Sila Pertama dan Kedua dalam Pancasila: Kontinuitas atau Diskontinuitas?
Beberapa tahun lalu, ada yang menarik soal diskursus publik yang berkembang mengenai Pancasila. Dalam diskusi yang berlangsung di Indonesian Lawyers Club, Rocky Gerung mengatakan bahwa sila-sila dalam pancasila itu saling bertentangan. Rocky mencontohkan kontradiksi antara sila pertama dan kedua dalam Pancasila. Saya memahami bahwa pemikiran Rocky Gerung yang demikian memang merujuk pada tradisi filsafat mengenai humanisme yang berkembang di Barat. Namun, saya ingin memberi beberapa catatan kritis, bahwa cara pandang Rocky bukan hanya tidak tepat bila dikaitkan dengan konteks Pancasila, tapi juga bukanlah cara tafsir humanisme satu-satunya dalam sejarah pemikiran Barat.
Oleh sebab itu, yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, bagamana diskursus humanisme sendiri dalam tradisi filsafat? Dan bagaimana cara pandang yang lebih tepat untuk melihat sila pertama dan kedua dalam Pancasila? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang didiskusikan lebih lanjut.
Humanisme dalam Tradisi Filsafat Barat
Konteks historis kemunculan humanisme tidak bisa dilepaskan dari abad pencerahan (renaissance). Sederhananya, humanisme dalam tradisi filsafat renaissance merupakan sebuah usaha untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu agama, agama dianggap menghalangi manusia untuk dapat mencapai potensi-potensi kemanusiaannya. Dan inilah yang menjadi arus dominan dalam tradisi humanisme.
Dengan kata lain, arus dominan diskursus humanisme renaissance adalah bentuk reaksi kritis ataupun perlawanan terhadap teosentris ataupun agama, karena sebelumnya Barat mempunyai pengalaman buruk dengan dominasi agama (gereja) pada abad pertengahan yang disebut sebagai abad kegelapan (dark ages).
Meminjam pendapat Budi Hardiman dalam buku Humanisme dan Sesudahnya, menyatakan bahwa humanisme seperti berupaya untuk merebut manusia dari alienasi oleh obsesi masyarakat pada “dunia sana” dan mengakarkannya kembali ke “dunia sini”.
Berangkat dari zeitgeist (jiwa zaman) dan atau konteks historis yang seperti itulah, kita akan memahami mengapa terjadi pertentangan yang tajam antara humanisme arus dominan yang berangkat dari semangat antroposentris dengan teosentris ataupun agama. Hubungan antara humanism dan teosentrisme seolah adalah diskontinuitas. Dalam konteks inilah, titik berangkat seorang Rocky Gerung dalam memahami humanisme yang kemudian ia jadikan rujukan dalam memahami bahwa sila kedua dalam Pancasila bertentangan dengan sila pertama. Dalam tradisi humanisme sendiri, memang ada ahli yang menyebut dengan istilah “humanisme ateis”.
Akan tetapi, yang perlu kita pahami lebih lanjut, diskurus humanisme dalam filsafat pun beragam. Ada juga pendapat-pendapat lain menyoal hubungan antara humanisme dengan agama ini, yang tidak melulu mempertentangkan secara tajam antara humanisme dengan agama.
Kita bisa melihat, misalnnya saja pandangan Jürgen Habermas yang menyatakan bahwa sebenarnya humanisme berakar dari tradisi kristiani yang memandang manusia sebagai imago Dei (citra Tuhan). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai humanisme merupakan bentuk kontinuitas dari tradisi kristiani tersebut.
Selain itu, Martin Heidegger dalam Letter on Humanism, di samping ia melakukan kritik-kritik terhadap humanisme, Heidegger pun merenungkan juga, bahwa Kekeristenan yang memusatkan diri pada keselamatan jiwa, adalah sebuah humanisme juga.
Berangkat dari pemaparan di atas, tentu kita bisa menyimpulkan bahwa penafsiran atas humanisme dalam tradisi filsafat amatlah beragam, bukan hanya mempertentangkan secara tajam dengan agama seperti yang dipaparkan oleh Rocky Gerung yang berangkat dari diskursus dominan dalam humanisme. Poin penting lainnya, bahwa cara pandang Rocky di atas tidaklah tepat bila dikaitkan dengan konteks hubungan sila pertama dan kedua dalam Pancasila.
Humanisme dan Cara Pandang yang Tepat dalam Melihat Pancasila
Menjadi pertanyaan menarik lainnya, yakni “bagaimana penafsiran humanisme yang relevan dalam diskursus Pancasila? Apakah sila pertama (yang menunjukan semangat teosentris) itu bertentangan dengan sila kedua (yang berbicara soal humanisme)?”
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa para pendiri bangsa kita memang dikenal kuat dalam membaca litetarur-literatur ilmu sosial humaniora, termasuk di dalamnya soal sejarah sosial demokrasi Eropa, yang sudah barang tentu di dalamnya membahas soal-soal humanisme.
Akan tetapi, yang perlu kita bahas lebih lanjut, apakah saat para pendiri bangsa terinspirasi ide humanisme yang kemudian digunakan dalam merumuskan Pancasila, mereka secara taken for granted (menerima begitu saja) tafsiran humanisme Barat yang menjadi arus dominan, yang mempertentangkan secara tajam dengan agama tersebut?
Jawabannya tidak, para pendiri bangsa ini dikenal begitu kritis, sehingga sudah barang tentu mereka melakukan kritik terhadap gagasan-gagasan besar dunia tersebut, termasuk salah satunya soal humanisme, untuk melihat relevansi dan atau sebaliknya dalam konteks masyarakat kita.
Kedua, apalagi jika kita berbicara dalam konteks sosiologis-historis, pengalaman bangsa Indonesia pun amat berbeda dengan Barat, di mana bangsa kita tidak punya pengalaman sebagaimana yang terjadi di Barat, saat terjadi pertentangan tajam antara agama dengan humanisme, yang terjadi justru: doktrin-doktrin agama itulah yang turut menginspirasi masyarakat kita dan menjadi landasan nilai untuk menjadi manusia yang beradab, dan sebagainya.
Contoh paling nyata, sikap toleransi yang menjadi salah satu inti dari ajaran humanisme, justru sudah dikenal sejak masa kerajaan tradisional dan itu bersumber dari semangat teologis, yang berbunyi bhineka tunggal ika.
Dengan demikian, antar sila pertama dan sila kedua dalam Pancasila, bisa membentuk suatu bangunan pandangan yang koheren dan bukannya kontradiksi. Setiap orang, bisa disebut sebagai humanis, ketika ia membela martabat kemanusiaan (dari mereka yang melecehkannya), dan semangat membela martabat kemanusiaan tersebut bisa berangkat termasuk dari doktrin-doktrin teologis.
Terlebih lagi, manakala doktrin-doktrin teologis tersebut mendapatkan sebuah status epistemis, sehingga memungkinkan terjadi saling pengertian atau intersubjektivitas termasuk dari mereka yang berlatar berbeda. Orang seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah contoh nyata, bagaimana sikap humanisme yang ia bangun, justru berangkat dari semangat ajaran-ajaran teologis, di mana Gus Dur menafsirkan ajaran teologis (Islam) tersebut tidak sempit hanya untuk kepentingan ekslusif pemeluknya (Islam) semata, melainkan untuk kepentingan yang lebih luas lagi, yakni kemanusiaan.
Bahkan, cara saya menafsirkan Pancasila dengan tidak mempertentangkan sila pertama dan kedua tersebut, mempunyai basis teoretis juga dalam tradisi filsafat. Salah satu yang bisa dijadikan rujukan, yakni pendekatan reflektif-retrospektif yang digunakan oleh Jügen Habermas dalam memahami humanisme sebagaimana yang sudah sedikit saya singgung sebelumnya.
Menurut Budi Hardiman, Habermas memahami humanisme atau pun konsep-konsep penting dalam filsafat maupun humaniora sebenarnya berakar dari tradisi Kristiani, dengan kata lain filsafat barat (termasuk humanisme) banyak belajar dari tradisi Kristiani, seperti imago Dei yang berbicara martabat manusia, moral rasional dan imperatif kategories yang berkembang pada abad pencerahan merupakan hasil destilasi intelektual pemahaman Kristiani tentang suara hati.
Maka saya pun berpendapat, humanisme ataupun tafsiran atas nilai-nilai kemanusiaan dalam konteks Pancasila dapat dikembangkan dari pemahaman-pemahaman teologis ataupun spiritualitas yang memang secara umumnya sudah sangat mengakar dalam khazanah budaya bangsa. Dengan demikian, tidak melulu harus selalu dipertentangkan.
Meminjam pendapat Budi Hardiman, bahwa kita perlu mempraktikan apa yang disebut sebagai hermeneutic of suspicion ketika kebenaran agama sedang didekati, mengingat cahaya nalar menjangkau sumber-sumber-sumber inspirasi yang paling profetis dalam iman religius untuk dibiarkan bicara bagi kemanusiaan.
Poin selanjutnya, saya ingin menyampaikan bahwa cara-cara ekslusif dalam menafsirkan humanisme, seperti yang dilakukan oleh Rocky Gerung yang berangkat dari pemahamannya atas humanisme ateisme, yang juga menyebut ketika motivasi kemanusiaan berangkat dari semangat teologis maka kemanusiaannya adalah palsu, bahkan mempertengkan secara tajam antara humanisme dan teologis, bukankah hal tersebut justru bisa membawa humanisme ke dalam fideisme gaya baru?
Mengapa demikian? Karena seakan-akan yang dapat berbicara ataupun menyumbangkan tentang kemanusiaan, hanya mereka kalangan humanis ateistis, dan orang yang berangkat dari semangat teologis ataupun sumber-sumber inspirasi profetis tidak dapat berbicara dan menyumbangkan untuk nilai-nilai kemanusiaan ataupun yang diperjuangkan oleh humanisme itu sendiri.