Al-Qusyairī: Kompromi antara Kalām dan Tasawuf

Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya tasawuf, nama Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm al-Qusyairī (w. 465/1072) sangat populer. Al-Risālah al-Qusyairiyyah fī Ilm al-Taṣawwuf, karyanya yang paling populer, tidak hanya menjadi manual sufi tapi juga karya kalām (teologi Islam) yang mendalam (Nguyen 2012). Al-Risālah menjadi tempat pertemuan antara doktrin Asy‘ariyyah dan visi transendental sufi, sekaligus memberi alternatif jawaban atas pertanyaan, bagaimana manusia mengenal Tuhan, memahami kehendak-Nya, dan menjalani kehidupan penuh makna dalam naungan imān-islām-iḥsān?

Tulisan sederhana ini ingin memberikan sedikit gambaran tentang kontribusi al-Qusyairī dalam merumuskan kalām yang tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga praktis bagi para pendaki jalan spiritual. Bagaimana kemudian al-Qusyairī memadukan ta’wīl dan refleksi tentang free will (kehendak bebas manusia) untuk membangun sistem teologis yang inklusif namun tetap berkelindan erat pada tradisi Asy‘ariyyah.

Jembatan antara Kalām dan Tasawuf

Al-Qusyairī lahir di Nishapur, Iran, pada abad ke-10, sebuah wilayah yang saat itu menjadi salah satu pusat intelektual dan spiritual Islam. Nishapur adalah rumah besar bagi para ulama seperti Abū Ḥāmid al-Ghazālī dan Abū Bakr al-Kalābażī, juga kota yang menjadi pusat penyebaran Asy‘ariyyah dan tasawuf. Konteks sosial-intelektual ini membentuk pemikiran al-Qusyairī yang unik; ia tidak hanya menyerap tradisi kalām Asy‘arī tapi juga terlibat langsung dalam praktik sufi melalui gurunya, Abū ‘Alī al-Daqqāq(Nguyen 2012).

Al-Qusyairī tidak sekedar ‘menggabungkan’ dua aliran pemikiran; kalām dan tasawuf, tapi secara aktif merekonstruksi teologi Asy‘ariyyah agar bisa menjadi pondasi bagi spiritualitas sufi. Ia menolak klaim bahwa tasawuf adalah khazanah Islam yang asing dari diskursus kalām (Nguyen dan Ingalls 2013; Ismail 2025). Dalam al-Risālah, ia menjelaskan bahwa konsep-konsep utama tasawuf seperti fanā (peleburan diri) atau ma‘rifah (pengenalan mendalam pada Tuhan) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kalām, tetapi justru memperkaya pemahaman tentang Tuhan dan manusia(Maghribi dan Hidayah 2023).

Salah satu sumbangan signifikan al-Qusyairī adalah penggunaan ta’wīl (penafsiran alegoris) untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang bersifat metaforis dan ‘ambigu'(Al-Qusyairī 2000). Al-Qusyairī mengembangkan metode yang lebih inklusif dibanding para teolog Asy‘ariyyah sebelumnya(Ismail 2025). Contohnya, ketika menjelaskan ayat-ayat tentang sifat Tuhan seperti istiwā (bersemayam) di atas singgasana, al-Qusyairī tidak memperdebatkan makna harfiah sebagaimana teolog Asy‘ariyyah radikal. Sebaliknya, ia menggunakan ta’wīl untuk mengarahkan pembacanya pada pemahaman simbolis bahwa istiwā bukanlah peristiwa fisik, tetapi representasi dari kekuasaan Tuhan yang melampaui batas ruang dan waktu. Pendekatan ini selaras dengan doktrin sufi yang menekankan makna batin daripada eksplorasi literal (Al-Qusyairī 2000; Nguyen dan Ingalls 2013).

Baca Juga:  Persiapkanlah Anak Cucu Kita dalam Menghadapi Dunia Baru!

Namun, al-Qusyairī tidak sepenuhnya meninggalkan konsep-konsep teologis. Ia tetap berpegang pada prinsip bi lā kaifiyyah (tanpa menanyakan bagaimana) yang menjadi ciri Asy‘ariyyah, tetapi memperluas dengan penegasan bahwa pemahaman alegoris harus didasarkan pada pengalaman spiritual para sufi. Bagi al-Qusyairī, ta’wīl bukan alat untuk menghindari teks, tetapi merupakan cara untuk mengakses ‘realitas yang tidak terkatakan’ yang menjadi poros dari pengalaman sufistik(Ismail 2025).

Epistemologi al-Qusyairī: Antara Iman, Ilmu, dan Marifat

Al-Qusyairī membangun hirarki pengetahuan yang membedakan antara īmān (kepercayaan), ‘ilm (pengetahuan rasional), dan ma‘rifah (pengetahuan intuitif). Baginya, iman adalah titik awal bagi semua mukmin, tetapi ma‘rifat -yang hanya bisa dicapai melalui latihan spiritual- merupakan puncak pemahaman tentang Tuhan. Ia mengatakan, “Ilmu para sufi pada awalnya diperoleh melalui usaha, tetapi pada akhirnya datang secara intuitif” (Al-Qusyairī 1966). Hirarki ini menolak pandangan mutakallim klasik yang seringkali membatasi pengetahuan teologis pada hasil debat rasional. Bagi al-Qusyairī, pengalaman mistik bukanlah hal yang irrasional, tetapi merupakan bentuk pengetahuan yang lebih tinggi karena melibatkan transformasi diri dan kedekatan emosional-spiritual dengan Tuhan.

Al-Qusyairī secara eksplisit memposisikan ma‘rifat sebagai domain para khawwā (orang-orang khusus/spesial), para sufi yang telah mencapai maqām tertinggi dalam hirarki maqāmāt (tingkatan-tingkatan sufi). Argumentasi ini menimbulkan kritik keras dari kelompok tradisionalis(Ibn Taimiyyah 1993; Maghribi 2024), yang menganggap klaim ini sebagai upaya ‘elitisme’ tasawuf. Namun, al-Qusyairi tetap bertahan pada argumen bahwa pemahaman tentang Tuhan tidak bisa dicapai hanya melalui logika, tetapi harus disertai praktik sufi seperti żikr, taubah, dan murāqabah (pengawasan diri).

Salah satu tema kalām yang kompleks adalah hubungan antara qadar (takdir) dan ikhtiyār (free will). Al-Qusyairī berusaha menyeimbangkan pandangan Asy‘ariyyah tentang predeterminisme dengan visi sufi yang menekankan pada tanggung jawab moral. Ia menolak determinisme mutlak yang menghilangkan peran manusia dalam memilih kebaikan. al-Qusyairī berargumen  bahwa meskipun Tuhan mengetahui segala sesuatu, manusia tetap memiliki kemampuan untuk bertindak berdasarkan kesadaran. Hal ini terlihat dalam konsep taqwā, yang bagi al-Qusyairī adalah merupakan hasil dari usaha manusia untuk menyelaraskan diri dengan kehendak Tuhan(Ismail 2025).

Baca Juga:  Apakah Nasionalisme itu Bid’ah?!

Meski demikian, al-Qusyairī juga mengakui batasan-batasan manusia. Dalam konteks sufi, ia memberi penekanan pada pentingnya tawakkul (menyerahkan diri kepada Tuhan) sebagai bentuk akhir dari pengakuan bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Hal ini menciptakan paradoks yang produktif; manusia bertanggung jawab atas tindakan mereka, tetapi keselamatan jiwa bergantung pada Rahmat Allāh.

Legitimasi Tasawuf dalam Kerangka Teologis

Salah satu tujuan utama dari al-Risālah adalah melegitimasi tasawuf sebagai khazanah keilmuan yang sah dalam Islam(Nguyen dan Ingalls 2013). Al-Qusyairī melakukannya dengan menggunakan dua strategi, pertama, integrasi dengan tafsir al-Qur’ān. Dalam karya tafsirnya, Laṭāif al-Isyārāt, al-Qusyairī mengkombinasikan tafsir linguistik dengan penjelasan sufistik tentang ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya, ketika menjelaskan surat al-Fātiḥah, ia mengaitkan setiap ayat dengan tahap perjalanan spiritual (ṭarīqah) menuju Tuhan(Nguyen 2012; Al-Qusyairī 2000). Kedua, Dialog dengan Asy‘ariyyah. Al-Qusyairī banyak mengutip pendapat ulama seperti al-Bāqillānī untuk menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tasawuf seperti tazkiyyah (penyucian jiwa) sejalan dengan doktrin kalām Asy‘ariyyah(Maghribi dan Hidayah 2023).

Al-Qusyairī tidak sekedar ‘menggunakan’ kalām untuk membenarkan doktrin tasawuf, tetapi justru mengembangkan teologi baru yang inklusif. Ia menolak klaim bahwa tasawuf adalah bidang yang terasing dari diskursus kalām, ia justru memposisikannya sebagai puncak dari pemahaman keagamaan.

Warisan yang Masih Relevan

Legacy al-Qusyairī tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks upaya membangun dialog antara īmān dan iḥsān, antara kalām dan tasawuf, antara teologi dan pengalaman sufi. Pendekatan yang holistik—tanpa pemisahan akal, hati, dan jiwa—menawarkan alternatif bagi polarisasi antara kelompok tradisionalis dan liberal di dunia Islam modern.

Al-Qusyairī melihat struktur doktrin Islam sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kedekatan dengan Tuhan. Ini berbeda dari kalām yang hanya fokus pada argumentasi rasional atau hukum formal. Baginya, teologi adalah jalan menuju transformasi diri, bukan sekedar alat untuk memenangkan perdebatan.

Baca Juga:  Umrah Terakhir, Wallah A’lam: Berharap Ka’bah Terbangun di Dalam Hati

Dari tulisan sederhana ini, disimpulkan bahwa al-Qusyairī adalah contoh ulama ‘langka’ yang mampu memadukan ketajaman intelektual dengan kepekaan spiritual. Melalui kitabnya al-Risālah, ia menunjukkan bahwa teologi dan tasawuf bukanlah dua dunia yang terpisah, tetapi dua sisi mata uang yang sama; upaya manusia untuk memahami Tuhan dan tempat mereka di alam semesta. Al-Qusyairī mengajarkan kepada kita bahwa iman tidak hanya tentang ketaatan penuh pada doktrin agama, tetapi juga tentang perjalanan batin menuju realitas yang melampaui batasan kata-kata.

Dalam dunia yang semakin terbelah oleh konflik ideologi dan materialisme, pesan al-Qusyairī tentang kesatuan pengetahuan, cinta, dan kerendahan hati tetap menjadi obor yang menerangi jalan menuju harmoni antara spiritual dan intelektual.

Bahan Bacaan

Al-Qusyairī, Abū al-Qāsim. 1966. Al-Risālah al-Qusyairiyyah. Diedit oleh ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd. Kairo: Dār al-Ta’līf.

———. 2000. Laā’if al-Isyārāt. Diedit oleh Ibrāhīm Al-Basiyūnī. Kairo: Hai’ah al-Kitāb.

Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm. 1993. Fiqh al-Taawwuf. Diedit oleh Zuhair Syafīq Al-Kabbī. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī.

Ismail, Badreldeen. 2025. Al-Qushayrī’s Teleological Theology. De Gruyter. https://doi.org/doi:10.1515/9783111692159.

Maghribi, Hamdan. 2024. Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Malang: Madani.

Maghribi, Hamdan, dan Alfina Hidayah. 2023. “Antara Salafi dan Sufi: Tasawuf menurut Ibn Taimiyyah dan al-Qusyairi.” TSAQAFAH: Jurnal Peradaban Islam 19 (2): 463–84. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v19i2.9618.

Nguyen, Martin. 2012. Sufi Master and Qur’an Scholar, Abu’l-Qasim al-Qushayri and the Lata’if al-Isharat. Oxford: Oxford University Press.

Nguyen, Martin, dan Matthew Ingalls. 2013. “Introduction: Al-Qushayrī and His Legacy.” Journal of Sufi Studies 2 (1): 1–6.

Previous Article

Gus Ulil Ngaji Jawahirul Qur’an: Menyelami Makna Surat Al-Fatihah

Next Article

Ketika Spiritualitas Bertemu Ketimpangan

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨