“Lapar (makan secukupnya) adalah elemen pertama dalam disiplin diri. Jika Anda dapat mengontrol apa yang Anda makan dan minum, Anda dapat mengontrol segalanya.”―Syekh Dr. Umar Faruq Abdullah
Syahdan, seorang filsuf duduk untuk makan siang dengan porsi yang tidak banyak. Sementara itu, di sebelahnya terdapat seorang pemuda yang tampak sangat rakus dan lahap menyantap makanan dengan cepat. Melihat porsi yang dimakan si filsuf, pemuda itu tertarik untuk mengomentarinya, “Jika jatah makananku hanya sebanyak jatahmu, aku tidak akan peduli apakah aku masih hidup atau tidak.” Mendengar hal ini, si filsuf menjawab, “Itu benar, anakku. Aku makan agar aku bisa hidup, sedangkan kau hanya ingin hidup agar bisa makan.”
Pada bulan puasa Ramadhan, ketika hasrat untuk makan dan minum dibatasi, sejenak saya teringat pada kisah di atas, yang dimuat dalam kitab al-Thibb al-Ruhānī karya Abu Bakar al-Razi. Sembari merenungkan tentang hal ini, saya kemudian tertarik untuk mengulik lebih jauh peran lapar dan kenyang dalam relasinya dengan berpikir atau penalaran rasional.
Maka, setidaknya ada beberapa pertanyaan yang selanjutnya muncul di benak: apakah berpikir sebagai proses yang melibatkan daya rasional pada jiwa manusia dipengaruhi oleh kondisi lapar ataupun kenyang? Apakah lapar dan kenyang memberikan pengaruh positif bagi akal untuk menjalankan fungsinya? Kondisi mana yang lebih baik dalam mengantarkan seseorang dekat pada Tuhannya?
Adalah menarik bahwa dalam filsafat Barat terdapat sebuah diktum yang menyatakan, primum manducare, deinde philosophari; makan dahulu, berfilsafat kemudian. Artinya, berfilsafat atau berpikir rasional adalah kondisi pasca kebutuhan perut telah selesai. Bila kebutuhan ini belum terpenuhi, maka berfilsafat akan mandul, tidak efektif. Sebab, pikiran tak akan fokus untuk mengembangkan dan mengeksplorasi objek-objek akal.
Diktum ini belakangan didukung oleh sains modern yang memandang bahwa lapar memiliki pengaruh negatif terhadap kejernihan berpikir, terutama dalam hal konsentrasi, pengambilan keputusan, dan kontrol emosi. Karena itu, misalnya, jangan berharap pelajar-pelajar di Indonesia dan di negara manapun akan progresif dan intensif proses belajarnya selama bayangan tentang kebutuhan perut dan apa yang akan dimakan esok hari masih menghantui benak mereka. Maka, tak heran bila di banyak negara maju, biaya pendidikan digratiskan bahkan uang saku diberikan agar para pelajar hanya fokus untuk belajar.
Alhasil, kebutuhan pangan yang notabene merupakan kebutuhan dasar dan alami manusia harus dipenuhi agar ia terbebas dari penderitaan fisik dan mencapai ketenangan mental. Karena itu, menurut pendapat ini, kebutuhan terhadap makan mendahului aktivitas intelektual. Jadi, berpikir rasional-filosofis melazimkan perut yang tidak lapar.
Namun, betapapun penting kedudukan makan, perspektif ini hanya menempatkan aktivitas makan sebagai sarana. Sarana bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan mendapatkan energi yang diperlukan untuk beraktivitas, berpikir, dan berkarya. Maka dari itu, tidak semestinya makan menjadi tujuan sehingga terjebak pada hidup untuk makan. Pendapat ini seolah menggemakan kembali ungkapan Socrates bahwa, “Saya makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.”
Dalam tradisi filsafat, diktum primum manducare deinde philosophari bukanlah pendapat tunggal. Di sisi lainnya, terdapat pandangan lain yang justru menganggap penting kondisi lapar dalam relasinya dengan berpikir. Malah, berpikir dalam pengertian yang lebih dalam dan cenderung spiritual.
Kontras dengan pandangan pertama, yang justru percaya bahwa lapar membuat berpikir tidak fokus, pandangan kedua ini percaya bahwa lapar ketika dimanfaatkan secara tepat, dan tentunya sengaja, dapat men-trigger diri untuk berpikir filosofis dan bermakna. Hanya saja dengan catatan mesti dilakukan dengan niat dan persiapan serta kesadaran bahwa kondisi lapar yang dialaminya adalan cara untuk mempertajam fungsi kognitifnya.
Adalah Phytagoras, seorang filsuf Yunani awal, pendiri sekolah filsafat pertama yang mensyaratkan murid-muridnya yang akan belajar filsafat untuk berpuasa selama 40 hari. Karena hanya dengan melaparkan perut, kita akan berpikir jernih, berpikir filosofis. Baginya, berlebihan dalam makan dan minum serta terlalu menuruti kesenangan fisik dapat mengaburkan pemikiran rasional dan menghambat pencapaian kebijaksanaan.
Beberapa abad setelah Phytagoras, Suhrawardi al-Maqtul, pendiri aliran Isyraqiyyah (Iluminasi) dalam tradisi filsafat Islam juga senada dengan Phytagoras. Ia mensyaratkan siapa pun yang hendak mempelajari filsafat Iluminasi melalui pembacaan terhadap karya masterpiece-nya Hikmah al-Isrāq agar berpuasa 40 hari.
Hal ini bukannya tanpa alasan. Bagi Suhrawardi, puasa adalah sarana untuk mempersiapkan diri dalam memperoleh pengetahuan. Puasa seolah memberi landasan batin agar pengetahuan dapat mendarat dengan mulus di hati. Tanpa puasa, karyanya―betapapun ternilai istimewa dalam tradisi filsafat Islam―hanyalah kumpulan huruf-huruf yang disusun menjadi kalimat. Adalah menarik bahwa Suhrawardi memanggil para pembaca karyanya sebagai ikhwān al-tajrīd, yakni orang-orang yang terbebas dari belenggu materi; orang-orang yang sudah siap mereguk hikmah pengetahuan batin dan rahasia-rahasia ilahi.
Pada dasarnya, menurut pandangan ini, puasa dianggap sebagai prakondisi agar seseorang memperoleh pengetahuan. Tentu puasa di sini tidak dimaknai hanya dalam pengertiannya sebagai menahan lapar dan haus, melainkan juga sebagai penguasaan terhadap jiwa yang mengajak pada keburukan dan kemaksiatan, hingga akhirnya ia terbebas dari belenggu-belengu yang menghambatnya ‘terbang tinggi’. Karena, seperti pendapat al-Ghazali, salah satu penghalang jiwa untuk mendapatkan hakikat adalah terlalu menuruti keinginan badan.
Syahwat perut dengan demikian termasuk yang perlu dikontrol. Pasalnya, menurut Faidh Kasyani, seorang filsuf sekaligus teolog yang memberikan perhatian serius pada persoalan etika dalam karyanya al-Haqā’iq fī Mahāsin al-Akhlāq, salah satu yang paling mencelakakan keturunan Adam adalah syahwat perut. Karena syahwat perutlah, Nabi Adam dan Siti Hawa dikeluarkan dari surga.
Perspektif ini menempatkan lapar sebagai kondisi yang dipertimbangkan dalam spiritualitas. Karena lapar dapat mengantarkan seorang hamba pada kedekatan dengan Allah. Imam Jakfar Shadiq pernah berkata, “Seorang hamba lebih dekat dengan Allah ketika perutnya kosong dan seorang hamba jauh dari Allah ketika perutnya kenyang.” Perkataan ini menemukan relevansinya dengan sabda nabi tentang bagaimana perut yang senantiasa dibuat kenyang oleh makan dan minum dapat mematikan hati dan menumpulkan pikiran. “Jangan matikan hati dengan banyak makan dan minum, karena hati laksana tanaman. Ia akan mati karena banyak disirami air,” ucap Nabi Muhammad Saw.. (Ihyā’ Ulūm al-Dīn, jil. 3, hlm. 77.)
Spirit yang sama juga terlihat pada nasehat Luqman Hakim―yang dalam al-Qur’an digambarkan sebagai orang yang bijaksana―pada putranya, “Wahai putraku, jika perut kenyang, pikiran akan tidur, ilmu akan tuli, serta anggota tubuh akan malas beribadah.” (Tanbīh al-Khawāthir, jil.1, hlm. 102)
Jadi, bertolak belakang dengan pemikiran modern yang menunjukkan lapar sebagai faktor yang dapat menggangu daya rasional manusia, lapar dalam perspektif ini justru dapat mengantarkan pada kejernihan berpikir. Mengingat lapar yang disengaja mampu mengurangi distraksi duniawi, sehingga membantu pikiran untuk fokus. Menajamkan intuisi lantaran keterikatan pada fisik perlahan berkurang. Dan pada akhirnya menebalkan kesadaran spiritual karena membantu pelakunya untuk memahami kebenaran dengan lebih dalam.
Pada saat yang sama, terlalu banyak makan dan kenyang―yang dekat dengan sifat rakus―adalah kondisi yang menumpulkan akal. Bahkan, membuat tubuh malas beribadah, mematikan hati, serta dekat dengan banyak penyakit. Tentu ini tidak berarti bahwa makan dan minum dihindari. Tidak! Perspektif ini tidak mengingkari kebutuhan alami manusia. Makan sangatlah penting bagi tubuh manusia, termasuk dengan memperhatikan nutrisi dan kehalalannya. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa: 24) Hanya saja, syahwat perut perlu dikontrol, didisiplinkan, dan ditundukkan di bawah komando akal.
Alhasil, betapapun dua pendekatan di atas ternilai berbeda dalam menempatkan kondisi ideal yang memungkinkan proses berpikir, utamanya berpikir filosofis, menjadi mungkin, tetapi keduanya satu pendapat tentang buruknya makan dan minum berlebihan bagi aktivitas logis-rasional, bahkan spiritual. Pada titik ini, keduanya sejalan dengan pesan al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk tidak berlebihan dalam makan dan minum. “Makan dan minumlah tapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf: 31) Wallahu a’lam bisshawab