Dengan berzikir maka hati akan tenang. Ini adalah salah satu ayat Al-Qur’an yang memotivasi seorang muslim mengamalkan zikir. Sayangnya tidak sedikit dari kita mendapatkan ketenangan hati tersebut. Seakan-akan ayat terkait tidak terbukti setelah diamalkan. Lalu mungkin bertanya siapa yang salah, ayat atau orang yang berzikir? Tentunya ayat tidak pernah salah karena Allah Maha Benar dengan segala firman-Nya. Sementara manusia sebaliknya tempatnya salah dalam keterbatasan sebagai makhluk. Namun semua kesalahan makhluk akan mendapatkan ampunan Sang Pencipta, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Berkenaan dengan berzikir untuk mendapatkan ketenangan hati. Dirasakan butuh suatu pendekatan filsafat agar mencapai tujuan ibadah ini. Sehingga terbentuk peresapan yang bermakna dalam pengamalannya. Karena filsafat sendiri adalah sebuah metode yang membawa manusia suatu kebijaksanaan dalam mencapai kebenaran. Di dalamnya terdapat tiga pendekatan ilmiah yang bermanfaat untuk berzikir yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Mungkin selama ini, kita melakukannya baru sebatas ontologi zikir. Suatu ibadah yang hanya terlihat secara lahiriah tetapi belum masuk pada zikir epistemologi dan aksiologi. Melalui zikir dengan sebanyak-banyaknya mengucapkan tahlil, tahmid dan takbir yang dilanjuti dengan shalawat. Pada gilirannya terperangkap dalam rutinitas ritual yang belum mencapai sasaran.
Oleh karena itu perlunya suatu zikir yang sistematis yang dikenal epistemologi zikir. Paling tidak mengetahui keilmuan dari zikir sendiri. Mulai dari mencari fadillah (keutamaan), tata cara, arti serta makna dari bacaan, sampai pada hal-hal lain yang mendukung kekhusyukan berzikir. Jika memang dibutuhkan untuk belajar tentang berbagai cara zikir maka lakukanlah. Seperti mendalami zikir para ulama tasawuf yang ada dalam kitab-kitab. Lebih baik lagi mencari seorang guru yang dapat membimbing untuk berzikir dengan baik. Sampai diperoleh zikir yang berkualitas secara epistemologi.
Setelah melewati fase ontologi dan epistemologi dalam berzikir. Tentunya akan terdapat embaracement yang baru dalam jiwa. Tetapi secara filsafat belumlah lengkap bila zikir ini tidak memberikan dampak positif pada kehidupan ini. Maka juga perlu ditingkatkan suatu bentuk zikir dengan pendekatan aksiologi. Dalam fase ini, diharapkan kita menggali suatu nilai yang ada dalam zikir yang diamalkan. Dengan mendalami bagaimana tujuan berzikir untuk mendapatkan ketenangan hati. Deteksi dan amati setiap nilai yang terkandung dalam berzikir. Renungkan nilai ketenangan hati itu dapat diperoleh dari nilai-nilai apa saja. Bisa jadi nilai kedisiplin, konsistensi, tertib yang akan mengantarkan pada tujuan berzikir.
Dari semua ulasan di atas, penulis berharap terutama untuk diri sendiri agar terjadi perubahan membaik yang signifikan. At least sudah memiliki suatu metode berzikir dengan pendekatan filsafat. Insya-Allah mendapatkan sebuah ketenangan hati yang termaktub dalam janji Allah. Sesungguhnya Dia tidak pernah mengingkari janji, serta tidak ada keraguan dari-Nya.