dari itu, reformasi hukum yang ideal dibangun bukan berdasarkan reinterpretasi metafisis atas teks, melainkan melalui rasionalitas politik yang telah melewati proses uji rasional oleh masyarakat sipil secara kolektif di ruang publik. Reformasi semacam ini oleh Fadel diartikulasikan sebagai reformasi bottom-up, yakni suatu format dan strategi reformasi hukum yang muncul dari pergulatan epistemik-hermeneutik yang dialektis dan demokratis dari masyarakat terhadap tradisi yurisprudensi Islam berikut konteks aktual di mana mereka hidup, bukan dari abstraksi moral di luar kesejarahan mereka. Agar tetap relevan dengan kehidupan modern, terutama bagi komunitas Muslim, hukum Islam mesti direkonstruksi sebagai suatu sistem rasional yang kompatibel dengan prinsip self-government dan deliberative democracy.
Sebagai upaya menerjemahkan rumusan teoretis di atas, Fadel juga mengembangkan gagasan hukum minoritas ke dalam dua arah yang saling berkaitan dalam artikel Fiqh al-Aqalliyyāt and the Rights of Non-Muslim Minorities. Pertama, bagi komunitas Muslim yang hidup sebagai minoritas di negara-negara Barat, fiqh harus mampu beradaptasi dengan sistem hukum liberal agar dapat menjamin loyalitas kewargaan (civic loyalty) tanpa harus mengorbankan integritas keagamaannya. Kedua, prinsip yang sama berlaku secara timbal balik bagi non-Muslim yang hidup di negara mayoritas Muslim: mereka pun berhak atas perlindungan hukum dan hak-hak sipil yang setara sebagai bagian dari komitmen etis Islam terhadap keadilan publik.
Dengan bertumpu pada teori maqāṣid al-sharīʿa, Fadel menegaskan bahwa keadilan dan perlakuan setara terhadap non-Muslim bukanlah bentuk kompromi terhadap nilai-nilai liberal, melainkan merupakan kelanjutan logis dari struktur normatif hukum Islam itu sendiri, yang norma-normanya telah lama menjunjung tinggi prinsip kemaslahatan dan kesetaraan moral seluruh manusia. Melalui argumen ini, Fadel hendak mempresentasikan kapasitas inklusif syariah sekaligus kompatibilitasnya dengan gagasan pluralisme kewargaan modern. Hal tersebut semakin menggambarkan bahwa Islam memiliki sumber daya internal untuk menopang tatanan masyarakat yang demokratis dan plural tanpa harus melebur ke dalam paradigma sekularisme Barat.