Sulitnya Menjadi (Penulis Buku Tentang) Ba‘alawi (Bagian 1)

Belum pernah saya menulis buku sesulit ini—tepatnya, seribet ini. Pertama, meski lahir dan besar di kalangan Ba‘alawi, pernah ada waktu yang di dalamnya saya tak tahu banyak tentang Thariqah ‘Alawiyah.

Ayah saya, apalagi ibu saya, tentu saja adalah  orang-orang yang hidup di budaya keagamaan Thariqah ‘Alawiyah. Meski ayah saya adalah seorang yang berpikiran progresif dan rasional—bahkan ada kecenderungan “anti-tasawuf”, yang dianggapnya punya bakat “mistik” yang anti-rasional dan anti-progres—seantero lingkungan tempat hidupnya sehari-hari kental diwarnai budaya tasawuf Thariqah ‘Alawiyah. Apalagi ayahnya adalah seorang ullayti (kelahiran Hadhramaut). Tapi, betapa pun seorang ullayti, ayah saya itu juga dikenal sebagai kelompok literati—pembaca buku, yang berwawasan relatif kosmopolit—di lingkungannya. Dan ini agak berbeda dengan banyak Ba‘alawi di lingkungan kampung Arab Solo bernama Pasar Kliwon, yang di dalamnya juga ia dan keluarganya tinggal.

Ya, di samping kelompok yang disebut udaba’ ini, sebagian orang menyebut mayoritas ullayti di kota yang sama sebagai kelompok darwisy—yakni komunitas Arab ullayti yang budaya keagamaannya kental diwarnai tasawuf yang banyak diwarnai dengan nuansa mistik. Fenomena udaba’ ini, bahkan nama kakek saya ini—dan juga nama kakek saya dari ibu—juga disebutkan dalam catatan perjalanan seorang Hadhrami yang pernah berkunjung ke Indonesia, berjudul Rihlah Jawa al-Jamilah (Perjalanan ke Jawa yang Indah), karya Habib Shalih bin ‘Ali Alhamid.

Ya, karena itu semua, pengetahuan saya tentang Thariqah ‘Alawiyah amatlah terbatas. Sampai, kira-kira 15 tahunan lalu, saya mulai tertarik lagi untuk mempelajari Thariqah ‘Alawiyah. Pasti ada unsur nostalgia masa kecil, ketika saya biasa mengunjungi Masjid (as)-Seggaf dan Masjid Riyadh yang keduanya terletak di Pasar Kliwon (mengenai hal ini saya tuliskan juga dalam sebuah bab khusus dalam buku saya).

Baca Juga:  Dari Tasawuf Teoritis Menjadi Tasawuf Praktis: Sebuah Refleksi Daras Buku Dari Allah Menuju Allah

Tapi juga ada rasa capek melihat konflik di antara kelompok-kelompok muslim sendiri, dan makin tak terkendalinya permusuhan dan kebencian di antara manusia akibat fenomena pengerasan identitas politik dan post truth. Tentu juga akibat peradaban yang makin nafsi-nafsi saja. Apalagi setelah beberapa tahun kemudian saya didapuk untuk mendirikan dan menjadi pengurus Mahya (Majelis Hikmah ‘Alawiyah)—yang bergerak di bidang pelestarian turats dan riset tentang ‘Alawiyin dan Tharuqah ‘Alawiyah—politik, berbasiskan prinsip cinta tasawuf, dan—ini yang tak kalah penting—punya akar cukup kuat di Nusantara sejak berabad-abad lalu. Dan seterusnya (silahkan baca bukunya).

Mulai saat itu,  saya pun mulai mencicil belajar—dan menuliskan—berbagai aspek dari manhaj ini. Hingga suatu saat, saya merasa punya cukup bahan untuk mengembangkannya menjadi bahan untuk sebuah buku. Tapi, tetap saja kenyataannya tidak semudah itu. Karena keterbatasan pengetahuan saya—betapa pun saya sudah cukup lama mempelajari Thariqah ‘Alawiyah—maka sepanjang penulisan saya harus membaca jauh lebih banyak buku. Bertanya ke kanan kiri, serta memastikan fakta dan rujukan. Betapa pun juga, sebuah buku harus ditulis dengan tanggung jawab ilmiah. Bisa saja buku saya itu hanya sederhana saja—memang tujuannya tak terlalu ambisius juga. Yakni, mengisi kekosongan buku dalam bahasa Indonesia, tentang Thariqah ‘Alawiyah, yang ringkas tapi komprehensif, dengan pendekatan historis-analitis. Toh, tetap saja fakta harus benar, dan analisis harus runtut.

Maka, berbeda dengan buku-buku saya sebelumnya—omon-omon, sampai saat ini saya telah menulis dan menerbitkan 23 (atau 24) buku—saya harus melakukan koreksi dan penyuntingan berulang kali. Bahkan ketika draft sudah saya kirimkan ke penerbit. Berminggu-minggu saya harus terus berkoordinasi dengan para penyunting di Penerbit Noura, sebelum saya akhirnya “tega” untuk melepaskan naskah saya untuk masuk ke percetakan. (Masih ada juga kesulitan lain, yang mengharuskan saya untuk memastikan semuanya sudah rapi. Dan hal ini terkait dengan kesulitan kedua yang membayang-bayangi penulisan buku ini…(Bersambung).

Baca Juga:  BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 1)
0 Shares:
You May Also Like
Read More

Eyang Husin

Sebetulnya dia belum setua itu. Meski usianya sudah mendekati 70 tahun, dan memiliki beberapa cucu. Tapi, jangan bicara…