Di belantara lembaran sejarah tasawuf, nama Abū Yazīd al-Basṭāmī atau lebih dikenal sebagai Bāyazīd al-Bisṭāmī bersinar terang sebagai sosok yang tidak hanya kontroversial, tetapi juga inspiratif. Ia tidak meninggalkan karya tertulis, namun pengaruhnya menembus batas ruang dan waktu melalui ribuan kutipan, kisah, dan aforisme (ḥikmah) yang dikumpulkan para murid dan pengagumnya. Dalam dunia tasawuf, ia digambarkan sebagai tokoh pembuka jalan fanā’ (penghilangan ego) dan baqā’ (kekekalan dalam Tuhan), serta pembawa syaṭaḥāt (ungkapan ekstatis) yang mengguncang baik dunia sufi maupun masyarakat Muslim secara umum.(Abū Yazīd al-Bisṭāmī, 2004) Esai singkat ini ingin memotret kehidupan dan ajaran sang mistikus dengan merujuk langsung pada sumber-sumber paling awal yang melukiskan sosok Bāyazīd secara otentik.
Jejak Kelahiran dan Latar Sosial-Intelektual
Bāyazīd lahir di Basṭām, sebuah kota kecil di Iran timur laut, dalam konteks masyarakat yang tengah bertransisi dari Zoroastrianisme ke Islam. Kakeknya, Surūsyān, berasal dari keluarga pendeta Zoroaster, tetapi kemudian memeluk Islam melalui interaksi sosial yang penuh ketulusan. Peristiwa ini bukan hanya menunjukkan pergeseran spiritualitas komunitas lokal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral universal yang kemudian menjadi inti ajaran Bāyazīd, kejujuran, kedermawanan, dan kesetiaan.(Tehrani, 1999)
Ayahnya, ‘Īsā bin Surūsyān, digambarkan sebagai pribadi yang amat hati-hati dalam menjaga kehalalan dan kesucian. Ibunya, meskipun namanya tak disebutkan, dikenang sebagai wanita salehah, zuhud, dan penuh kasih. Relasi erat Bāyazīd dengan ibunya bahkan menjadi fondasi spiritualnya. Dalam satu kisah yang populer, ia menyatakan bahwa pencapaiannya adalah karena keridaan ibunya.(Keeler, 2025)
Guru, Murid, dan Tarekat
Pendidikan spiritual Bāyazīd tidak terlepas dari pengaruh guru-gurunya di Basṭām dan sekitarnya. Meski namanya tidak selalu disebut dalam rantai sanad ilmu fikih atau hadis, ia menunjukkan semangat mendalam dalam menjelajahi jalan ruhani yang disebut sebagai ṭarīqah. Menurut catatan Keeler, murid-murid Bāyazīd terdiri dari kalangan lokal hingga para pengembara spiritual dari wilayah Qūmis dan sekitarnya. Ia dipandang oleh komunitasnya sebagai seorang syaikh yang memiliki karisma luar biasa, namun juga tak luput dari kritik tajam akibat sejumlah ungkapan ekstatisnya yang dinilai melampaui batas.(Keeler, 2025)
Bāyazīd menekankan pentingnya pengalaman langsung dengan Tuhan ketimbang pemahaman dogmatis. Ia sering kali dituduh menyimpang karena syaṭḥiyyāt-nya, seperti “Subḥānī mā a‘ẓama sya’nī!” (Mahasuci aku! Betapa agung diriku!), namun ungkapan ini, dalam konteks sufi, mencerminkan lenyapnya ego manusia dalam kehadiran ilahi.(Abū Yazīd al-Bisṭāmī, 2004)
Jalan Ruhani: Menaklukkan Nafs dan Menyatu dalam Ketuhanan
Keunikan Bāyazīd terletak pada pemahamannya terhadap struktur batin manusia. Ia membagi diri manusia ke dalam tingkatan-tingkatan ruhani yang harus ditundukkan: nafs (ego), qalb (hati), rūḥ (jiwa), sirr (rahasia), dan akhirnnya fanā’ (penghilangan diri). Bagi Bāyazīd, perjuangan spiritual dimulai dari melawan hawa nafsu hingga mencapai tahap “ketiadaan dalam kehadiran Tuhan.”(Keeler, 2025; Mojaddedi, 2003)
Menurut Keeler, pemahaman psikologi spiritual Bāyazīd sangat mendalam. Ia menyatakan bahwa orang yang masih merasa memiliki dirinya belum sepenuhnya mengenal Tuhan. Dalam konteks ini, fanā’ bukanlah bentuk penghilangan fisik, melainkan hilangnya keakuan dalam kesadaran ilahi. Ia berkata, “Aku menjadi cermin bagi Tuhan. Ketika Ia memandangku, Ia melihat diri-Nya.”(Keeler, 2020, 2025)
Praktik Ibadah dan Pandangan terhadap Rukun Islam
Berbeda dengan asumsi bahwa para sufi mengabaikan syariat, Bāyazīd sangat ketat dalam menjalankan kewajiban agama. Ia mendirikan salat dengan penuh khusyuk, menjalankan puasa, dan menghormati perintah-perintah agama. Namun, ia menekankan bahwa ibadah tidak boleh berhenti pada gerakan fisik, melainkan harus membawa rūḥāniyyah yang mengantar pelakunya pada makrifat.(Abdu’r-Rabb, 1970; Mojaddedi, 2003)
Tentang haji, Bāyazīd menyampaikan bahwa ziarah sejati bukan hanya ke Ka‘bah, tapi ke dalam diri yang suci dari hawa nafsu. Ia juga sangat menghormati Nabi Muhammad dan para rasul, tetapi mengatakan bahwa tujuan akhir adalah menyatu dengan realitas Tuhan yang menjadi sumber dari semua kenabian.(Keeler, 2025)
Wawasan Ketuhanan: Tuhan yang Tak Tersentuh, Namun Dekat
Pemikiran ketuhanan Bāyazīd sangat tajam dan sekaligus personal. Ia berbicara tentang Tuhan sebagai entitas yang transenden dan imanen sekaligus. Tuhan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, tetapi bisa dihadirkan melalui hati yang suci. Bagi Bāyazīd, kesadaran penuh terhadap kehadiran Tuhan merupakan tujuan tertinggi dari eksistensi manusia.
Ia membedakan antara orang yang menyembah Tuhan karena takut pada neraka atau menginginkan surga, dan orang yang menyembah-Nya karena cinta. Dalam konteks ini, Tuhan menjadi bukan lagi objek penyembahan formal, melainkan kekasih sejati. Inilah inti dari maḥabbah ilāhiyyah (cinta ilahi).(Dahlan, 2012; Mojaddedi, 2003)
Fanā’ dan Baqā’: Misteri Kehancuran dan Kelanggengan
Salah satu ajaran kunci dalam tasawuf Bāyazīd adalah tentang fanā’ (kehilangan diri dalam Tuhan) dan baqā’ (kekekalan dalam Tuhan). Dalam pengalaman ekstatisnya, ia menggambarkan bagaimana seluruh eksistensinya lenyap dalam samudra ilahi. Namun, yang tersisa bukanlah kehampaan, melainkan kehadiran Tuhan yang total.
Melalui syair dan ucapan-ucapan metaforisnya, ia menyampaikan bahwa hanya dengan “kematian spiritual” seseorang dapat hidup sejati. Hidup dalam Allah adalah kehidupan yang sebenarnya; semua selain itu hanyalah bayang-bayang.(Keeler, 2025)
Kontroversi Syaṭḥiyyāt dan Reaksi Masyarakat
Salah satu aspek paling mencolok dari Bāyazīd adalah syaṭḥiyyāt-nya, ungkapan-ungkapan spontan yang mengguncang seperti, “Aku adalah Singgasana Tuhan,” atau “Aku adalah al-Lauḥ al-Maḥfūẓ.” Pernyataan-pernyataan ini dipahami sebagai ekspresi batin yang telah larut dalam kehadiran ilahi, tetapi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk ekspresi spiritual yang berlebihan.(Abdu’r-Rabb, 1970)
Annabel Keeler menunjukkan bahwa reaksi masyarakat terhadap Bāyazīd beragam, ada yang mengaguminya sebagai wali agung, namun ada pula yang menolaknya sebagai pelaku penyimpang. Bahkan, diceritakan bia ia pernah diusir dari Basṭām, dan dengan tawāḍu‘berkata, “Sungguh, negeri ini baik, andai yang buruk di dalamnya bukan aku.”(Keeler, 2025)
Di antara semua tema spiritualnya, dua hal mendapat tempat istimewa; cinta dan ilmu. Bagi Bāyazīd, cinta adalah inti dari segala pencarian. Ia pernah menyatakan, “Aku telah meminum secangkir cinta, dan tidak ada yang tersisa dalam diriku selain Dia.” Ia tidak mencari Tuhan karena pahala atau takut azab, tetapi karena rasa rindu, kagum, dan pesona.
Pengetahuan sejati (‘ilm al-yaqīn) bukanlah hasil pembacaan buku, tetapi pengalaman langsung akan Tuhan. Ia mengkritik ulama yang sibuk dengan debat, namun tidak pernah menyentuh rasa akan kehadiran Tuhan. Ilmu tanpa cinta, menurutnya, hanyalah debu yang beterbangan tanpa tujuan.(Abū Yazīd al-Bisṭāmī, 2004; Keeler, 2025)
Miʿrāj Rūḥānī: Pengembaraan Menuju Tuhan
Dalam bagian akhir hidupnya, Bāyazīd mengalami apa yang disebut sebagai mi‘rāj rūḥānī (perjalanan batin menuju Tuhan), yang dikisahkan dalam bentuk narasi mistik. Ia menceritakan perjalanan spiritualnya sebagai pendakian menuju kehadiran Tuhan, melewati berbagai tahap penyucian, pelepasan diri, dan penyatuan.
Mi‘rāj ini bukan hanya meniru perjalanan Nabi Muhammad secara spiritual, tetapi menjadi simbol transformasi ruhani. Di sana ia melihat bahwa dirinya telah lenyap, dan hanya Tuhan yang tetap. “Aku mengetuk pintu-Nya, lalu Dia menjawab: Siapa? Kujawab: Aku. Maka Dia menutup pintu. Lalu aku datang lagi, mengetuk pintu-Nya. Dia bertanya: Siapa? Kujawab: Engkau. Maka pintu dibuka.”(Keeler, 2025)
Penutup
Meski tidak meninggalkan karya tertulis, pengaruh Bāyazīd sangat besar dalam dunia tasawuf. Ia menginspirasi tokoh-tokoh besar seperti Rūmī, Ibn ‘Arabī, dan Suhrāwardī. Gagasannya tentang fanā’, cinta ilahi, dan syaṭḥiyyāt menjadi sumber inspirasi sepanjang zaman.
Bahkan para penyair dan ulama dari berbagai mazhab merujuk kepadanya. Beberapa sultan Ottoman mengambil namanya sebagai nama kehormatan. Jejaknya hadir di maqām-maqām (tempat ziarah) dari Suriah hingga Bangladesh. Tak heran bila ia dianggap sebagai Sulṭān al-‘Ārifīn (Raja para Pencari Tuhan).
Bāyazīd al-Bisṭāmī, bukan hanya sufi eksentrik, tapi seorang pembaharu ruhani yang mengajarkan pencarian Tuhan secara radikal; melampaui bentuk, simbol, dan bahkan diri. Di tengah dunia yang makin sibuk dengan formalitas keagamaan, ajaran Bāyazīd mengajak kita kembali pada inti; penyucian hati, pemurnian cinta, dan lenyap dalam kehadiran-Nya. Ia mungkin lahir di Basṭām, tapi ruhnya terus menjelajah cakrawala Islam hingga kini, memanggil siapa saja yang rindu untuk “lenyap dan abadi” bersama Tuhan.
Bahan Bacaan
Abdu’r-Rabb, M. (1970). Abu Yazid al-Bistami: His Life and Doctrines. In ProQuest Dissertations and Theses. McGill University (Canada).
Abū Yazīd al-Bisṭāmī. (2004). Abū Yazīd al-Bisṭāmī al-Majmū‘ah al-Ṣūfiyyah al-Kāmilah (Q. M. ‘Abbās (ed.)). Al-Madā.
Dahlan, A. A. (2012). Abu Yazid al-Bistami. In Ensiklopedi Tasawuf (pp. 152–159). Angkasa.
Keeler, A. (2020). Abū Yazīd al-Bisṭāmī and discussions about intoxicated Sufism. In Routledge Handbook on Sufism. Routledge.
Keeler, A. (2025). Bāyazīd: The Life and Teachings of the Mystic Abū Yazīd al-Basṭāmī (d. ca. 234/848). BRILL. https://doi.org/10.1163/9789004680494
Mojaddedi, J. A. (2003). Getting drunk with Abū Yazīd or staying sober with Junayd: the creation of a popular typology of Sufism. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 66(1), 1–13.
Tehrani, D. (1999). Bayazid Bistami: An analysis of early Persian mysticism. In ProQuest Dissertations and Theses. Columbia University.