COP Biodiversitas ke-16 (Convention on Biological Diversity (CBD)) baru saja berlangsung di Kota Cali, Kolombia. Setiap dua tahun sekali, 196 negara anggota konvensi ini membuat kesepakatan perlindungan ekosistem di bumi. Pelaksanaan COP CBD di Cali kali ini terasa spesial. Selain Kolombia dikenal sebagai salah satu negara dengan biodiversitas terkaya, ada yang jarang dibahas: COP 16 ini menjadi pengingat bagi nenek moyang masyarakat asli Amerika yang telah menjaga harmoni dengan bumi sebagai bagian dari keyakinan samawi mereka selama berabad-abad.
Pertemuan Tak Terduga dengan Sang Antropolog
Setelah sekitar 14 hari menghabiskan waktu di Cali untuk mengikuti negosiasi perlindungan biodiversitas secara intens, satu hari sebelum kembali ke tanah air, saya mencoba mengunjungi salah satu masjid di Kota Cali. Menggunakan aplikasi Uber, hanya dalam 10 menit saya tiba dari hotel tempat saya menginap. Masjid tersebut terlihat usang dan kurang terawat, dengan papan nama: Centro Islamico de Cali – An-Nur. Masjid tampak terkunci rapat. Bentuknya lebih mirip rumah, tidak seperti masjid dengan pintu kaca seperti di Indonesia. Saya mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Setelah sekitar 10 menit, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan peci di kepala membukakan pintu.
“Assalamualaikum,” sapaku.
“Walaikum salam, Anda muslim?” tanyanya.
“Iya.”
“Dari mana?”
“Indonesia,” jawabku.
“Mari masuk.”
Setelah shalat Ashar, saya berbincang dengan pria yang menyambut saya. Namanya, Ortiz Del Solar Al-Faruq, atau dipanggil Faruq, mengaku sebagai sejahrawan, antropolog dan penulis. Apa yang ia ceritakan membuat mata saya berbinar sepanjang tiga jam. Faruq memulai kisahnya dengan mengatakan bahwa monoteisme bukan hanya datang dari Timur Tengah; ribuan tahun lalu, orang-orang di Benua Amerika sudah menjadi penganutnya. Bahkan, bukan tidak mungkin di tanah Amerika ini pernah ada nabi-nabi (QS. An-Nahl [16]: 36). Saya pun memperbaiki posisi duduk dan melancarkan pertanyaan-pertanyaan padanya.
Monoteisme di Tanah Latin Sebelum Datangnya Bangsa Eropa
Syair di atas merupakan satu dari doa-doa dan syair yang Faruq dokumentasikan dalam bukunya yang berjudul Monoteismo y Profecía en el Hemisferio Preamericano. Selama kurang lebih 20 tahun, Faruq melakukan riset dan menulis tentang praktik monoteisme di tanah Amerika. Faruk terpesona dengan spiritualitas orang-orang asli Amerika yang didasarkan pada nilai nilai monoteisme, tercermin dalam hubungan mereka dengan alam. Sambil memandang langit, Faruk menambahkan dengan antusias, “Sebelum menebang pohon, orang-orang asli Amerika selalu berdoa memohon ampunan dan mengucapkan terima kasih atas kehidupan yang diberikan alam.”
Faruq menjelaskan bahwa sebelum kedatangan agama Kristen, kepercayaan orang asli masih terpelihara. Kedatangan orang-orang Spanyol dengan slogan 3G-nya—gold, glory, dan gospel—membumihanguskan nilai-nilai asli Indian di Amerika Selatan. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kondisi orang asli di Amerika Utara, yang kebudayaannya masih relatif terjaga disebabkan penjajahan di wilayah tersebut lebih berfokus penguasaan lahan yang pada akhirnya membumihanguskan penduduk asli beserta nilai-nilainya.
Orang asli seringkali digambarkan kejam dalam berbagai film-film Hollywood misal Apocalypto. Menurut Faruq, memang ada praktik kekerasan di antara suku-suku, sama halnya dengan era modern di mana ada umat beragama yang ekstremis, fanatik, atau moderat. Namun, sebagaimana digambarkan Amartya Sen, dalam Violence and Identity, suatu kelompok terlalu kecil untuk diasosiasikan dengan identitas tertentu. Faruq menekankan bahwa masyarakat asli Tanah Latin punya kecerdasan luar biasa, dimulai dari kecerdasan spiritual kemudian intelektual. Hal ini tercermin dalam kemajuan arsitektur dan astronomi mereka jauh sebelum lahirnya Isa Al-Masih di Abad 0. Machu Picchu di Peru menjadi saksi sejarah kecerdasan masyarakat asli Amerika.
Islam dan Spiritualitas di Amerika Latin
Faruq melanjutkan ceritanya tentang komunitas Muslim di Cali, yang hanya berjumlah sekitar 35 orang dari total 200.000 penduduk kota tersebut. Namun, diskusi kami bukan tentang Islam di Cali, melainkan tentang perjalanan spiritual Faruq sendiri dalam mempelajari monoteisme. Melalui risetnya, ia menemukan bahwa hampir setiap suku asli di Amerika memiliki konsep Tuhan yang satu, yang serupa dengan konsep monoteisme. Doa-doa mereka memiliki kemiripan dengan sajak-sajak Jalaluddin Rumi, ulama abad ke-13, yang mengandung pesan universal yang menembus sekat-sekan budaya.
Faruq percaya bahwa Islam adalah agama alam semesta, dan bahwa setiap nabi membawa pesan yang relevan dengan daerahnya masing-masing, termasuk di tanah Latin Amerika. Menurut Faruq, Nabi Muhammad SAW adalah penutup dari para nabi, yang melanjutkan pesan Tuhan yang telah dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, termasuk di Amerika.
Menghargai Alam dengan Rasa Syukur
Faruq menulis dan bertani, dan ia merasakan bahwa beraktivitas dengan alam seperti bertani membuatnya lebih dekat dengan Sang Pencipta. Dari situ, kami bertukar pikiran tentang bagaimana para filsuf besar seringkali memiliki kecerdasan spiritual yang kita asosiasikan dengan praktik hidup dekat dengan alam, seperti halnya Heidegger, filsuf dari Jerman, yang berupaya memahami esensi keberadaan dengan menjalani hidup autentik di dekat alam. Ritual dan kedekatan dengan alam, menurut Faruq, adalah jalan menuju the divine within.
Walaupun kami berkomunikasi sebagian besar melalui gerakan tubuh karena bahasa Spanyol saya yang buruk dan Faruq pun kurang fasih berbahasa Inggris, syukurnya kami bisa saling mengerti. Ada pengalaman rasa yang kadang tidak perlu dijelaskan dengan bahasa, karena kami bisa langsung memahaminya.
Pertemuan tak terduga dengan marbot sekaligus antropolog Bernama Faruq memberikan perspektif baru tentang bagaimana hubungan spiritual yang dalam dengan alam yang dimiliki masyarakat asli Amerika bertautan dengan kepercayaan monoteisme yang dianutnya. Mereka memegang tradisi untuk selalu meminta izin dan berterima kasih kepada alam sebelum mengambil atau mengubah sesuatu dari alam.
Bagi saya, COP16 di Cali bukan hanya soal kesepakatan politik terkait lingkungan, namun seakan menjadi panggung bagi ‘tarian’ universal akan cinta, sebagaimana yang dihayati oleh Rumi melalui syair-syairnya. Di tanah Cali, tarian spiritual ini seolah menemukan bentuknya kembali dalam harmoni dengan bumi yang dijaga dengan hati oleh masyarakat asli, dulu kala dan pelan-pelan kini?