Amat beruntung saya dipertemukan dengan Gen Z yang memiliki daya nalar tajam, kemampuan kritis dalam bertanya, dan kekuatan literasi yang luar biasa. Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan dari mereka membuat adrenalin saya kembali bangkit, mendorong saya untuk membuka berbagai referensi dan mengkontekstualisasikan hasil bacaan sesuai dengan semangat zaman mereka. Mereka sering bertanya tentang tragedi dan kemalangan yang kadang sulit dipahami, seperti kasus-kasus kemiskinan, ada lagi anak remaja membunuh orang tua, orang yang disiksa sampai mati dan lain sebagainya. Mereka bertanya apakah itu takdir alias ketetapan Allah atau bukan?
Sontak dalam jiwa saya berkata, ini pertanyaannya elit. Dalam diskursus ilmu teologi (ilmu kalam) pembahasan perkara takdir dikaji sangat panjang, bahkan isu ini sebagai salah satu sebab munculnya beragam mazhab/aliran teologi dalam Islam yang kita saksikan dewasa ini. Saya coba merenung sejenak sambil mencari alternatif jawaban yang paling sesuai. Jawaban sederhananya ialah kita perlu memberikan reinterpretasi makna takdir kepada Gen Z, agar mereka atau kita sebagai orang tua saat menerima pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak langsung ngegass bahwa kejadian-kejadian itu adalah takdir, tapi merupakan hasil sebab akibat (kausalitas) yang begitu panjang.
Miskin atau Dimiskinkan?
Nah, terkait pertanyaan tragedi kemikinan atau penindasan. Al-Qur’an mengistilahkannya dengan kata mustad’afin (orang-orang yang tertindas), seperti ayat yang menceritakan Bani Israil ditindas oleh Fir’aun:
وَنُرِيْدُ اَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِى الْاَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ اَىِٕمَّةً وَّنَجْعَلَهُمُ الْوٰرِثِيْنَ
“Kami berkehendak untuk memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, menjadikan mereka para pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (QS. Al-Qashash [28]: 5).
Ayat lain yang berbicara tentang mustad’afin ialah:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari (kalangan) laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS. An-Nisa [4]: 75)
Artinya Al-Qur’an ini memberi kritik sosial bahwa kesenjangan, kemiskinan, ketertindasan itu kadang didesain oleh sekelompok elit tertentu, bahasa Al-Qur’an bukan orang malang, miskin, atau lemah, tapi orang yang ditindas/dimiskinkan/dilemahkan. Nah, dari sini saja kita bisa ambil kesimpulan bahwa pembaca Al-Qur’an jangan langsung menyatakan kemiskinan/kemalangan itu adalah takdir, tapi adalah proses sebab akibat yang begitu panjang.
Lalu bagaimana cara mengatasi problem ini? Tentu sebagai orang yang beriman kita akan menemukan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa membantu orang yang lemah itu adalah suatu keharusan, sampai-sampai rukun Islam yang ketiga adalah zakat yaitu kita diwajibkan menyisihkan sebagian harta kita untuk membantu kaum yang lemah.
Sebegitu pentingnya membantu orang yang lemah ini, sampai-sampai dalam kitab Al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal merekam riwayat tentang Nabi Musa yang bertanya kepada Allah. Musa bin ‘Imran berkata: “Wahai Tuhan, di mana aku mencari-Mu?” Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya.” Bahkan, seorang sufi (kekasih Allah) Abu Said Abil Khair berkata, “Banyak jalan untuk mendekati Allah. Tetapi, jalan yang paling dekat/tercepat kepada Allah adalah membahagiakan orang lain di sekitarmu. Berkhidmatlah engkau kepada mereka.”
Walhasil, bagi kita yang mendapatkan kelebihan rezeki selain memberikan sebagian harta yang kita punya untuk mereka, cara lain yang tidak kalah penting ialah melakukan pendampingan kepada Gen Z yang sedang mengalami gejala psikologis/mentalnya tidak baik-baik saja. Dan bagi yang sedang bertengger dalam tahta kekuasaan, maka ciptakan kebijakan-kebijakan politik dan ekomoni yang terbaik dan mendukung wong cilik. Semoga dengan ini kita semua sedang mengamalkan agama secara lahir dan batin, yang berimplikasi pada melahirkan kembali kewarasan masyarakat di era yang semerawut ini.
Apa itu Takdir?
Menurut Prof. Qurasih kata takdir dalam linguistik bahasa Arab terambil dari akar kata qadara yang antara lain bermakna mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika kita berkata, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.”
Al-Qur’an nyatakan semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah.
الَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا
“(Yaitu Zat) yang milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, (Dia) tidak mempunyai anak, dan tidak ada satu sekutu pun dalam kekuasaan-(Nya). Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya (takdirnya) dengan tepat.” (QS Al-Furqân [25]: 2)
Di dalam surah Al-A’la Allah berfirman: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya), yang menentukan kadar/takdir (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan (rerumputan) padang gembala, lalu menjadikannya kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la [87]: 1-5).
Yang menarik pada surah al-A’la di atas ayat 1-3 setelah membicarakan tentang takdir, lalu di ayat 4 dan 5 memberikan contoh berupa “menumbuhkan (rerumputan) padang gembala, lalu menjadikannya kering kehitam-hitaman”.
Artinya, mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya. Sesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt melalui hukum hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti jika kita ingin melihat rumput subur menghijau, maka siramilah ia, dan bila kita membiarkannya tanpa pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya.
Kapan Sesuatu itu Disebut Takdir?
Saat rumput itu dalam kadar tertentu tidak mendapatkan air karena tidak disiram lalu mati itulah takdirnya. Atau air itu akan mendidih di suhu 100 dejarat celsius dan membeku pada suhu 0 derajat selsius itulah takdirnya. Saat manusia dalam kadar tertentu tidak mendapatkan oksigen, lalu mati itulah takdirnya. Jadi ternyata takdir itu adalah kadar atau suatu ukuran yang telah ditetapkan oleh Allah. Selain itu ada peran usaha atau ikhtiar manusia untuk menentukan takdirnya masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Suatu ketika, di zaman Sayyidina Umar, sebuah wabah menyebar hingga ke Syam (Suriah) dan bahkan ke Irak, yang menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat. Sayyidina Umar dan rombongannya hendak menuju Syam, namun mereka disarankan untuk berbalik. Salah seorang sahabat kemudian bertanya, “Apakah lantas seorang pemimpin akan lari dari takdir Allah?” Sayyidina Umar menanggapi dengan bijak, bahwa dirinya dan pasukannya justru sedang ‘lari’ dari takdir Allah yang satu (yang buruk) menuju takdir Allah yang lain (yang baik).
Sebagai tambahan yang berkaitan dengan pembahasan takdir dan relevansinya dengan ikhtiar manusia, ada satu hal menarik dalam ilmu kaidah tafsir. Al-Qur’an sering menggunakan kata ganti untuk meringkas pembicaraan, dan salah satu bentuk kata ganti tersebut adalah naḥnu (نحن), yang artinya ‘kami’. Lafaz naḥnu merupakan kata ganti orang pertama jamak atau plural. Menariknya, meskipun kata ini biasanya digunakan untuk orang pertama jamak, kita juga menemukan lafaz naḥnu dalam Al-Qur’an sebagai kata ganti untuk Allah. Padahal, pemahaman umat Islam secara jelas menyatakan bahwa Allah adalah tunggal. Lantas, mengapa Allah sering menggunakan kata ganti naḥnu atau ‘kami’? Apa rahasia di balik penggunaan kata tersebut?
Dalam kaidah tafsir penggunaan lafaz naḥnu sebagai kata ganti untuk Allah ini memiliki tujuan tersendiri. Tujuannya ialah Allah ingin melibatkan makhluk-Nya dalam proses menjalani kehidupan. Sebagai contoh penggunaan kata naḥnu untuk menunjukkan ke Allah ialah:
وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَكُمۡ مِّنۡ اِمۡلَاقٍؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَاِيَّاهُمۡ
“…dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. (Tuhanmu berfirman) ‘Kamilah (Allah) yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka…”(QS. Al-An’am [6]: 151)
Dalam ayat ini terkait rezeki Allah menggunakan kata ganti naḥnu (Kami). Maknanya adalah dalam hal mencari rezeki, Allah ingin melibatkan usaha makhluk dalam mendapatkannya, sehingga anak-anaknya terjamin rezekinya. Artinya, semakin kita berusaha secara maksimal, kreatif, dan inovatif—alias tidak mageran—semakin banyak pula peluang untuk mendapatkan rezeki yang Allah takdirkan kepada kita.
Ayat lain yang menggunakan kata ganti naḥnu untuk Allah ialah ayat yang terkait dengan umur manusia.
وَمَن نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِى ٱلْخَلْقِ ۖ أَفَلَا يَعْقِلُونَ
“Siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami balik proses penciptaannya (dari kuat menuju lemah). Maka, apakah mereka tidak mengerti?” (QS. Yasin [36]: 68)
Penggunaan kata naḥnu dalam ayat ini seakan-akan Allah ingin menegaskan bahwa jika ingin umur panjang, maka ada peran usaha manusia di dalamnya, yakni ia harus melakukan gaya hidup sehat, pola pikir yang baik, olahraga, memastikan yang dikonsumsi itu sehat, halal, dan berkualitas. Nah, jika itu dilakukan, maka Allah akan menakdirkan atau menentukan kadar umur manusia menjadi panjang dan berkualitas. Tetapi, jika ia memiliki gaya hidup yang buruk alias tidak sehat, maka akan menghancurkan daya imun tubuh, hingga dalam satu kadar tertentu ia akan sakit dan meninggal, alias umurnya pendek (Allah takdirkan ia berumur pendek).
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa rezeki, umur, dan segala hal yang terjadi dalam hidup ini membutuhkan ikhtiar dari manusia. Ikhtiar ini, pada gilirannya, dapat memengaruhi takdir atau ketetapan Allah. Artinya, meskipun takdir Allah itu sudah ada, namun usaha dan ikhtiar manusia tetap memiliki peran penting dalam meraih apa yang telah ditentukan-Nya. Dengan kata lain, Allah memberikan kesempatan bagi manusia untuk berusaha dan memilih, yang kemudian berkontribusi pada takdir yang akan terjadi.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Al-Ra’d [13]: 11).