Ketika Spiritualitas Bertemu Ketimpangan

Di dunia ini, kita hidup dengan satu hukum alam yang sangat konsisten: selalu ada yang duduk di kursi empuk dan ada yang hanya kebagian lesehan di teras bahkan di kolong jembatan. Kalau kata pejabat, itu namanya ketimpangan. Kalau kata rakyat jelata, itu namanya “takdir”.

Penindasan—entah dalam rupa kolonialisme zaman dahulu atau kemiskinan struktural zaman digital—selalu berhasil mengubah manusia menjadi alat. Bukan alat pertanian, bukan pula alat dapur, tapi alat kepentingan. Yang kaya makin punya semuanya, yang miskin diminta bersyukur meski penghasilan hanya cukup untuk bertahan hidup. Padahal, Pasal 20 UU HAM No 39 Tahun 1999 sudah tercatat: “Tidak seorang pun boleh diperbudak.” Tapi seperti biasa, hukum kadang cuma jadi pajangan, bukan pedoman.

Thomas Piketty sudah mengatakan, “kekayaan bakal terus numpuk di atas, sementara yang di bawah tetap jongkok.” Karl Marx juga dulu sudah ngomong, “kapitalisme itu bikin borjuis makin berkuasa dan proletar makin megap-megap.” Yang aneh, kita udah tahu itu semua, tapi tetap megiyakan?

Paus Fransiskus, yang baru saja kembali ke Rumah Bapa (dan bikin separuh dunia Katolik menangis dalam doa), juga pernah bilang, “mengabaikan kaum miskin sama saja kayak membuka gerbang perbudakan baru.” Orang yang kebanyakan uang bisa beli segalanya, termasuk narasi. Sementara yang miskin? Ya, dapat julukan “malas” dan “gagal adaptasi”.

Padahal, Islam sudah lebih dulu bikin garis tegas soal keadilan. Surah Al-Hajj ayat 39 tuh udah kayak alarm sosial: Kita wajib untuk menegakkan keadilan. An-Nisa ayat 135 malah lebih gila lagi: Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sungguh, Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. Ini bukan sekadar ayat, ini tamparan. Masalahnya, kita sering pamer ayatnya, tapi malas ngaca ke konteksnya.

Baca Juga:  Kita Percaya Bahwa Semua Kebenaran dari Allah, Tapi Agama Bukanlah Satu-Satunya Sumber Kebenaran

Agama, dalam versi idealnya, adalah motor perlawanan terhadap ketimpangan, kemungkaran dan kemunafikan. Tapi sekarang, agama sering kebanyakan rem daripada gas. Kita sering terlalu sibuk dengan syariat personal sampai lupa bahwa kezaliman sosial itu juga dosa. Seperti kata Gus Mus, “Jadilah Muslim yang saleh secara ritual dan sosial.” Sayangnya, banyak dari kita lebih memilih jadi alumni majelis taklim ketimbang pejuang keadilan sosial. Lebih suka terlihat baik, tapi lupa tak memberi manfaat pada tetangga.

Dulu, para sufi itu bukan cuma jago dzikir. Mereka juga berani bertindak. Tarekat—yang sekarang kadang disalah pahami hanya sebagai tempat bertapa dan menangis di malam hari—dulu garda paling depan dalam melawan penjajahan. Pangeran Diponegoro, misalnya, itu pengamal Tarekat Syattariyah. Perang Jawa 1825-1830 itu bukan sekadar perang kebangsaan, tapi juga perang spiritual.

Dalam dunia sufi, konsep seperti Wahdatul Wujud mengajarkan bahwa hanya Allah yang sejati, sementara kekuasaan manusia itu fana dan rawan sesat. Maka, wajib hukumnya bagi insan kamil (manusia paripurna dalam martabat spiritual) untuk tidak tunduk pada kekuasaan zalim. Ini bukan sekadar mistik, ini manifestasi etika politik.

Kalimat zikir “La ilaha illallah” bukan cuma untuk menenangkan hati, tapi juga untuk mengingatkan diri: yang berhak ditaati cuma Allah. Maka, kalau ada penguasa yang main gebuk, main gusur, dan main manipulasi, sudah sepantasnya zikir itu berubah jadi bahan bakar perlawanan.

Dan sejarah sudah mencatat, para pengamal tarekat tidak sekadar bersembunyi di zawiyah-zawiyah. Perlawanan Haji Wasid dan kawan-kawan di Cilegon tahun 1888, misalnya, adalah bukti bahwa spiritualitas bisa jadi bom molotov paling ideologis. Mereka melawan bukan karena lapar nasi saja, tapi karena lapar keadilan.

Baca Juga:  Ciri-Ciri Wali Allah dalam Al-Qur’an

Ironisnya, sekarang banyak tarekat yang lebih sibuk mengatur aneka wirid daripada mengurusi nasib masyarakat yang diwiridkan. Tarekat jadi tempat menghindar dari dunia, bukan tempat menata ulang dunia. Padahal dulu, tarekat itu markas para revolusioner.

Maka, menjalani zaman yang membingungkan kemiskinan dianggap sebagai takdir dan kekuasaan sebagai anugerah Tuhan, perlu dihayati secara mendalam bahwa spiritualitas tidak hanya sebatas pelarian dari masalah yang kita hadapi. Spiritualitas adalah bahan bakar perlawanan. Dzikir jangan membuat kita abai terhadap perihal dunia khususnya dalam hal ketimpangan dan penindasan.

Perlawanan yang berakar dari spiritualitas bukanlah barang baru. Ia pernah menyala di masa lalu, dan bukan tidak mungkin akan berkobar lagi hari ini, esok, atau entah kapan. Ia tidak lahir dari sekadar duduk manis sambil scroll video ustaz ngobrol sama semut, tapi dari keberanian meneladani nilai-nilai yang diyakini—meski cuma dengan menolak lupa dan tetap bersuara.

Perlawanan itu tidak harus selalu berarti mengangkat senjata, meneriakkan slogan di jalanan, atau melawan pemerintah secara frontal. Kadang, bentuk paling tulusnya justru hadir dalam hal-hal yang sederhana: menyampaikan kebenaran, menyebarkan kebaikan, atau meluruskan narasi yang bengkok.

Jangan salah, kelembutan juga bisa jadi senjata. Dalam dunia yang makin gaduh dan bising, sekadar bertahan dengan hati jernih dan nurani yang hidup, itu pun bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap keadaan yang sudah terlalu jauh melenceng.

Previous Article

Al-Qusyairī: Kompromi antara Kalām dan Tasawuf

Next Article

Khutbah Iduladha: Menggapai Taqwa, Meraih Ihsan, Melalui Qurban

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨