Yusuf dan Zulaikha, salah satu kisah dalam Al-Qur’an yang banyak mencuri perhatian para penulis dan pencerita sepanjang masa. Mereka menceritakan kembali kisah ini dalam berbagai versi dan pendekatan. Demikian juga, kisah ini menarik perhatian banyak tokoh tasawuf dari berbagai generasi, sejak Sanai, Suhrawardi, Rumi, hingga Jami.
Di tangan para penyair sufistik, kisah Yusuf-Zulaikha terasa lebih hidup dengan membawa tokoh-tokoh cerita ke dalam penafsiran yang lebih lentur. Jika dalam pendekatan klasik, penafsiran tokoh Zulaikha kerap berhenti pada sosok perempuan yang mencinta seseorang secara membabi buta, para penyair sufistik melengkapi jalan cerita setelah Zulaikha mengalami transformasi dalam hidupnya yang akhirnya menemukan cinta sejati. Misalnya, Sanai memandang sosok Zulaikha sebagai seorang perempuan yang mampu menggapai cinta hakiki setelah melewati berbagai duka dan penderitaan. Dalam salah satu Ghazalnya, Sanai bersenandung:
“Ketampanan fisik Yusuf tidak akan abadi, namun jika kau mampu taklukan hati dan jiwanya, akan kau dapati cinta hakiki serupa Zulaikha.”
Selain Sanai, kisah Yusuf-Zulaikha juga berhasil merebut perhatian Suhrawardi, sang sufi martir. Ia menulis risalah penting berjudul Munes-e Ushaq yang merangkum konsep cinta dalam simbolisasi tokoh Yusuf, Ya’kub, serta Zulaikha. Simbolisasi memang menjadi ciri khas dalam karya sufistik yang mengajak pembacanya menyelam lebih dalam untuk mereguk makna sesungguhnya. Tabir makna tersebut hanya dapat tersingkap dengan cara mengungkapkan simbol-simbol yang ada dalam cerita.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ada tiga elemen pada diri seorang pejalan: Husn atau kebahagiaan yang merupakan tujuan seorang pejalan disimbolkan sebagai Yusuf, sementara huzn atau kesedihan disimbolkan sebagai Ya’kub dan Zulaikha merupakan simbol Esqh atau cinta. Cinta inilah yang akan menjadi jembatan bagi para pejalan untuk melewati dan menaklukan berbagai duka dan penderitaan agar sampai kepada muara kebahagiaan sejati. Kata Suhrawardi, relasi antara cinta, bahagia, dan duka itu akan selalu ada. Tidak mungkin seorang mengaku pecinta, namun menolak melalui proses luka.
Simbolisasi ketiga karakter ini merupakan hal baru dan kreatif pada masanya serta belum pernah dilakukan sebelumnya. Penempatan sosok Zulaikha sebagai simbol cinta juga merupakan langkah berani Suhrawardi di tengah situasi sosial yang belum menempatkan perempuan pada posisi semestinya.
Jalaluddin Rumi, sebagai penyair sufistik yang banyak menyebutkan para tokoh sufi terdahulu sehingga Matsnawi Maknawi kerap disebut sebagai ensiklopedia dunia tasawuf, pandangannya tentang kisah Yusuf-Zulaikha juga terilhami dari Sanai maupun Suhrawardi. Rumi, beberapa kali mengutip kisah ini dalam karyanya, bahkan nama Zulaikha disebut sebanyak 25 kali, 17 dalam Ghazal dan 8 kali dalam Matsnawi.
Rumi membagi kehidupan Zulaikha dalam dua fase. Pertama, fase pemula sebagai seseorang yang terobsesi oleh sosok Yusuf. Di sinilah, Zulaikha mengalami penderitaan karena terjebak pada keindahan fisik, sebagaimana syair Rumi dalam Ghazal 60, “Apakah Yusuf mengerti kepedihan dan duka yang dirasakan Zulaikha saat terjerat cinta, sebagaimana burung yang terjerat dalam perangkap. Fase ini disimbolkan sebagai seorang pejalan pemula yang masih sering tergelincir dan melakukan kekeliruan.
Kedua, fase dewasa, yaitu seseorang yang telah sampai pada cinta hakiki. Sebagaimana pandangan dunia Rumi yang selalu bergerak dari zahir kepada yang batin, dari fisik kepada metafisik, dari profan menuju yang transedental, begitu juga sosok Zulaikha mengalami transformasi dari yang awalnya mengagumi ketampanan Yusuf sampai akhirnya menemukan makna cinta itu sendiri. Dalam Ghazal 27, Rumi menggambarkan transformasi tersebut:
“Selama bertahun-tahun, pada awalnya cinta Zulaikha menepi pada sosok Yusuf; namun pada akhirnya, cinta itu berlabuh pada Tuhan dan mampu menenggelamkan cintanya pada Yusuf.”
Di tahap inilah, Zulaikha mengalami kelahiran kedua. Ia tidak lagi mencari sosok Yusuf di luar dirinya, karena cahaya Yusuf telah menyelusup ke dalam jiwanya dan menghidupkan api cinta yang hakiki. Sebagaimana disebutkan Rumi dalam bait 4829-4830 kitab Matsnawi jilid 6:
“Karena cahaya Yusuf telah bersemayam dalam Zulaikha, jiwanya menjadi muda bersemi. Dia menemukan kehidupan kembali setelah berhasil menaklukan egonya, sebagaimana air kehidupan yang menyejukkan kegersangan”
Kisah Yusuf-Zulaikha ini mengilhami Rumi untuk menemukan kembali Shams Tabrizi dalam dirinya. Maulana Rumi, seraya mengaminkan tiga konsep simbolisasi Suhrawardi [Yusuf (kebahagiaan), Ya’kub (kesedihan), dan Zulaikha (cinta)] juga mengajak pada pembacanya untuk menyadari dan mengelaborasi ketiga elemen tersebut, terutama kehadiran unsur cinta yang dapat mengantarkan kita menapaki tangga spiritual yang lebih tinggi. Kata Rumi dalam Ghazal ke 3130: “Yusuf dan Ya’kub ada dalam dirimu, jangan ragu untuk mengakui Zulaikha pun ada dalam dirimu”
Setelah Rumi, Abdurahman Jami yang merupakan penutup silsilah para penyair sufistik turut memberikan perhatian khusus pada kisah Yusuf-Zulaikha. Ia bahkan menulis risalah khusus tentang kisah ini. Senada dengan pandangan Rumi, Jami juga berpendapat cinta Zulaikha mengalami transformasi dari cinta yang bermula dari fisik sampai akhirnya ia menemukan hakikat cinta sejati. Jami yang memang memiliki pandangan cukup terbuka soal gender, memberikan pujian tinggi pada sosok Zulaikha. Dalam salah satu syairnya, Jami bersenandung: “Tak ada kekasih seindah Yusuf, tak ada pecinta sedalam Zulaikha”
Padangan Jami terkait kisah Yusuf-Zulaikha ini memang cukup revolusioner dibanding para pendahulunya, menurutnya proses perjalanan Zulaikha sendiri merupakan simbolisasi dari konsep malamatiyah kaum sufi. “Seseorang yang dapat menahan dan bersabar terhadap pandangan buruk manusia dan melewati tujuh lembah kesulitan, ia akan menjadi seorang pecinta sejati, sebagaimana Zulaikha yang telah mempersembahkan seluruh yang dimilikinya.”
Dalam konteks hari ini, pendapat Jami di atas menarik untuk direnungkan. Barangkali, kekeliruan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan kita yang terlihat dan tampak di hadapan manusia adalah cara-Nya agar kita tdak terperosok pada jurang kesombongan dan ujub serta menjadi pribadi yang rendah hati. Dengan demikian, pintu-pintu untuk menapaki tangga spiritual akan semakin terbuka. Wallahu A’lam.