Dunia tasawuf dalam Islam memiliki banyak wajah, dari yang bersahaja hingga yang penuh ‘ekstasi’. Namun di antara sekian tokoh besar yang mengukir pemikiran dan praktik Sufi sejak abad awal Islam, nama al-Junaid al-Baghdādī (w. 910 M) berdiri sebagai salah satu pilar utama. Ia dikenal sebagai sayyid al-ṭā’ifah (pemimpin para sufi) sebuah gelar yang menunjukkan betapa kuat pengaruhnya dalam membentuk wajah spiritual Islam. Dalam esai ini, kita akan menelusuri dengan singkat kehidupan, pemikiran, serta warisan intelektual dan spiritual al-Junaid al-Baghdādī.
Baghdad dan Latar Sosial-Intlektual Abad ke-9
Untuk memahami al-Junaid, kita harus memahami konteks zamannya. Baghdad pada abad ke-9 bukan sekadar pusat kekhalifahan Abbasiyah, tetapi juga episentrum perdebatan teologis (kalām), hukum (fiqh), filsafat, dan spiritualitas. Di tengah kegemilangan dan ketegangan intelektual ini, muncul tradisi Sufi yang mulai menyusun fondasi etika, metafisika, dan metodologinya sendiri. Inilah dunia yang membentuk al-Junaid: sebuah dunia yang menuntut sintesis antara ortodoksi fiqh dan kedalaman tasawuf.(al-Sulamī 2003)
Al-Junaid hidup dalam era transisi dari bentuk asketisme awal (zuhd) ke sistem tasawuf yang lebih terorganisir. Para sufi sebelumnya seperti Ḥasan al-Baṣrī dan Ma‘rūf al-Karkhī dikenal karena kezuhudan ekstrem. Namun al-Junaid menyusun suatu sistem spiritual yang menggabungkan syariat, akal sehat, dan batin yang mendalam; menciptakan suatu tasawuf yang ‘waras’ dibanding bentuk tasawuf ekstatis seperti yang dianut Ḥallāj.(Al-Subkī and Al-Ṭanāḥī 1964)
Kehidupan dan Pendidikan
Dilahirkan di Baghdad sekitar tahun 835 M, al-Junaid berasal dari keluarga keturunan Persia yang telah menetap lama di kota tersebut. Ia diasuh oleh pamannya yang juga seorang sufi terkenal, Sarī al-Saqaṭī, yang memperkenalkannya ke dunia tasawuf. Ia belajar fiqh (hukum Islam) di bawah bimbingan para ulama besar seperti Abū Ṡaur al-Baghdādī. Hal ini memberinya pondasi kuat dalam ilmu syariat, yang kelak akan menjadi landasan tasawufnya yang berhati-hati dan terukur.(Al-Qusyairī 1966)
Tak seperti banyak sufi zamannya yang gemar mengembara, al-Junaid hampir sepenuhnya tinggal di Baghdad, mengajar, menulis, dan memimpin komunitas sufi. Ia memiliki banyak murid, termasuk tokoh seperti Abū Bakr al-Syiblī dan Abū Muḥammad al-Jurayrī, yang kemudian menjadi penerus pemikirannya.(Salamah-Qudsi 2025)
Dua Agenda al-Junaid: Kosmologis dan Praktikal
Pemikiran al-Junaid terbagi dalam dua dimensi: agenda kosmologis-mistik dan agenda etik-praktikal. Di satu sisi, al-Junaid mendalami tema-tema gnostik seperti waḥdah al-wujūd (kesatuan keberadaan), fanā’ (peleburan ego), dan ma‘rifah (pengetahuan batin tentang Tuhan). Namun di sisi lain, ia adalah seorang guru spiritual yang realistis; mengajarkan akhlak, kontrol diri, dan tanggung jawab sosial kepada para muridnya.(Salamah-Qudsi 2025)
Bagi al-Junaid, kedekatan dengan Tuhan tidak mungkin tercapai tanpa disiplin diri dan pemahaman mendalam tentang hukum-hukum Tuhan (syarī‘ah). Dalam banyak suratnya, ia menekankan pentingnya menggabungkan ilmu lahir dan ilmu batin. Seorang sufi sejati bukanlah orang yang melanggar norma, melainkan yang melampaui ego melalui pemurnian spiritual.(Salamah-Qudsi 2018; Mojaddedi 2003)
Tasawuf yang Sadar
Al-Junaid kerap dibandingkan dengan sufi-sufi yang memiliki pendekatan ekstatis seperti al-Ḥallāj. Dalam sejarah, ia digambarkan sebagai figur yang menjaga garis batas antara puritan dan tasawuf. Ia tidak menyukai pernyataan-pernyataan ekstatis yang berlebihan, seperti ucapan-ucapan syaṭaḥāt yang dilontarkan oleh Ḥallāj atau Abū Yazīd al-Bisṭāmī. Namun menariknya, al-Junaid tidak serta-merta menolak tokoh-tokoh ini. Sebaliknya, ia menafsirkan dan menormalisasi ucapan mereka dalam kerangka yang dapat diterima secara teologis; sebuah upaya untuk menjaga legitimasi tasawuf di hadapan para ulama hukum dan masyarakat luas.(Salamah-Qudsi 2025; Mojaddedi 2003)
Hubungan al-Junaid dengan murid-muridnya pun beragam. Ia kritis terhadap perilaku emosional Syiblī, tetapi tetap mempertahankannya dalam lingkaran spiritualnya. Ia juga membangun jaringan dengan ulama non-sufi, menjadikan dirinya sebagai jembatan antara dua dunia; tasawuf dan syarī‘ah.(Al-Mazīdī 2006)
Teks-Teks dan Ajaran Tertulis
Walau al-Junaid tidak meninggalkan satu karya sistematis, warisannya tersebar dalam bentuk surat-surat, risālah singkat, doa-doa, syair, dan kutipan-kutipan yang dikumpulkan oleh murid-muridnya dan kemudian oleh tokoh-tokoh seperti Ibn Saudakin dan al-Sarrāj. Dalam surat-suratnya, kita menemukan gaya bahasa yang padat, metaforis, dan sering kali kabur. Namun dari sana muncul pola-pola dan tema-tema besar seperti hubungan antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan, pentingnya fanā’, serta etika spiritual dalam keseharian.
Al-Junaid juga dikenal karena pemikirannya yang sangat struktural dan sistematik tentang jalan spiritual (ṭarīqah). Ia menekankan tahapan-tahapan dalam perjalanan menuju Tuhan, seperti tobat, sabar, syukur, khauf (takut), dan rajā’ (harapan). Jalan ini bukanlah pelarian dari dunia, tetapi penyucian jiwa di tengah kehidupan sosial.(Al-Mazīdī 2006; Salamah-Qudsi 2025)
Miḥnah dan Tantangan Politik
Salah satu episode penting dalam hidup al-Junaid adalah keterlibatannya dalam miḥnah (inquisisi) terhadap para sufi di Baghdad. Ketika sebagian sufi dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh tokoh konservatif seperti Ghulām Khalīl, al-Junaid memilih sikap moderat. Ia tidak membela secara terbuka rekan-rekannya seperti al-Nūrī dan Syiblī, tetapi juga tidak ikut menyerang mereka. Sikapnya ini membuatnya selamat dari tuduhan sesat dan mempertahankan posisinya sebagai pemimpin moral komunitas sufi. Ia adalah seorang diplomat spiritual yang tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.(Salamah-Qudsi 2025)
Gambaran dan Warisan dalam Sumber-Sumber Sufi
Citra al-Junaid dalam literatur Sufi klasik sangat positif. Ia dijadikan simbol kesempurnaan spiritual, pemimpin komunitas, dan penafsir utama tasawuf dalam bingkai Islam ortodoks. Dalam teks-teks seperti Risālah karya al-Qusyairī(Al-Qusyairī 1966) dan Kasyf al-Maḥjūb karya al-Hujwirī,(Al-Hujwirī 2007) nama al-Junaid disebut hampir di setiap bab; menunjukkan pengaruh dan otoritasnya dalam sejarah tasawuf Islam.(Al-Mulqin 1994)
Namun tidak semua tokoh sependapat. Dalam biografi oleh ‘Abd Allāh al-Anṣārī dan al-Jāmī, muncul kritik halus bahwa al-Junaid terlalu “akademis” dan kurang unsur “mabuk cinta”. Meski begitu, kritik ini justru menunjukkan betapa pentingnya al-Junaid sebagai titik referensi. Ia menjadi figur yang tidak bisa diabaikan, bahkan oleh mereka yang tidak sepenuhnya sejalan dengannya.(Ansari 1986; Salamah-Qudsi 2025)
Al-Junaid dan Nilai Universal Tasawuf
Salah satu kekuatan utama al-Junaid adalah kemampuannya untuk memformulasikan ajaran-ajaran tasawuf yang kontekstual sekaligus universal. Ia tidak hanya berbicara pada komunitasnya sendiri, tetapi pada umat Islam secara luas. Dengan mendasarkan praktik sufi pada al-Qur’ān, ḥadīṡ, dan akhlak, ia membangun fondasi bagi tasawuf sebagai dimensi terdalam dari Islam, bukan sekadar aliran pinggiran.(Salamah-Qudsi 2025)
Bagi al-Junaid, seorang sufi bukanlah orang yang mencampakkan dunia, tetapi yang menguasai dunia tanpa membiarkannya menguasai dirinya. Ia menulis: “Sufi adalah orang yang Allah singkap rahasia batiniah-Nya, dan tidak ada yang bisa menandingi kesadarannya tentang Tuhan.”
Saat ini, di mana spiritualitas kerap menjadi semata pencarian pribadi tanpa keterikatan etika dan sosial, warisan al-Junaid menjadi relevan kembali. Ia menunjukkan bahwa pengalaman mistik harus berpijak pada etika, ilmu, dan tanggung jawab. Bahwa menjadi dekat dengan Tuhan bukan berarti bebas dari hukum, tetapi justru lebih terikat secara batiniah. Pemikiran al-Junaid masih bisa dibaca dengan kritis dan kreatif hari ini. Lewat kajian yang cermat terhadap karya, risālah, dan sejarah penerimaan atas tokoh ini. Al-Junaid bukan hanya sufi yang sibuk dalam keheningan spiritual, tetapi juga membimbing, menulis, berdebat, dan membangun komunitas sufi.(Salamah-Qudsi 2025)
Penutup
Al-Junaid adalah salah satu peletak batu pertama dalam sejarah tasawuf. Ia bukan hanya sufi awal Islam, tetapi seorang pemikir, mursyid, dan pemimpin yang menetapkan standar ortodoksi dalam spiritualitas Islam. Melalui perpaduan antara ilmu, pengalaman sufistik, dan kepekaan sosial, ia menunjukkan bahwa tasawuf bukanlah pelarian dari realitas, melainkan jalan paling dalam untuk memahami hakikat dunia.
Warisan al-Junaid mengajarkan kita bahwa kedalaman spiritual sejati tidak lahir dari kegilaan atau gairah semata, tetapi dari disiplin, ketajaman hati, dan cinta yang penuh kedewasaan. Dalam dunia yang terus berubah, ajarannya tetap menjadi mercusuar bagi siapa pun yang mencari Tuhan di tengah rumitnya kehidupan.
Bahan Bacaan
Al-Hujwirī. 2007. Kasyf Al-Maḥjūb. Edited by Aḥmad ‘Abd al-Raḥīm Al-Sāyiḥ and Taufīq ‘Alī Wahbah. Kairo: Maktabah al-Ṡaqāfah al-Dīniyyah.
Al-Mazīdī, Aḥmad Farīd. 2006. Al-Imām Al-Junaid: Sayyid Al-Ṭāifatain. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Mulqin, Ibn. 1994. Ṭabaqāt Al-Auliyā’. Edited by Nūr al-Dīn Syarībah. Maktabah al-Khānjī.
Al-Qusyairī, Abū al-Qāsim. 1966. Al-Risālah Al-Qusyairiyyah. Edited by ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd. Kairo: Dār al-Ta’līf.
Al-Subkī, Taj al-Dīn, and Maḥmūd Muḥammad Al-Ṭanāḥī. 1964. Ṭabaqāt Al-Syāfi‘iyyah Al-Kubrā. Edited by Maḥmūd Muḥammad Al-Ṭanāḥī and ‘Abd al-Fattāḥ Al-Ḥulw. Faiṣal ‘Īsā al-Bābī al-Ḥalabī.
al-Sulamī, Abū ‘Abd al-Raḥmān. 2003. Ṭabaqāt Al-Ṣūfiyyah. Edited by Muṣṭafā ‘Abd al-Qādir ‘Atā. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ansari, Muhammad Abdul Haq. 1986. “Sufism and Shari’ah.” London: The Islamic Foundation.
Mojaddedi, Jawid A. 2003. “Getting Drunk with Abū Yazīd or Staying Sober with Junayd: The Creation of a Popular Typology of Sufism.” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 66 (1): 1–13.
Salamah-Qudsi, Arin. 2018. Sufism and Early Islamic Piety. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781108395014.
———. 2025. Al-Junayd. Cham: Springer Nature Switzerland. https://doi.org/10.1007/978-3-031-87094-1.