Banyak orang yang menjawab bahwa mereka sedang mencari Tuhan ketika ditanya kemana saja mereka selama ini. Mereka merasa telah jauh dari Tuhan karena kesibukan bekerja dan aktivitas sehari-hari. Sebagai respons, mereka mungkin melakukan perubahan drastis dalam hidup mereka: berhenti bekerja, menarik diri dari pertemanan, keluar dari organisasi, bahkan meletakkan jabatan. Mereka lebih sering mengunjungi rumah ibadah, melaksanakan shalat berjamaah di masjid, menghadiri majelis taklim, dan mengikuti pengajian melalui podcast di media sosial. Mereka hampir tidak bersosialisasi dan sangat jarang berkomunikasi dengan masyarakat, seolah kehidupan mereka sepenuhnya terfokus pada urusan ukhrawi dan dunia ini dianggap bukan lagi tempat yang diharapkan.
Orang-orang seperti ini sering kali terjebak dalam pencarian mereka akan Tuhan. Mereka tidak menyadari bahwa Tuhan sebenarnya selalu lebih dekat dari urat leher mereka. Dengan kata lain, Tuhan sudah mendekat kepada hamba-Nya bahkan sebelum manusia mendekat kepada-Nya. Sebenarnya, antara Tuhan dan manusia tidak ada jarak. Namun, banyak orang tidak mempercayai hal ini meskipun para ulama telah menjelaskannya.
Mereka cenderung berpikir bahwa Tuhan berada jauh di atas, seperti di langit ketujuh atau sidratul muntaha, dan lupa bahwa Tuhan ada di mana-mana. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang mengatakan, “Kemana pun engkau menghadap, di situ ada wajah Allah.” Dalam proses tawaf, kita mengelilingi Ka’bah mulai dari Hajar Aswad, melewati Rukun Iraqi, hingga Rukun Syami, kembali ke Rukun Yamani, dan akhirnya kembali lagi ke Hajar Aswad. Dalam setiap sisi Ka’bah, kita menemui Tuhan. Begitu pula ketika shalat menghadap Ka’bah dari segala arah, kita tetap menghadap ke arah yang sama, menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa ada di mana-mana.
Lalu, mengapa kita masih mencari Tuhan padahal Dia tidak berjarak dengan hamba-Nya? Di sinilah muncul kesalahpahaman di antara umat Islam. Banyak yang berasumsi bahwa Tuhan berada di suatu tempat yang spesifik, terjebak dalam pemahaman bahwa Tuhan adalah materi yang bisa terlihat oleh mata. Akibatnya, mereka secara tidak langsung meragukan keyakinan bahwa Allah tidak berjarak dengan makhluk-Nya. Kekeliruan ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan dampak yang fatal.
Mulai sekarang, kita harus meyakini bahwa kemanapun kita menghadap, pasti ada Allah Swt. Tidak ada tempat di mana Dia tidak hadir. Namun, kehadiran Tuhan di sini bukanlah dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk cahaya—yaitu berupa taufiq (petunjuk), hidayah (jalan), dan inayah (kemudahan beribadah). Sesungguhnya, yang kita cari adalah cahaya Tuhan dengan cara menegakkan syariah, yaitu hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia).
Oleh karena itu, tugas kita adalah mencari cahaya-Nya. Allah akan memilih orang-orang yang benar-benar layak untuk mendapatkan cahaya tersebut, yaitu mereka yang gemar menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Akhirnya, keadaan kita akan selalu menyatu dengan Allah Swt, di mana cahaya-Nya sudah bersemayam dalam jiwa kita.
Fase ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh sufi Jalaluddin Rumi dari Konya, Turki, dalam salah satu puisinya: “Apa yang kau cari, sesungguhnya sedang mencarimu.” Allah Swt selalu menunggu hamba-Nya untuk mendekat kepada-Nya. Semoga kita termasuk dalam golongan yang mendapat taufiq, hidayah, dan inayah dari Allah Swt.