“Jadikan hatimu sebagai Ka’bahmu,” demikian Imam Ja’far ash-Shadiq pernah bersabda. Bagaimana caranya kita bisa menjadikan hati kita sebagai Ka’bah kita? Tentu kita tak membayangkan bahwa di hati kita ada bangunan kubus batu. Tapi, kita harus mulai dengan memberi makna terhadap bangunan fisik Ka’bah itu. Bahwa Ka’bah sebetulnya adalah wujud fisik dari ‘Arsy Allah. Dan ‘Arsy Allah itu tentu saja berwujud batin, bukan fisik. Kesimpulannya, Ka’bah “hanya”-lah simbol.
Nah, jika kita diminta menjadikan hati kita sebagai “Ka’bah kita, sedang hati adalah tempat makna, bukan tempat benda-benda fisik, maka itu berarti kita harus membayangkan ada ‘Arsy Allah dalam hati kita. Bahkan, pada akhirnya, ‘Arsy itu juga adalah simbol batin dari sesuatu yang lebih batin lagi. Yaitu Allah Swt itu sendiri.
Kenyataannya, memang Allah hanya bisa ditampung oleh hati. Allah Swt sendiri dalam sebuah hadis qudsi, memfirmankan: “Langit dan bumi (yang bersifat fisik, sebesar apa pun—HB) tak dapat menampung-Ku (paling jauh dia bisa menampung Ka’bah fisik—HB). (Tapi, hanya) hati seorang mukmin yang dapat menampung-Ku”.
Lapis-lapis makna dalam berbagai konsep keagamaan ini selalu ada di mana-mana, dalam ritus-ritus ibadah apa pun. Semua gerakan shalat selalu menyimbolkan makna tertentu. Misal, sujud melambangkan kefakiran manusia di hadapan Allah. Puasa, mengosongkan perut, menggambarkan kehidupan asketik (zuhud). Dan zakat (sedekah) merupakan wujud material dari dorongan hati untuk berkorban demi membantu orang-orang susah. Manasik haji? Semuanya menyiratkan simbol.
Seperti Imam Ghazali, seorang sufi besar di garis Ibn ‘Arabi bernama Sayid Haydar ‘Amuli, menulis buku berjudul Asrar al-Syari’ah (Rahasia-rahasia Syari’ah), yang menafsirkan ibadah-ibadah mahdhah dalam Islam sepanjang jalur Syari’ah, Thariqah, dan Haqiqah.
Ketiga konsep dalam tasawuf ini mengimplikasikan adanya lapis-lapis makna, dari mulai yang paling lahir (syari’ah), lebih batin (thariqah), dan paling batin (haqiqah/hakikat). Demikian sufi-sufi lain. (Saya sendiri pernah menulis buku berjudul Buat Apa Shalat yang, sebagian besarnya berisi pandangan para sufi besar tentang makna batin shalat).
Inilah yang saya maksud dengan beribadah secara imajinatif. Dalam istilah Islam, beribadah secara dzawqi. Dengan perasaan, dengan cita rasa yang lebih ma’nawi, sampai ke puncak spiritualnya. Seperti saat saya menulis ini. Saya sedang berada di depan Ka’bah, menjelang shalat subuh. Di depan semua hal yang bersifat fisik. Ka’bah, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, Hijir Isma‘il, air (sumur) Zamzam, dan bukit Shafa dan Marwah. Ketika kita beribadah pun, kita menggunakan organ-organ fisik kita. Mulut (lidah), mata, kaki, tangan, dan sebagainya.
Tapi, seperti saya tulis dalam tulisan saya sebelum ini berjudul Memperkenalkan Secara Ringkas Haji/Umrah untuk Manusia Zaman Ini, semuanya itu “hanya” merupakan simbol, dari apa-apa yang lebih maknawi/batin. Maka: Pertama, betapa pun pentingnya syariah (baca: ibadah dalam batasan-bataan fikih) yang melibatkan kegiatan fisik, jangan pernah beribadah dengan berhenti pada simbol-simbol (fisik).
Kedua, karena itu, betapa pun pentingnya Syari’ah, bahkan Thariqah, keduanya “hanyalah” jalan untuk mencapai tujuan akhir. Tujuannya adalah Haqiqah/Hakikat. Saat saya melakukan manasik umrah pun, saya tetap mengupayakan kelurusan manasik berdasar aturan fikih, juga membaca doa-doa yang disunnahkan.
Tapi, bagi saya, dalam keberdesakan di tengah lautan manusia dan jeda-jeda waktu yang terbatas saat melakukan manasik tersebut, prioritasnya adalah menggapai makna dari ibadah-ibadah tersebut. Jika perlu, saya memilih aturan fikih yang paling longgar—selama dibolehkan—dan mengurangi membaca doa mengikuti buku doa yang saya pakai—khususnya di ibadah-ibadah yang saya lakukan dalam kali kedua haji/umrah saya, dan selanjutnya, jika kesemuanya itu menghalangi atau mengalihkan perhatian saya dari berimajinasi demi mendapatkan lapis-lapis makna yang lebih tinggi dari ketimbang memenuhi aturan-aturan ketat-maksimum syari’ah.
Ya, adalah harus bagi kita untuk melakukan ibadah sesempurna mungkin. Juga, seutuh mungkin, dari segi Syariah, Thariqah, dan Haqiqah. Tapi, mari kita selalu ingat, kesempurnaan tertinggi adalah pada pencapaian hakikat. Sehingga tak patut kita mengejar kesempurnaan syariat, atau tarekat, dengan mengorbankan pencapaian kesempurnaan hakikat.
Inilah yang saya maksud dengan beribadah secara imajinatif. Semoga Allah tolong kita semua.