Soedjatmoko memang sudah meninggalkan kita sejak kurang lebih dari 3 dekade yang lalu. Akan tetapi, sebagai seorang intelektual, Soedjatmoko tetap hidup melalui semangat dan pemikiran yang diwariskannya. Nama Soedjatmoko masih terdengar begitu megah, bahkan untuk anak muda pembelajar seperti saya.
Sebagai seorang intelektual, memang sulit untuk memasukkan nama Soedjatmoko ke dalam ceruk pemikiran yang mana bila didasarkan dengan pengkategorian yang ketat. Hal ini seperti yang disampaikan dalam “Simposium Martabat Manusia Soedjatmoko” yang terbit di majalah Prisma di tahun 1991, karena terlalu banyak julukan yang bisa diberikan kepada Soedjatmoko, mengingat terlalu luas bidang, ruang, dan waktu yang diarungi oleh Soedjatmoko ini. Akan tetapi, satu hal yang sulit ditolak, dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir pejuang, semangat dan gairah Soedjatmoko begitu membara dalam soal martabat kemanusiaan.
Dewasa ini, ancaman terhadap martabat kemanusiaan masih menghantui perjalanan republik yang sudah merdeka 77 tahun ini. Adapun salah satu problem yang mengancam martabat kemanusiaan adalah menyangkut intoleransi dan kekerasaan berbasis semangat komunal. Martabat kemanusiaan mustahil dapat ditegakkan dengan tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak individual ataupun pilihan seseorang.
Berbagai studi cukup berhasil dalam memotret fenomena intoleransi dan tindak kekerasaan tersebut, salah satunya studi Najib Burhani dalam Menemani Minoritas:Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah (2019) yang menyuguhkan fakta mengenai berbagai diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.
Selain itu, kelompok minoritas lainnya, seperti kelompok penghayat, dalam kajian Agus Sudibyo melalui buku Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben (2019) dikatakan sering kali mengalami diskriminasi dengan dipersulit oleh birokrasi maupun akses terhadap pelayanan publik.
Persoalan intoleransi dan diskriminasi ini menjadi ironi tersendiri, terlebih lagi, yang menjadi aktornya bukan hanya warga negara, tetapi juga negara. Agus Sudibyo bahkan melihat tesis homo sacer Agamben terjadi dalam konteks hubungan antara negara dengan kelompok minoritas. Sudibyo menulis, “Hukum menangguhkan diri dan berada dalam status nonoperasional justru pada saat dibutuhkan operasionalitasnya, pada saat terjadi kekerasaan warga negara terhadap warga negara yang lain.”
Lebih lanjut, hukum dikatakan menyerap sekaligus mengabaikan warga. Menyerap dalam pengertian menjadikan warga minoritas sebagai objek pemberlakuan hukum, tapi mengabaikan dalam pengertian menempatkan mereka di luar radar perlindungan dan pelayanan hukum, terutama sekali ketika mereka menjadi sasaran kekerasaan. Dalam konteks inilah, menengok kembali pemikiran Soedjatmoko tentang martabat kemanusiaan menjadi sesuatu yang relevan untuk diketengahkan.
Menangkap Semangat Soedjatmoko dalam Wacana Nasionalisme dan Peran Agama: Antitesis terhadap Diskriminasi dan Intoleransi
Ada berbagai gagasan dari Soedjatmoko yang perlu dielaborasi untuk mengatasi problem kekerasaan, intoleransi ataupun diskriminasi tersebut.
Pertama adalah gagasan mengenai nasionalisme. Dalam pandangan Soedjatmoko dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme sebagai Prospek Belajar (1991), dikatakan bahwa nasionalisme kebudayaan sama pentingnya dengan nasionalisme politik dan ekonomi. Soedjatmoko menjelaskan bahwa bagaimana mungkin nasionalisme politik bisa berakar kuat tanpa didasari oleh nasionalisme kebudayaan.
Bagi saya, gagasan tersebut menarik karena semangat nasionalisme jelas menjadi salah satu prasyarat keutuhan sebuah nation-state. Bila ditafsirkan lebih lanjut, nasionalisme bisa tumbuh dengan kuat salah satunya ketika ada keadilan. Tentu bisa menjadi keprihatinan ketika ada ketidakadilan, dan apalagi jika terlegitimasi juga oleh sikap negara atau aparaturnya.
Misalnya ketika ada pembiaran kekerasaan yang dialami oleh kelompok minoritas, ataupun ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas tertentu yang jelas akan mengancam keharmonisan hubungan antar warga negara, krisis legitimasi dari warga negara (terutama yang minoritas terhadap negara akan terasa). Dan ini jelas mengancam nasionalisme politik. Menurut saya, nasionalisme kebudayaan bisa tumbuh salah satunya dengan adanya penghormatan terhadap identitas komunal ataupun preferensi nilai yang diyakini oleh seseorang atau komunitas.
Soedjatmoko pun mengandaikan nasionalisme sebagai proses belajar. Nasionalisme bisa berperan positif jika yang dibangun adalah nasionalisme yang cerdas, dan bukannya nasionalisme yang buta. Lalu, yang menjadi pertanyaan, bagaimana membangun nasionalisme yang cerdas itu? Jawabannya adalah belajar dari sejarah. Menurut saya, penting untuk mengingat dan memahami rentetan sejarah kelam pertikaian yang bernuansa etno-religius.
Padahal bila kita belajar dari sejarah, salah satunya dari Peristiwa Sumpah Pemuda, harusnya problem pertikaian etno-religius itu tidak pernah terjadi, mengingat para pemuda di era pergerakan berupaya untuk melampaui semangat primordial dengan membangun semangat politik modern yang bernama Indonesia.
Poin lainnya yang menarik dielaborasi adalah peran yang seharusnya diambil oleh para pemeluk agama dalam perdamaian dan pembangunan. Menurut saya, mengelaborasi gagasan Soedjatmoko dalam soal itu memang penting, mengingat sering kali kekerasaan atau tindak intoleransi justru menjadikan agama sebagai legitimasinya.
Dalam Religious Perceptions of Desirable Societies: Islamic Perspectives Responses (1984), Soedjatmoko justru menegaskan bahwa iman seharusnya merupakan suatu wawasan potensial yang dapat ditawarkan untuk pencarian kemanusiaan yang lebih adil dan harmonis. Dengan kata lain, iman justru seharusnya dioperasionalisasikan untuk pencarian kemanusiaan yang otentik, dan bukannya digunakan sebagai legitimasi untuk menciderai nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Soedjatmoko, di tengah dunia yang semakin terfragmentasi ini, upaya yang perlu untuk terus dilakukan adalah kerjasama antaragama untuk dunia yang lebih baik, baik itu untuk perdamaian maupun pembangunan. Dalam konteks itu, saya menangkap bahwa Soedjatmoko menginginkan semangat yang dibangun adalah untuk mengenali berbagai perbedaan, baik untuk intragama maupun antaragama, sebagai bentuk penerjemahan akan pencarian kemanusiaan yang otentik tersebut.
Bagi saya, gagasan itu relevan, karena dengan memahami perbedaan bukan hanya bisa meminimalisasi kesalahpahaman, juga kemungkinan untuk membangun kesalingpengertian lebih terbuka untuk terwujud. Bagi Soedjatmoko, tugas kita adalah menemukan cara yang relevan untuk dunia yang begitu pluralistik dan hal itu perlu diterjemahkan dalam praksis.
Saya rasa semangat Soedjatmoko ini penting untuk terus digelorakan, bukan hanya untuk kehidupan bangsa, umat beragama, melainkan juga kemanusiaan secara umumnya. Terlebih lagi inti dari semangat yang ditunjukkan oleh Soedjatmoko dalam bidang apapun (baik soal budaya, agama, politik dan sebagainya) adalah soal penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Sebab itu, pemikiran dan semangat Soedjatmoko akan senantiasa relevan untuk menjadi antitesis dari berbagai praktik intoleransi maupun diskriminasi, baik yang dilakukan oleh warga negara maupun negara.
Sebagai catatan yang tak kalah pentingnya, dalam The Humanities and Development (1986), Soedjatmoko pun mengemukakan pentingnya studi humaniora untuk mengembangkan kerangka kerja moral dan imajinatif untuk tindakan. Hal tersebut diletakkan karena berguna untuk membangun empati dan simpati terhadap orang lain, dan memahami kondisi-kondisi orang lain. Bagi Soedjatmoko, penting untuk melakukan proyeksi imajenasi terhadap pengalaman orang lain sehingga kita dituntun untuk dapat merasakan pengalaman orang lain, dan hal itu lebih dimungkinkan dengan digalakkannya studi humaniora.
Dengan demikian, dapat merasakan dan berempati terhadap orang lain, bila diterjemahkan lebih lanjut, bisa berguna untuk menghindarkan diri kita agar tidak melakukan kekerasan ataupun diskriminasi terhadap orang lain.